Connect with us

PERISTIWA

Konsensus Lima Poin Harus Jadi Pedoman Utama ASEAN untuk Bantu Myanmar

Published

on

Meskipun tidak mendapat sambutan dari para menteri luar negeri ASEAN, Thailand tetap melangsungkan pertemuan informal untuk membahas pelibatan kembali Myanmar dalam forum kerjasama negara-negara Asia Tenggara itu. Hanya dua menteri luar negeri yang hadir dalam forum itu, yaitu Menteri Luar Negeri Thailand Don Pramudwinai selaku penggagas dan tuan rumah, dan Menteri Luar Negeri Myanmar Than Swe. Lainnya hanya mengirim utusan di bawah level menteri luar negeri

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi, yang tahun ini menjabat sebagai Ketua ASEAN, juga diundang dalam pertemuan itu, tetapi memutuskan untuk tidak hadir.

Staf Ahli Menteri Luar Negeri untuk Diplomasi Kawasan Duta Besar Ngurah Swajaya, pada Senin (19/6), menegaskan perlunya semua pihak mematuhi aturan main dalam berdiplomasi.

Fakta menarik dan bermanfaat

“Kalau ini disebutkan dalam konteks ASEAN, kita ada aturan mainnya. Ada lima poin konsensus, ada keputusan KTT, itu yang harus kita perhatikan. Kita diundang, kita tidak hadir. Jangan ditanya kenapa nggak hadir,” kata Swajaya.

Swajaya mengatakan konsensus lima poin itu adalah keputusan para pemimpin ASEAN yang diambil dalam pertemuan di Jakarta pada 24 April 2021, kurang dari dua bulan setelah junta militer Myanmar melakukan kudeta terhadap pemerintahan sipil pimpinan Aung San Suu Kyi. Ketika konsensus lima poin itu disepakati, Brunei Darussalam yang mengetuai ASEAN.

Lima poin konsensus yang dimaksud itu adalah pengiriman bantuan kemanusiaan, penghentian aksi kekerasan, diselenggarakannya dialog inklusif, pembentukan utusan khusus, dan kunjungan utusan khusus ke Myanmar.

Dalam konferensi tingkat tinggi (KTT) ASEAN ke-40 dan ke-41 di Ibu Kota Phnom Penh, Kamboja, para pemimpin ASEAN menyepakati hanya perwakilan non-politik dari Myanmar yang boleh menghadiri pertemuan-pertemuan resmi ASEAN.

ASEAN Pecah Kongsi?

Apakah tindakan Thailand mencerminkan perpecahan dalam ASEAN? Swajaya mengakui dalam sebuah organisasi merupakan hal lazim ketika terjadi perdebatan dan perbedaan pendapat. Namun penegasan semua pemimpin ASEAN dalam KTT di Labuan Bajo bulan Mei lalu untuk tetap menjalankan konsensus lima poin dalam menyelesaikan isu Myanmar, sedianya dihormati semua anggota tanpa kecuali. Terlebih karena selama ini Indonesia tetap membuka pintu komunikasi dengan semua pihak di negeri seribu pagoda itu.

“Kalau mau diterjemahkan apakah pertemuan (di Thailand) ini bertentangan dengan sentralitas (ASEAN), silakan melakukan interpretasi sendiri. Yang kita sampaikan tadi faktanya adalah semua (negara anggota ASEAN) masih tetap solid mendukung Indonesia dan Indonesia bukan tidak melakukan apa-apa,” ujar Swajaya.

Sejumlah kendaraan bergerak melewati jembatan imigrasi yang mengarah ke Thailand di Tarchelik, negara bagian Shan, Myanmar, pada 21 Mei 2012. (Foto: AP/Khin Maung Win)

Ia menambahkan salah satu mandat dari konsensus lima poin adalah melakukan komunikasi dengan semua pemangku kepentingan di Myanmar dan mendorong dialog inklusif secara nasional di negara itu. Penyelesaian krisis politik di Myanmar melalui dialog yang inklusif dan jujur adalah satu-satunya cara tercipta perdamaian yang langgeng.

Selama Indonesia menjadi ketua ASEAN tahun ini, Kementerian Luar Negeri telah berkomunikasi dengan hampir semua pihak di Myanmar, termasuk pihak junta militer dan pemerintahan sipil sebelumnya. Bahkan dalam lima bulan terakhir ini, Indonesia sudah melakukan lebih dari 75 komunikasi dengan berbagai pihak di Myanmar.

Selain itu dalam banyak kesempatan lainnya, masih dalam kaitan upaya menyelesaikan krisis di Myanmar, Indonesia juga membuka komunikasi dengan China dan India.

Semua upaya ini senantiasa dilaporkan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi kepada semua mitranya dalam Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN (AMM).

Meskipun demikian Swajaya mengakui krisis di Myanmar merupakan persoalan rumit yang tidak mungkin dalam diselesaikan dalam satu tahun kepemimpinan Indonesia di ASEAN.

Ketegasan ASEAN

Diwawancarai VOA, pengamat hubungan internasional dari Universitas Diponegoro Mohamad Rosyidin mengatakan pertemuan informal di Thailand menunjukkan cara pandang junta militer yang juga berkuasa di negara itu. Yaitu bahwa sebagai sesama pemerintahan junta, Thailand mengira dapat membujuk Myanmar.

Ia memuji langkah Indonesia untuk tidak hadir, yang menurutnya merupakan langkah yang tepat. “Ini penting karena sejak awal ASEAN sepakat untuk tidak melibatkan Myanmar selama pemerintahnya tidak mematuhi lima poin konsensus,” ujarnya.

“ASEAN perlu tegas. Jadi tidak boleh ASEAN berkompromi dengan junta militer karena itu sudah bertentangan dengan prinsip ASEAN sendiri, dengan konsensus mengenai pendekatan apa yang ditempuh ASEAN untuk menangani krisis kemanusiaan, krisis politik di Myanmar. Itu yang harus ditekankan oleh ASEAN, terutama di bawah keketuaan Indonesia saat ini,” tegas Rosyidin.

Ditambahkannya, konsensus tersebut harus dipatuhi oleh semua negara anggota ASEAN, tidak boleh kendor dan kemudian mengikuti langkah yang ditempuh oleh Thailand. Jika Myanmar berlindung di balik prinsip intervensi, ASEAN perlu menggarisbawahi hal tersebut ketika terjadi krisis menyangkut demokrasi dan HAM. Sebagai negara anggota ASEAN yang ikut menyepakati Piagam ASEAN, maka Myanmar juga harus menghormati prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.

Menurutnya ketika negara-negara ASEAN tidak lagi memiliki platform yang sama untuk mencapai tujuan ASEAN di masa depan, maka ASEAN akan kerap dirundung masalah. Ancaman terhadap sentralitas ASEAN bukan berasal dari rivalitas negara besar, namun justru akibat lemahnya komitmen negara-negara anggota terhadap forum kerjasama ini. [fw/em]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply