Connect with us

PERISTIWA

Perempuan Paling Rentan Terlibat Praktik Politik Uang

Published

on

Penyataan Bawaslu terkait praktik politik uang tersebut menjadi dasar bagi Neni Nur Hayati, Direktur Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, untuk menelisik lebih dalam soal fenomena ini. Hasilnya memang selaras, Neni menemukan bahwa perempuan sangat rentan terhadap iming-iming uang sebagai pengganti dukungan, baik dalam pemilihan kepala daerah (pilkada), pemilihan umum (pemilu), dan pemilihan presiden (pilpres).

“Dari Pilkada 2015, Pilkada 2017, kemudian 2018, terakhir kemarin saat pandemi di 2020, banyak perempuan yang harus berurusan dengan hukum, dilakukan berita acara klarifikasi oleh Bawaslu, karena memang dia betul-betul menerima uang dan atau bahan materi lainnya dari kandidat,” ujar Neni ketika berbincang dengan VOA, Senin (17/6).

Penelitian ini berjudul “Money Politics and Regression of Democracy: Women Voters Vulnerability in Transactional Politics.” Neni mempresentasikannya di sebuah forum di Bangkok, Thailand beberapa waktu lalu.

Fakta menarik dan bermanfaat

Seorang pemuda menggunakan ponselnya di depan mural kampanye Pemilu 2019, Banda Aceh, 17 Maret 2019. (Foto: AFP/CHAIDEER MAHYUDDIN)

Penelitian awal secara kuantitatif membuktikan pernyataan Bawaslu bahwa perempuan memang rentan terhadap politik uang. Sedangkan penelitian lanjutan secara kualitatif menemukan fakta bahwa kerentanan itu antara lain disebabkan kurangnya literasi mengenai regulasi kepemiluan dan edukasi politik. Pemilih perempuan mengetahui bahwa uang atau barang untuk membeli suara itu dilarang, tetapi tetap menerimanya.

Neni mengelompokkan pemilih perempuan dalam lima tipe. Pertama, pemilih menikmati politik uang. Kedua, pemilih yang menolak politik uang, tetapi menerima uang. Ketiga, pemilih menolak politik uang dan menghindarinya, tetapi tidak mau melaporkan. Keempat, pemilih menolak politik uang dan mau melaporkannya. Kelima, pemilih menyaksikan politik uang dan berani melaporkan.

Dari lima kategori itu, kategori pertama dan kedua memiliki persentase paling tinggi. Di sini lah ada problem moral. Pemilih yakin politik uang keliru, tetapi mereka melibatkan diri dalam praktik itu.

Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).

Para petugas pemilu melakukan perhitungan suara Pilpres di salah satu TPS di Jakarta, Rabu sore (17/4).

“Apa yang diyakininya, itu berbeda dengan perbuatannya,” ujar Neni.

Selain soal literasi, persoalan ekonomi juga menjadi pemicu. Bagi perempuan di pedesaan, nominal uang sebesar Rp50 ribu hingga Rp100 ribu bermakna banyak. Atau, dalam kasus lain yang ditemukan Neni, ada juga pemberian tabung gas dan batik di salah satu pilkada di Jawa Barat.

“Kelompok perempuan yang menjadi objek politik uang, yang ada di pelosok daerah, itu secara perekonomian, mereka sangat timpang,” lanjut Neni.

Karena itu, selain literasi tanpa henti, Neni juga mengatakan bahwa perbaikan kondisi ekonomi perempuan menjadi salah satu solusi untuk menekan praktik politik uang.

Pemilih sedang memberikan suara politik mereka di TPS saat pemilihan kepala daerah di Tangerang, Banten, 9 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

Pemilih sedang memberikan suara politik mereka di TPS saat pemilihan kepala daerah di Tangerang, Banten, 9 Desember 2020. (Foto: REUTERS/Willy Kurniawan)

KPK Turut Mencegah

Fenomena perempuan sebagai sasaran praktik politik uang juga disampaikan Wawan Wardiana, Deputi Pendidikan dan Peran serta Masyarakat, Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK).

