Connect with us

PERISTIWA

Indonesia Sebaiknya Bekerja dengan Pakar Hukumnya 

Published

on

Indonesia dan Amerika Serikat sepakat memperkuat kemitraan dalam hubungan diplomatik antar kedua negara yang telah berjalan selama 75 tahun. Hal ini dipertegas dalam pertemuan antara Presiden Prabowo Subianto dan Presiden AS Joe Biden di Gedung Putih, Washington DC, pada Selasa (12/11). Amerika Serikat merupakan negara kedua yang dikunjungi Prabowo dalam lawatan pertamanya ke luar negeri setelah dilantik menjadi presiden akhir Oktober lalu.

Berbicara pada wartawan seusai pertemuan itu, Prabowo mengatakan “Amerika bagi kami adalah teman yang sangat baik. Amerika mendukung kami dalam perjuangan kemerdekaan dan membantu kami berkali-kali saat kami membutuhkannya. Oleh karena itu, saya akan bekerja keras untuk memperkuat hubungan Indonesia-Amerika.”

Sementara Biden menyampaikan dua isu yang menjadi keprihatinan utama Amerika yaitu kebebasan navigasi di Laut China Selatan, dan tantangan global, “termasuk apa yang terjadi di Gaza.” Biden juga mengatakan ia ingin memperkuat Kemitraan Strategis Komprehensif AS-Indonesia, kerjasama tertinggi di antara sekutu non-pakta yang ditandatangani kedua negara pada tahun 2023.

Seusai pertemuan itu, keduanya mengeluarkan pernyataan bersama yang menjabarkan hal-hal yang dibicarakan dan disepakati, antara lain soal upaya mempertahankan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif, mendorong inovasi lewat kerjasama digital dan teknologi, dan sejumlah hal lain. Namun satu paragraf yang menarik perhatian adalah soal Laut China Selatan.

Fakta menarik dan bermanfaat

Pernyataan itu menyatakan “Kedua pemimpin menggarisbawahi dukungan mereka yang tak tergoyahkan untuk menegakkan kebebasan navigasi dan penerbangan serta penghormatan terhadap hak-hak kedaulatan dan yurisdiksi negara-negara pantai atas zona ekonomi eksklusif mereka sesuai dengan hukum laut internasional, seperti yang tercermin dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) tahun 1982.”

Pernyataan itu juga menegaskan bahwa “Amerika dan Indonesia juga mengakui pentingnya implementasi penuh dan efektif dari Deklarasi Perilaku Para Pihak di Laut China Selatan tahun 2002 dan menyatakan dukungan atas upaya ASEAN untuk mengembangkan Kode Etik yang efektif dan substantif di Laut China Selatan yang sesuai dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS; serta menghormati hak-hak dan kepentingan pihak ketiga. Kedua pemimpin mencatat putusan pengadilan arbitrase tahun 2016, yang dibentuk berdasarkan UNCLOS.”

Kontradiksi pernyataan

Pernyataan Prabowo-Biden ini berbeda dengan pernyataan Prabowo-Xi Jinping dalam kunjungan presiden beserta rombongannya ke Beijing pada Sabtu (9/11) lalu.

Pada akhir pekan lalu, pernyataan yang dirilis oleh Prabowo dan Xi menjelaskan bahwa “Kedua belah pihak mencapai pemahaman bersama yang penting tentang pengembangan bersama di bidang klaim yang tumpang tindih dan setuju untuk membentuk Komite Pengarah Bersama Antar-Pemerintah untuk mengeksplorasi dan memajukan kerja sama yang relevan berdasarkan prinsip-prinsip ‘saling menghormati, kesetaraan, saling menguntungkan, fleksibilitas, pragmatisme, dan pembangunan konsensus,’ sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku di masing-masing negara.”

Anggota Badan Keamanan Laut (Bakamla) tampak menggunakan teropong untuk mengawasi pergerakan kapal penjaga pantai China di Laut Natuna Utara, pada 24 Oktober 2024. (Foto: Bakamla via AP)

Menjawab pertanyaan VOA seusai pertemuan antara Biden dan Prabowo soal apakah Biden secara khusus merujuk pada pernyataan dan kesepakatan Indonesia dengan China ketika bicara tentang perlunya menjaga kebebasan navigasi di Laut China Selatan, juru bicara Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan “kami mendorong Indonesia untuk bekerja dengan pakar-pakar hukumnya guna memastikan bahwa perjanjian apapun yang dibuat dengan China tetap sesuai dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS.”

Klarifikasi Kemlu

Sebelum pertemuan Prabowo-Biden, Kementerian Luar Negeri pada hari Minggu (10/11) telah mengeluarkan pernyataan yang seakan menjelaskan pernyataan bersama Prabowo-Xi sebelumnya.

“Kerja sama akan dilaksanakan dalam koridor ketentuan undang-undang dan peraturan negara masing-masing. Bagi Indonesia, tentunya kerja sama ini harus dilaksanakan berdasarkan sejumlah undang-undang dan peraturan yang terkait, termasuk yang mengatur kewilayahan; undang-undang ratifikasi perjanjian internasional kelautan, khususnya Konvensi Hukum Laut 1982; maupun ratifikasi perjanjian bilateral tentang status hukum perairan atau pun delimitasi batas maritim; peraturan tentang tata ruang laut serta konservasi dan pengelolaan perikanan, perpajakan dan berbagai ketentuan lainnya,” tulis pihak kementerian.

Kemlu menggarisbawahi bahwa “kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim nine-dash-line China. Indonesia menegaskan kembali posisinya selama ini bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Dengan demikian, kerja sama tersebut tidak berdampak pada kedaulatan, hak berdaulat, maupun yurisdiksi Indonesia di Laut Natuna Utara.”

Ketidakjelasan posisi

Namun Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Prof. Hikmahanto Juwana, yang dengan jeli melihat perbedaan pernyataan Prabowo-Xi dengan Prabowo-Biden itu, mengecam hal itu.

“Pernyataan yang berbeda-beda ini menunjukkan posisi Indonesia saat ini tidak jelas dan sangat membingungkan, apakah mengakui atau tidak sembilan garis putus-putus (nine-dash-lines) China,” ujarnya.

Hikmahanto menambahkan bisa saja pernyataan bersama Prabowo-Biden pada Selasa adalah “yang berlaku” dan hal ini sesuai dengan klarifikasi Kemlu pada hari Minggu lalu, tetapi bukan tidak mungkin pula, tambahnya, China akan mengeksploitasi pernyataan bersama Prabowo-Xi “untuk mengatakan pada dunia bahwa Indonesia telah merubah posisinya dengan mengakui sembilan garis putus dan berpihak pada perspektif China.”

Peringatan serupa telah disampaikan Prof. Eddy Pratomo, mantan Direktu Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional di Kementerian Luar Negeri RI, yang sejak awal telah mengingatkan bahwa “keberhasilan China memperoleh pengakuan dari Indonesia akan dikapitalisasi untuk mendesak negara-negara ‘claimants’ lainnya agar menerima nine-dash-lines, yang pada akhirnya akan memperlemah posisi ASEAN yang selama ini menolak klaim yang tidak sesuai dengan UNCLOS 1982.”

Sebelumnya mantan Duta Besar Indonesia untuk Jerman ini memang telah mengeluarkan pernyataan panjang mengkritisi pernyataan bersama Prabowo-Xi di Beijing.

“Selama ini Indonesia selalu konsisten untuk tidak menerima posisi China yang mengklaim Laut China Selatan berdasarkan nine-dash-line yang tidak mempunyai legalitas dalam hukum internasional, khususnya UNCLOS 1982 maupun hukum kebiasaan internasional.”

“Indonesia selalu konsisten menyatakan diri tidak mempunyai klaim dan tidak menerima klaim berdasarkan nine-dash-line serta mendesak penyelesaian sengketa di kawasan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip hukum laut internasional,” tambahnya.

Oleh karena itu ia menilai pernyataan bersama Indonesia-China pada pekan lalu menunjukkan seakan-akan “Indonesia sudah mengakui adanya wilayah tumpang tindih (overlapping claims) yang secara yuridis dapat dianggap sebagai pengakuan klaim secara diam-diam(tacit recognition) nine-dash-line China atas Laut China Selatan, khususnya Laut Natuna Utara.”

Posisi baru Indonesia ini, ujar Eddy, menjadi tidak sejalan dengan keputusan Permanent Court of Arbitration (PCA) tentang Laut China Selatan tahun 2016 dan semua dokumen yang dikeluarkan ASEAN, termasuk pernyataan Indonesia di berbagai forum internasional selama ini yang secara konsisten menegaskan komitmen pada UNCLOS 1982. Kondisi tersebut juga berpotensi bertentangan dengan Pasal 8 UU No.43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, yang tidak pernah menyebutkan batas maritim Indonesia dengan China.

Demi Investasi China?

Pengamat Hubungan Internasional di Universitas Indonesia Aristyo Rizka Darmawan khawatir Indonesia mengeluarkan pernyataan bersama itu karena “mungkin ingin menggaet investasi yang banyak dari China.”

Ia merujuk pada komitmen Prabowo untuk mencapai angkat pertumbuhan delapan persen, yang salah satu caranya adalah dengan menggenjot investasi.

“Dan negara yang bisa memberikan investasi mungkin bertambah kembang cepat ya China, selaku mitra dagang Indonesia yang besar,” ujarnya pada VOA.

Meski demikian, ia mendorong pemerintah untuk mengkaji lebih rinci kesepakatan seperti ini supaya tidak ada celah yang merugikan Indonesia kelak. Jika ada kerja sama apapun di wilayah Laut China Selatan, Indonesia harus menegaskan kembali bahwa wilayah tersebut sepenuhnya wilayah Indonesia dan tidak mengakui klaim China.

Presiden Prabowo pada Selasa (12/11) juga menerima kedatangan Direktur Central Intelligence Agency (CIA), William J. Burns di Wisma Indonesia, di Tilden, Washington DC. Dalam keterangan pers Sekretariat Presiden, disampaikan bahwa Burns didampingi Assistant Director for EAPMC Henry Kim, dan Kepala Operasi CIA di Jakarta Carlos. Belum ada rincian lain tentang pertemuan itu. [em/rs]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply