Connect with us

LAPORAN KHAS

Ibu Menderita TBC, Anak Kehilangan Hak ASI Eksklusif

Pasien tak dapat memenuhi hak anaknya dalam mendapatkan ASI eksklusif karena saran dari petugas kesehatan di Puskesmas, guna mencegah penularan ba.

Published

on

Laporan: Marshal Datundugon

“Hingga kini, bayi saya tidak pernah merasakan ASI eksklusif. Bahkan, bayi saya lebih sering dititip di rumah neneknya”


Sore itu, YS sedang memberi susu formula kepada anaknya yang berusia 9 bulan.  Di rumah itu juga ada AM (35), suaminya dan anak pertama mereka yang berusia 11 tahun. Lantunan shalawat Nabi jelang berbuka puasa jelas terdengar dari rumah mereka yang hanya berjarak sekitar 50 meter dari masjid. Hari itu Ramadan kesebelas tahun 2021.

Sejak bayinya lahir, YS tidak pernah memberikan air susu ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya. Ibu rumah tangga berusia 34 tahun itu sementara menjalani pengobatan. Ia didiagnosa menderita tuberculosis (TB) atau yang biasa juga disebut TBC, medio Februari 2021 lalu.

Petugas kesehatan yang menangani program TBC di Puskesmas Tungoi, menyarankan dia untuk tidak memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Alasannya untuk mencegah penularan penyakit yang disebabkan oleh basil bakteri Mycobacterium tuberculosis itu kepada sang bayi.

YS hanya satu dari sekian penderita TBC di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) Provinsi Sulawesi Utara yang sementara menjalani pengobatan. Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Bolmong, pada 2020 telah ditemukan sebanyak 504 kasus TBC di daerah itu. Jumlah tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yakni 479 kasus.

Fakta menarik dan bermanfaat

Peningkatan jumlah kasus tersebut juga dibarengi dengan bertambahnya jumlah kasus kematian akibat TBC. Dalam catatan Dinkes Bolmong, pada 2019 ada 13 orang meninggal akibat TBC di Bolmong, dan pada 2020 meningkat menjadi 23 kasus kematian.

Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat, pada 2020, dunia termasuk Indonesia mengalami tantangan besar dalam isu kesehatan masyarakat. Pada tahun 2019, dunia menanggung beban 10 juta orang jatuh sakit TBC dan Indonesia berkontribusi sekitar 8,5 persen dari beban tersebut atau berjumlah 845.000 penderita.

Upaya strategis diperlukan untuk mendorong proses eliminasi TBC, yang ditargetkan tercapai pada tahun 2030. Salah satunya adalah dengan memperkuat perencanaan penganggaran pada pemerintah daerah dengan prioritas penanganan TBC yang responsif gender. Tentu dengan tidak mengesampingkan hak setiap warga dalam hal kesehatan.

TB merupakan penyakit pernapasan yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit menular yang menjadi beban kesehatan kedua di dunia setelah HIV ini dapat juga menyerang ginjal, usus dan tulang. Jika terkena kulit, akan terjadi luka yang terus melebar.

Orang yang mengalami penyakit TBC akan mengalami sesak ketika bernapas, batuk berdarah, demam tinggi, berkeringat pada malam hari, dan nafsu makan turun. Jika dibiarkan, kondisi penderita TBC akan bertambah parah hingga berdampak pada kematian.

Akibat-akibat itu membuat masyarakat yang tidak paham, merasa sangat khawatir dengan penularan TBC. Karena minimnya pengetahuan tentang penyakit ini, berdampak pada munculnya stigma buruk bagi penderitayang menghalangi pemenuhan hak mereka sebagai warga negara.

Seperti yang dialami YS. Ia tak dapat memenuhi hak anaknya dalam mendapatkan ASI eksklusif dari sang ibu. Menurut YS, tindakan itu atas saran dari petugas kesehatan di Puskesmas, guna mencegah penularan bakteri TBC pada bayi.

“Bahkan saya disarankan oleh petugas di puskesmas untuk tidak tinggal bersama dengan bayi,” kata YS, saat ditemui di rumahnya, Sabtu (24/4/2021).

YS mulai menjalani pengobatan TBC pada Februari 2021. Saat itu, bayinya menginjak usia 8 bulan. Tapi dari pengakuannya, kondisi kesehatannya sudah terganggu sejak ia hamil anak keduanya itu. Ia mengalami batuk berkepanjangan dan tak sembuh-sembuh meski sudah berobat ke mantri.

Saat melahirkan, bidan yang membantu persalinan menyarankan agar sang bayi jangan dulu diberi ASI eksklusif, dan menyarankan usai persalinan agar memeriksakan diri ke laboratorium.

“Saran itu karena, jangan-jangan saya menderita penyakit menular dan bisa berakibat buruk terhadap bayi,” kata YS.

Beberapa bulan pasca melahirkan, YS baru bisa memeriksakan lebih lanjut kondisi kesehatannya itu. Dari hasil pemeriksaan lendir di salah satu laboratorium swasta di Kota Kotamobagu, YS positif menderita TBC dan harus menjalani pengobatan selama 6 bulan.

Saat positif TBC itu, petugas kesehatan yang menangani TBC di Puskesmas Tungoi, Kecamatan Lolayan menyarankan agar YS tidak terlalu sering kontak langsung dengan bayinya. Hal itu untuk mencegah penularan terhadap bayi yang masih rentan terpapar penyakit. YS juga disarankan untuk banyak mengkonsumsi makanan yang bervitamin seperti sayuran untuk mendukung proses pengobatan.

“Jadi hingga kini, bayi saya tidak pernah merasakan ASI eksklusif. Bahkan, bayi saya lebih sering dititip di rumah neneknya. Kebetulan rumah neneknya (ibu mertua YS) tak jauh,” ungkap YS.

Bakteri TBC tak menular lewat ASI Eksklusif

Apa yang dialami YS dengan bayinya, bertolak belakang dengan anjuran WHO, agar ibu penderita TBC tidak dipisah dari bayi dan tetap bisa menyusui. Bakteri tuberkulosis tidak melewati air susu ibu. Jika bayi ikut terinfeksi, maka jalur masuknya adalah melalui droplet ke saluran napas. WHO bahkan telah mengatur tatalaksana spesifik pada situasi berbeda sesuai dengan waktu tegaknya diagnosis tuberkulosis paru pada ibu yang menyusui.

WHO merekomendasikan agar ibu yang menderita TB paru aktif, tetap menyusui bayinya dan tidak dipisah. Dosis dan regimen tatalaksana yang digunakan pada ibu menyusui tetap sama dengan populasi dewasa lainnya. Penyesuaian dosis pada ibu menyusui tidak perlu dilakukan. Selama pengobatan, status kesehatan dan berat badan bayi harus dipantau.

Dokter spesialis penyakit dalam, di Kota Kotamobagu, Sri Rahayu Paputungan, Sp.PD turut menegaskan bahwa kuman atau bakteri TBC tidak ditularkan melalui ASI eksklusif, melainkan ditularkan melalui droplet saat penderita bersin atau batuk. Sehingga, menurutnya, ibu menyusui yang menderita TBC dianjurkan untuk menggunakan masker saat menyusui. Jika tetap tidak memungkinkan, maka berikan ASI perah kepada bayi.

“Ibu penderita TBC dapat menyusui secara langsung tanpa masker setelah pengobatan sekurang-kurangnya 2 minggu atau setelah dinyatakan tidak infeksius lagi oleh dokter. Fase infeksius itu umumnya selama 2 minggu pertama sampai 2 bulan pengobatan. Tergantung berat/ringannya penyakit atau tingginya jumlah kuman,” tegas Sri Rahayu Paputungan, saat dihubungi via pesan WhatsApp, Jumat (30/05/2021).

Larangan pemberian ASI ekslusif itu juga kontradiktif dengan apa yang menjadi hak bayi sebagaimana diatur dalam pasal 128 dan pasal 129 Undang-undang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pada kedua pasal itu, setiap bayi berhak mendapatkan ASI ekslusif selama enam bulan sejak dilahirkan. Bahkan keluarga, pemerintah dan masyarakat diminta mendukung pemberian ASI ekslusif dengan cara penyediaan waktu dan fasilitas khusus.

Diminta beralih kontrasepsi

Selain bayi, ibu penderita TBC yang sedang menjalani pengobatan, diminta juga untuk menerapkan gaya hidup dan pola makan sehat, dengan mengonsumsi makanan bergizi yang tinggi kalori dan protein.

Konsumsi obat bagi penderita TBC tidak bisa putus. Terapi pengobatan ini seringkali berdampak pada psikis penderita. Efek samping obat membuat banyak penderita menyerah di tengah jalan, padahal risiko kematiannya tinggi.

Kandungan pada obat TBC memiliki efek samping, antara lain warna urine menjadi kemerahan, gangguan penglihatan, gangguan saraf, gangguan fungsi hati hingga menurunnya efektivitas pil KB ataupun KB suntik.

“Khususnya bagi penderita perempuan diusia produktif dan sudah menikah, kami sarankan untuk mengganti alat kontrasepsi. Karena obat TBC bisa mematikan efek dari pil KB maupun KB suntik. Termasuk KB implant (susuk). Kita sarankan untuk pakai kondom,” jelas Petugas TBC Puskesmas Tungoi, Sherly Iske Runtuwene  saat ditemui di Puskesmas Tungoi, Jumat (23/04/2021).

Setidaknya, hal ini juga diungkapkan Sri Rahayu Paputungan. Lulusan fakultas kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar itu menyebut, ada beberapa jenis kontrasepsi hormonal yang efektivitasnya dapat terganggu karena salah satu jenis obat TBC yaitu rifampisin. Jenis kontrasepsi yang dapat berkurang efektivitasnya antara lain jenis pil kombinasi , pil on yang mengandung progesteron (pil mini) dan implan yang hanya berisi progesterone.

“Tetapi masih ada pilihan jenis kontrasepsi hormonal lain yang efektivitasnya tidak terganggu oleh obat TBC. Antara lain, suntik KB per 3 bulan yang hanya mengandung progesterone. Atau jenis kontrasepsi lain seperti AKDR (alat kontrasepsi dalam Rahim) yang mengandung levonorgesterol atau AKDR copper coil,” ungkap dokter Ayu, sapaan akrabnya, sembari menambahkan, perempuan penderita TBC yang tetap ingin menunda kehamilan sebaiknya berkonsultasi untuk pemilihan alat kontrasepsi yang akan digunakan.

Senada dikatakan, Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara, dr. Steaven Dandel, MPH. Menurutnya, salah satu studi menyebutkan bahwa kandungan rifampisin (dalam obat anti tuberkulosis) adalah satu-satunya antibiotik yang sampai saat ini dilaporkan dapat menurunkan konsentrasi estrogen plasma.

“Iya, jadi kontrasepsi oral tidak dapat diandalkan untuk mengontrol kelahiran saat menggunakan rifampisin (obat anti tuberculosis),” kata Dandel, saat dimintai tanggapan via pesan WhatsApp, Jumat 30 April 2021.

YS bersama suaminya juga mengalami hal itu. Dia mengakui bahwa sejak menjalani pengobatan, YS tidak lagi penggunakan alat kontrasepsi. Pasangan suami istri itu mengaku punya cara sendiri untuk menghindari kehamilan. 

“Saya kerja di tambang. Saya dalam sebulan mungkin hanya satu atau dua kali pulang ke rumah. Jadi sejauh ini masih nyaman. Berbeda mungkin jika saya setiap saat berada di rumah. Mungkin lain lagi ceritanya,” sahut AM, suami YS sembari tersenyum.

Menariknya, saat diminta penjelasan, petugas yang membidangi TBC di Dinas Kesehatan Bolmong tak paham soal pengaruh obat TBC terhadap efektivitas alat kontrasepsi. Mereka baru akan menanyakan hal itu ke Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Utara.

“Kalau soal itu, nanti kami tanyakan dulu ke (Dinkes) Provinsi,” imbuh Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Dinkes Bolmong, Fundhora Mokodompit.

Kepala Seksi Pencegahan Penyakit Dinkes Bolmong, Fundhora Mokodompit. (Foto: Marshal Datundungon)

Stigma menambah beban

Soal target eliminasi TBC, Dinkes Bolmong menyebut bahwa Pemkab Bolmong belum ada wacana eliminasi. Alasannya karena mengacu pada pemerintah Provinsi Sulut yang juga belum mewacanakan eliminasi TBC.

Meski begitu, Pemkab Bolmong melalui Dinkes terus berupaya melakukan langkah-langkah pemberantasan penularanTBC di daerah itu. Apalagi hingga saat ini stigma buruk terhadap penderita TB masih kuat. Sama halnya dengan Kusta maupun HIV.

“Sosialisasi terus dilakukan melawan stigma yang sudah terbentuk sejak dulu. Jangankan masyarakat umum, bahkan di lingkungan tenaga kesehatan saja masih ada yang menaruh stigma negatif untuk TBC,” aku Fundhora Mokodompit, saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (19/4/2021).

