Bitung
Polo Boven: Tawuran di Bitung Adalah Alarm Sosial yang Harus Kita Dengarkan

BITUNG, PANTAU24.COM-– Insiden tawuran antar pemuda Kompleks Sari Kelapa dan Kompleks Empang di depan Masjid Agung Nurul Huda, Minggu dini hari, 19 Januari 2025, menjadi pengingat bahwa Kota Bitung sedang menghadapi tantangan besar dalam membangun harmoni sosial.
Peristiwa ini, menurut Pemerhati Kota Bitung Muzakir Polo Boven, bukan sekadar aksi kenakalan remaja, tetapi cerminan dari masalah yang lebih mendalam.
“Tawuran ini bukan hanya tentang pagar masjid yang roboh atau tindakan kriminal remaja. Ini adalah alarm sosial yang menandakan kegagalan kita sebagai masyarakat untuk memberikan ruang dan arah bagi generasi muda,” ujar Polo Boven saat dihubungi, Minggu sore.
Polo melihat peristiwa tersebut sebagai konsekuensi dari lemahnya pembinaan sosial dan kurangnya wadah bagi pemuda untuk menyalurkan potensi mereka.
Ia menyoroti bahwa tawuran sering kali terjadi di ruang-ruang yang seharusnya menjadi simbol perdamaian dan kebersamaan, seperti masjid.
“Masjid Agung Nurul Huda adalah salah satu ikon Kota Bitung. Robohnya pagar masjid akibat tawuran ini bukan hanya kerugian material, tetapi juga simbolik. Ini mencerminkan retaknya hubungan antar komunitas di tingkat akar rumput,” katanya.
Polo mengapresiasi langkah cepat Polres Bitung yang langsung menggelar pertemuan darurat bersama Forkopimda, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Namun, ia mengingatkan bahwa respons reaktif semacam ini harus diiringi dengan strategi jangka panjang.
“Kita sering terlalu fokus pada penanganan setelah kejadian. Padahal, yang lebih penting adalah pencegahan. Bagaimana kita menciptakan sistem yang mendeteksi potensi konflik sejak dini? Itu yang harus diprioritaskan,” tegasnya.
Menurut Polo, peran keluarga, komunitas, dan lembaga pendidikan sangat krusial dalam membangun karakter pemuda. Ia menilai ada celah dalam pendekatan pendidikan dan pembinaan, baik di rumah maupun di lingkungan sekolah.
“Kenakalan remaja sering kali berakar dari kurangnya perhatian di rumah, minimnya pembinaan di sekolah, dan ketiadaan ruang aman di masyarakat untuk berekspresi. Ketika mereka merasa tidak memiliki tempat, konflik menjadi cara mereka mengekspresikan eksistensi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti peran media sosial yang kerap memicu eskalasi konflik di kalangan anak muda. “Media sosial harus menjadi alat edukasi, bukan pemantik konflik. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk mengawasi penggunaan media sosial di kalangan pemuda,” kata Polo.
Polo mengusulkan agar pemerintah Kota Bitung segera menggagas program kepemudaan berbasis komunitas yang melibatkan tokoh agama dan masyarakat.
Program ini, menurutnya, harus dirancang tidak hanya untuk menekan potensi konflik, tetapi juga untuk membangun rasa memiliki di antara anak-anak muda terhadap kota mereka.
“Kita perlu membuat mereka merasa bahwa mereka adalah bagian penting dari Kota Bitung. Jika mereka memiliki rasa bangga terhadap kotanya, mereka tidak akan mudah terlibat dalam tindakan destruktif,” katanya.
Tawuran di depan Masjid Agung Nurul Huda ini, menurut Polo, adalah pengingat bagi semua pihak untuk introspeksi.
“Kejadian ini adalah tanggung jawab kita bersama, bukan hanya tugas kepolisian. Masa depan Kota Bitung ada di tangan generasi muda, dan kita tidak boleh gagal membimbing mereka,” tutupnya.

You must be logged in to post a comment Login