PERISTIWA
Menlu Retno Hadiri Pertemuan Pertama Para Menteri Luar Negeri Perempuan
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Sabtu (1/7), mengatakan bahwa dalam pertemuan pertama menteri luar negeri perempuan, dia menyampaikan kerja sama konkret untuk memajukan agenda peran perempuan di sektor perdamaian dan keamanan. Dengan demikian, manfaatnya langsung dirasakan oleh perempuan dan oleh rakyat.
Ada empat usulan kerja sama yang diajukan Rento, antara lain meningkatkan partisipasi perempuan dalam diplomasi pencegahan konflik; proses perdamaian, dan resolusi konflik.
“Indonesia telah menginisiasi pembentukan Jaringan Perunding dan Mediator Perempuan Asia Tenggara pada 2019. Ini adalah jaringan pertama dan satu-satunya di kawasan Asia Tenggara, dan jaringan ini telah menjadi bagian dari Aliansi Global dan Jaringan Mediator Perempuan Regional,” kata Retno dalam konferensi pers virtual dari Ibu Kota Mongolia, Ulan Bator.
Menteri Luar Negeri Mongolia Battsetseg Batmunkh menjadi tuan rumah dalam pertemuan perdana yang dihadiri juga oleh Menteri Luar Negeri Jerman Annalena Baerbock, Menteri Luar Negeri Prancis Catherine Colonna, dan Menteri Luar Negeri Afrika Selatan Naledi Pandor.
Menanggapi pernyataan Indonesia itu, lanjut Retno, Organisasi untuk Keamanan dan Kerja Sama di Eropa atau OSCE (Organization for Security and Co-operation in Europe) yang beranggotakan 57 negara menawarkan kerja sama untuk meningkatkan pelatihan dan jejaring kerja untuk para perundingan dan mediator perempuan.
Selain itu, dia juga mengusulkan pentingnya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Indonesia adalah kontributor terbesar kedelapan dalam pasukan perdamaian PBB. Jumlah perempuan Indonesia yang menjadi anggota pasukan perdamaian PBB sekarang naik menjadi 50 persen dari total kontingen Indonesia.
Kebijakan yang lebih ramah kepada perempuan dalam misi perdamaian PBB, kata Retno juga penting untuk terus diperjuangkan dalam forum PBB. Menlu juga menyerukan pemberdayaan ekonomi perempuan serta menebarkan nilai-nilai perdamaian dan toleransi.
Dia mencontohkan program Desa Perdamaian dari sebuah organisasi non-pemerintah asal Indonesia. Program ini bertujuan untuk menjadikan perempuan sebagai agen perdamaian dan toleransi, sambil memberdayakan perempuan di bidang ekonomi.
Retno juga mengusulkan akses bagi perempuan terhadap pendidikan dan pekerjaan. Dalam konteks ini, dia menyampaikan beragam upaya yang dilakukan Indonesia dalam membantu kaum hawa di Afghanistan untuk mendapatkan akses pendidikan dan peran lainnya di masyarakat.
Dalam sesi tersebut, dia juga menyampaikan Indonesia pada Desember tahun lalu telah menyelenggarakan konferensi internasional mengenai pendidikan perempuan Afghanistan. Konferensi kedua tahun ini akan berlangsung di Qatar.
Pada pernyataan pers dan pleno seuai pertemuan pertama para menteri luar negeri perempuan, Retno menyampaikan komitmen untuk memastikan agenda perempuan masuk dalam agenda global ke depan. Semua negara harus memastikan perempuan berperan dalam membentuk agenda global di masa depan. Terutama pada isu-isu seperti perubahan iklim dan energi ramah lingkungan.
Dia juga menyampaikan dunia perlu dukungan, termasuk pendanaan dan kapasitas, bagi agenda global yang mengarusutamakan kepentingan perempuan. Keempat, dunia penting untuk terus mendrong kerja sama praktis agar dirasakan langsung manfaatnya oleh kaum hawa di seluruh dunia.
Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin menilai pertemuan pertama para menteri luar negeri perempuan di Mongolia tidak mendesak dalam konteks kepentingan nasional. Namun, dari segi peningkatan peran perempuan dalam memecahkan persoalan global, pertemuan tersebut cukup penting dan mendesak.
Menurutnya, pertemuan di Mongolia itu bisa menjadi batu loncatan di level negara untuk mengubah pandangan tradisional bahwa politik internasional merupakan ranah eksklusif kaum lelaki. Pesan yang ingin disampaikan adalah dunia perlu mengakomodasi perspektif perempuan dalam menyelesaikan masalah-masalah internasional.
“Selama ini peran perempuan bisa dikatakan marginal, kurang diakomodir perspektifnya. Politik internasional cenderung didominasi oleh laki-laki. Aktornya kebanyakan laki-laki, juga cara pandangnya yang laki-laki,” ujar Rosyidin.
Menurut Rosyidin, kehadiran Indonesia dalam pertemuan pertama para menteria luar negeri perempuan menunjukkan konsistensi Indonesia dalam mengubah cara pandang dunia terhadap perempuan dalam penyelesaian isu-isu global.
Artinya, kebijakan luar negeri Indonesia tidak melulu pragmatis dengan mengejar keuntungan material semata, tetapi juga perhatian pada isu gagasan. Pada konteks ini, Indonesia berperan sebagai aktor normatif dalam hubungan internasional. [fw/ft]
You must be logged in to post a comment Login