Stigma masih menjadi salah satu faktor penghambat penjaringan penderita, karena masyarakat masih belum benar-benar memahami penyebab, penularan, dan pencegahan penyakit TBC.

Seperti yang diutarakan Roliyati. Warga Kecamatan Lolayan itu mengaku was-was jika mengetahui ada penderita TBC di sekitarnya. Pasalnya, kata Roliyati, dari informasi yang dia ketahui, dulu pernah ada seorang ibu penderita TBC yang meninggal dunia. Dan belakangan diketahui, penyakit tersebut menular ke anaknya.

“Pasti takut. Karena itu penyakit menular dan ternyata bisa menyebabkan kematian,” ujar Roliyati saat ditemui di rumahnya, Sabtu (01/05/2021).

Beruntung, kata Fundhora, sejauh ini belum ada info pengucilan yang dialami penderita TBC.

Salah satu langkah yang dilakukan pemerintah melalui Dinkes adalah, dengan gencar melakukan promosi kesehatan merangkul tokoh masyarakat dan kader di desa. Saat ini ada Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga (PIS-PK), yang didalamnya termasuk screening penyakit di tengah masyarakat. Jadi, jika ada yang terindikasi TB ataupun penyakit lain maka langsung ditindaklanjuti.

“Termasuk juga, masyarakat yang datang berobat ke puskesmas atau puskesmas pembantu, dan terindikasi TBC maka langsung di follow up oleh petugas untuk pemeriksaan lendir atau foto rontgen,” tuturnya.

Upaya lain yang dilakukan untuk mendeteksi penderita TB  adalah dengan gerakan ketuk pintu oleh petugas puskesmas dengan menggandeng kader desa, yang didukung oleh pemerintah desa. Dinkes mengklaim, program itu dianggap berhasil pada 2020, ditandai dengan peningkatan penemuan jumlah kasus dibanding tahun sebelumnya.

“Peningkatan jumlah kasus itu juga indikator bahwa programnya jalan. Rendahnya kasus bukan berarti program sukses, tetapi mungkin saja skrining tidak dilakukan,” jelas Fundhora.

Sayangnya, daya dukung anggaran penanganan TBC di Kabupaten Bolmong mengalami penurunan di tiga tahun terakhir. Pada 2019 Pemkab Bolmong menggelontorkan anggaran sebesar Rp194,4 juta untuk penanganan TBC. Jumlah tersebut turun menjadi  Rp101 juta pada 2020. Dan pada tahun ini, seiring dengan refocusing anggaran untuk penanganan pendemi Covid-19, Pemkab Bolmong hanya mengalokasikan Rp95 juta untuk penanganan TBC.

“Anggaran yang disediakan itu hanya untuk biaya perjalanan dinas, baik dalam maupun luar daerah untuk pengambilan logistik. Kemudian jasa bagi petugas pembaca slide yang melakukan pemeriksaan menggunakan mikroskop. Sedangkan untuk program ketuk pintu, dibiayai lewat dana bantuan operasional kesehatan (BOK) masing-masing puskesmas,” tutur Fundhora.

Banyak yang belum paham

Puskesmas Tungoi, Bolmong

Meski  menjadi penyakit menular utama di Indonesia sejak lama, tapi belum semua lapisan masyarakat  mengeali TBC. Hal itu ditengarai karena pasifnya sosialisasi terkait penyakit yang mematikan ini.

Bahkan yang terjadi pada YS, dirinya sempat tidak diberitahu persis apa penyakit yang ia derita.

“Hanya dibilang ganguan paru-paru dan harus menjalani pengobatan selama 6 bulan,” ucap YS.

Sebenarnya TBC dapat disembuhkan dan juga dapat dicegah lebih dini, jika masyarakat memeriksakan diri saat mengalami tanda-tanda TBC yang mudah dikenali. Adapun ciri-ciri penyakit TBC yang harus diwaspadai adalah batuk selama lebih dari tiga minggu, batuk berdarah, demam yang berlangsung lama, nafsu makan berkurang, berat badan turun, dan badan lemas. Sayangnya, informasi mendasar ini belum banyak diketahui masyarakat.

Seperti YS yang harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah untuk memeriksakan diri ke dokter sepesialis dan melakukan pemeriksaan ke laboratorium untuk mengetahui penyakit yang ia derita.