“Ternyata hasil riset kita, dari sekian pemilih di tahun 2019 yang lalu menjadi responden kita 72 persen itu menerima politik uang. Kalau kita bedah lagi, dari 72 persen ini ternyata 82 persen perempuan yang menerimanya,” kata Wawan dalam peluncuran kampanye anti politik uang oleh KPK, Jumat (14/7).

Menurut data KPU, jumlah pemilih yang resmi terdaftar pada 2019 ada 192 juta lebih. Dari jumlah itu, yang datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada lebih dari 158 juta. Jumlah perempuan sekitar 51 persen dari pemilih yang terdaftar.

Lebih jauh Wawan merinci, 60 persen dari kelompok pemilih perempuan yang menerima uang berusia 36 sampai 50 tahun.

Dua dari empat alasan utama mereka adalah kebutuhan ekonomi dan tekanan dari pemberi.

“Mohon maaf, mungkin yang membagikan itu adalah Pak RT misalnya, atau Bu RT. Orang-orang tertentu yang membagikan, yang menurut dia, adalah orang yang kira-kira harus dihormati,” tambah Wawan.

Alasan ketiga adalah tindakan permisif karena risikonya dianggap kecil, sedangkan alasan keempat adalah ketidaktahuan.

Wawan juga membeberkan hasil kajian KPK pada 2018, yang menemukan data bahwa 95,5 persen masyarakat memilih seseorang yang dilihat memiliki cukup banyak harta.

“Ini adalah sesuatu yang kurang sehat sebetulnya, tapi ini adalah salah satu yang terjadi di masyarakat, yang kita potret. Walaupun memang modal sosial lalu popularitas pasangan calon itu juga menjadi satu hal yang membuat masyarakat memilih,” lanjut Wawan yang juga menyebut, angka 95,5 persen di atas sebagai angka yang tidak lazim di negara demokrasi.

Karena itu, Wawan mengaku bisa memahami hasil riset Universitas Gadjah Mada (UGM) yang menyebut bahwa praktik politik uang sudah menjadi semacam budaya. Begitu juga dengan kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) pada 2019, yang menemukan bahwa 47,4 persen masyarakat membenarkan masih adanya praktik politik uang dalam Pemilu 2019, dan 46,7 persen masyarakat menganggap hal ini wajar.

Seorang pengendara sepeda motor melewati jembatan layang yang dihiasi bendera-bendera partai politik menjelang pemilu, Jakarta, 6 April 2019. (Foto: Reuters)

Seorang pengendara sepeda motor melewati jembatan layang yang dihiasi bendera-bendera partai politik menjelang pemilu, Jakarta, 6 April 2019. (Foto: Reuters)

Dukungan Lembaga Pemilu

Dalam acara peluncuran program KPK ini, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, menceritakan tiga pengalaman dirinya terkait praktik politik uang. Dia mengatakan, pada Pilkada 2005 misalnya, di salah satu kabupaten di Jawa Tengah bahkan ada pernyataan terbuka dari masyarakat terkait permintaan uang. Hanya 52 persen pemilih hadir ke tempat pemungutan suara (TPS) di kabupaten itu, ketika pilkada diselenggarakan karena minimnya pemberian uang.

Peristiwa kedua adalah pengalaman tim-tim sukses calon dalam pilkada yang harus mengajak pemilih datang ke TPS dengan memberi iming-iming uang. Sedang pengalaman ketiga Hasyim menyangkut penelitian yang dilakukan mahasiswa bimbingannya sendiri, yang akhirnya menyimpulkan bahwa politik uang adalah penggerak demokrasi. Karena itu lah, Hasyim meminta gerakan kultural untuk mengatasi persoalan ini.

“Sudah banyak undang-undang, norma disusun, sudah banyak lembaga disiapkan untuk memberantas korupsi. Tapi yang kadang-kadang jarang adalah sentuhan pendekatan kultural,” ujarnya.

Sedangkan Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengatakan lembaganya selalu memandang penting upaya pencegahan politik uang.

“Dalam upaya pencegahan ini lah kemudian, Bawaslu membuat Indeks Kerawanan Pemilu. Indeks Kerawanan Pemilu salah satunya yang masih terus ada, yaitu serangan fajar atau politik uang. Dari tahun 2019, serangan fajar atau politik uang ini, sudah merambah kepada penyelenggara pemilu,” ujarnya. [ns/ab]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply