LAPORAN KHAS
FEATURE: Cerita Petambang Batu Kapur di Bolmong, Merugi Akibat Pembatasan Sosial
Kalaupun tetap memproduksi kapur, pembatasan akses keluar masuk daerah juga menjadi kendala karena tak ada pembeli kapur yang kebanyakan berasal dari luar daerah.

WABAH virus corona atau Covid-19 yang menjadi pandemi dunia telah mengganggu perekonomian di banyak negara termasuk Indonesia.
Untuk meredam dampak penyebaran, pemerintah Indonesia mengambil kebijakan social distancing atau pembatasan sosial medio Maret 2020.
Kebijakan tersebut spontan menghantam hampir semua sektor. Salah satu yang mengalami dampak serius adalah sektor ekonomi. Mulai dari skala nasional hingga daerah. Penghasilan masyarakat menurun dengan pesat akibat pembatasan aktivitas.
Seperti yang dikisahkan Rizki Paputungan (32), warga Desa Lobong, Kecamatan Passi Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong), Sulut.
Ia bersama beberapa rekannya yang bekerja sebagai petambang batu kapur (gamping) secara tradisional sempat mengalami masa sulit lantaran pembatasan aktivitas masyarakat.
Saat ditemui beberapa waktu lalu, Rizki mengaku, ia bersama rekan-rekannya hampir tiga bulan tak bergumul dengan debu serta riuh suara bebatuan yang dipecah.
Pasalnya, semenjak wabah Covid-19 menyasar hingga ke daerah, mereka yang bekerja ditambang tradisional batu kapur ini juga diimbau untuk membatasi aktifitas di luar rumah.
Kalaupun tetap memproduksi kapur, pembatasan akses keluar masuk daerah juga menjadi kendala karena tak ada pembeli kapur yang kebanyakan berasal dari luar daerah.
“Kebanyakan pembeli kapur dalam jumlah besar itu berasal dari luar daerah. Rata-rata dari perusahaan tambang emas. Tapi sejak ada penjagaan ketat di semua perbatasan membuat pembeli kesulitan masuk,” cerita Rizki, saat ditemui belum lama ini.
Memang, selain dikenal sebagai sentra produksi nanas dengan varietas unggul, Desa Lobong juga dikaruniai sumber daya alam berupa batu gamping. Secara umum, di Kecamatan Passi Barat terdapat sekitar 950 hektar kawasan karst atau bukit yang mengandung batuan gamping. Luasan itu tersebar di Desa Lobong, Poyuyanan, Muntoi dan Inuai.
Tapi yang eksis memproduksi kapur hanya di Lobong. Konon, profesi ini sudah digeluti turun-temurun sebagian besar warga Lobong sejak 1960-an.

Kondisi sulit yang dialami Rizki Cs itu berlangsung sekitar Mei, Juni hingga Juli 2020. Sementara, dalam sebulan terakhir (sekitar April) mereka terlanjur memproduksi kapur dalam jumlah banyak.
Domo Ulod (36), rekan kerja Rizki turut mengisahkan. Jumlah produksi yang cukup banyak sementara jumlah pembeli berkurang mengharuskan mereka menghentikan aktivitas.
Di sisi lain, mereka bekerja secara berkelompok. Terdiri dari tiga hingga empat orang dengan sistem borongan. Oleh pemilik tambang, para pekerja itu diupah Rp1,5 juta per tungku, untuk proses sejak awal pengambilan batu hingga menghasilkan produk akhir berupa serbuk kapur yang dipacking dalam karung siap dipasarkan.
“Nah, upah kami itu dibayar kalau hasil produksinya laku terjual. Kalau tidak, maka kami juga tidak terima uang,” ungkap Domo.
Belum lagi risiko yang setiap saat mengancam keselamatan para pekerja. Mulai dari proses pengambilan material batuan gamping. Batu yang sudah dipecah dimasukkan ke dalam tungku. Mereka yang bekerja menyusun batu itu tanpa pengaman keselamatan.
Bahayanya, batu-batu dengan berbagai bentuk dan ukuran sewaktu-waktu bisa runtuh. Bila salah satu batu ini lepas atau anjlok, bisa mengubur orang yang sedang bekerja di dalam tungku.
“Sejak itu kami memutuskan untuk mencari tambahan penghasilan dengan manjadi buruh tani harian. Dan Alhamdulillah, sekarang situasi sudah mulai membaik. Yang penting kita mematuhi anjuran pemerintah tentang protokol kesehatan,” pungkasnya.
Siang itu, Rizki kembali mengayunkan sekop dari tangan, meski peluh terus bercucuran. Mulut dan hidungnya dililiti seutas kain. Debu halus beterbangan setiap sekopnya beraksi. Ia bertugas mengeluarkan batu gamping yang telah dibakar dari bagian bawah mulut tungku pembakaran.
Sementara, rekannya Domo tengah sibuk mendekatkan pecahan batu ke mulut bagian atas tungku yang menyerupai sumur berdiameter sekitar tiga meter, dengan kedalaman hingga empat meter.
Ingar bingar dan suka cita para petambang gamping di Lobong tidaklah mudah. Tapi satu semangat mereka, keluarganya perlu makan.

You must be logged in to post a comment Login