Padahal, jika masyarakat paham tanda-tanda TBC, maka cukup datang langsung ke puskesmas terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut yang notabene tidak dipungut biaya alias gratis.

“Untuk pemeriksaan laboratorium bayar Rp246 ribu. Sementara pemeriksaan dokter bayar Rp250 ribu. Setelah itu dokter memberikan surat rujukan untuk pengobatan di puskesmas,” sahut YS.

Hal itu juga dialami penderita TBC lainnya yang juga warga Bolmong. Sebut saja MD. Perempuan berusia 18 tahun itu meninggal dunia saat memasuki bulan kedua fase pengobatan. Tepatnya awal April 2021.Dari pengakuan keluarganya, MD mengalami gejala batuk berkepanjangan dan sesekali demam tinggi sejak pertengahan 2020 lalu.

Seiring waktu, kondisi kesehatan termasuk berat badan MD semakin menurun. Hingga akhirnya, di awal Februari 2021, salah satu kerabat menyarankan untuk pergi ke dokter spesialis penyakit dalam. Dokter pun menyerankan untuk pemeriksaan laboratorium. Dan hasilnya, MD positif menderita TBC.

Sama seperti YS, dokter juga memberikan surat rujukan kepada MD untuk menjalani pengobatan di puskesmas.

“Waktu itu kalau tidak salah ingat, biaya dokter dan pemeriksaan lab sekitar Rp1,5 juta. Yang tinggi itu biaya lab. Soalnya, ada beberapa sampel yang diperiksa. Itu sesuai arahan dokter,” ungkap kakak kandung MD yang meminta namanya tidak disebutkan.

Tak sampai disitu. Di awal fase pengobatan, MD mengalami efek samping obat anti tuberkulosis (OAT) cukup berat. Mulai dari demam tinggi, menggigil hingga muntah. Bahkah, dari cerita kakaknya, MD sesekali nyaris hilang kesadaran.

Tak kuat melihat kondisi anak kedua mereka, orang tua MD memutuskan untuk menempuh pengobatan alternatif secara tradisional. Disitulah, obat TBC yang seharusnya diminum setiap hari, justru tak lagi rutin diberikan.

Takdir berkata lain. Segala upaya yang dilakukan keluarga demi kesembuhan MD tak sesuai harapan. MD meninggal dunia. Nama MD menambah catatan kelam penderita TBC di bolmong yang meninggal dunia di tahun ini.

Direktur Eksekutif Stop TB Partnership Indonesia (STPI), Heny Akhmad juga mengakui persoalan minimnya pengetahuan masyarakat tentang penyakit TBC. Apalagi kata dia, pada kondisi di tengah pandemi Covid-19 saat ini, masalah TB semakin terpinggirkan. Bahkan kampanyenya seolah mundur .

“Karena Covid-19, (TBC) jadi mundur 4 atau 5 tahun lalu. Bukan berarti beban penanganan TBC berkurang drastis karena ribuan kasus tidak ditemukan, tapi karena semua layanan kesehatan fokus ke Covid-19,” akunya saat menjadi pembicara pada workshop bersama jurnalis yang digelar AJI Jakarta, Selasa (13/4).

Situasi ini menurut Heny, semakin menimbulkan kekhawatiran karena TBC dapat menular. Ketika para penyintas tidak ditangani dengan cepat dan tepat, maka sangat mungkin dia menularkan penyakitnya kepada orang di sekitarnya. Mereka yang terpapar juga akan menularkan penyakit yang disebabkan bakteri tersebut ke orang di dekatnya.

Karena itu, ia berharap pemerintah jangan kendor untuk menangani TBC. Puskesmas dan rumah sakit harus melayani mereka. Pemda harus mendukung penanganan TBC di daerahnya. Masyarakat harus gencar mempromosikan pola hidup sehat dan pencegahan TBC.

“Dengan begitu kita sama-sama mempersempit celah penularan dan penambahan kasus TBC,” jelasnya.

Disclaimer: Demi menjaga kerahasian data dan kenyamaan penderita TB, nama dan alamat beberapa narasumber tidak kami sebutkan secara detail.


Marshal Datundugon,

Jurnalis di Bolaang Mongondow. Setelah bekerja di beberapa media, kini secara penuh mengelola media Pantau24.com. Liputan khusus ini merupakan fellowship jurnalistik yang kesekian kalinya dikerjakan oleh Marshal. Sebelum ini karya jurnalistiknya terpilih sebagai nominator PLN Award 2021.