PERISTIWA
“Ternyata Tak Seperti yang Dilihat di Medsos”
Ribuan anak muda ‘berkencan’ di aula SMESCO Convention Hall, Jakarta, Minggu (28/1). Namun kencan kali itu berbeda dengan kencan biasa, karena yang mereka ajak kencan secara singkat di sana adalah para calon anggota legislatif dari 18 partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Konsep kencan singkat untuk mengenal visi, misi dan rekam jejak para caleg itu diperkenalkan Bijak Memilih, gerakan independen edukasi politik. Mereka mendorong generasi muda untuk memilih secara rasional dalam pemilu mendatang. Caranya dengan menelusuri latar belakang dan gagasan para peserta.
“Kita pengin bikin sebuah konsep acara yang memfasilitasi para pengunjung supaya bisa berinteraksi langsung sama caleg-caleg yang berbeda. Silakan kunjungi booth-booth itu dan nanya pertanyaan-pertanyaan yang mereka pengin tanyakan kepada caleg-caleg ini, yang akan mewakili mereka (nantinya jika terpilih),” ungkap salah seorang penggagas Bijak Memilih, Abigail Limuria, kepada VOA, Minggu (28/1).
Acara itu diberi tajuk Festival Pemilu. Stan-stan partai politik berjejer memenuhi sebagian aula. Para pengunjung dipersilakan mampir dari satu lapak ke lapak berikutnya untuk ‘mengencani’ para caleg yang siap menyambut mereka dengan tangan terbuka.
“(Acara ini) berangkatnya mungkin dari kegelisahan dari yang banyak lihat baliho, tapi tidak bikin kita kenal sama partai maupun calegnya,” ungkap penggagas Bijak Memilih lainnya, Andhyta Firselly Utami, yang akrab disapa Afu.
“Jadi kita memutuskan bahwa langsung aja, (pengunjung) bisa berinteraksi langsung secara offline, dan (para caleg) langsung bisa dibandingkan, karena mereka bersebelahan kan,” ujar Andhyta
Pengunjung yang didominasi generasi milenial dan generasi Z itu bebas bertanya apa saja.
Fadli Bimantoro, pengunjung asal Jakarta yang datang bersama beberapa temannya, ingin tahu lebih jauh tentang strategi salah satu partai yang banyak merekrut selebriti sebagai caleg.
“Kalau saya lebih ke Partai PAN sih, karena kita tahu di situ banyak artis-artis. Terus saya berpikir partai itu apakah benar-benar ingin fokus ke artis doang atau secara umum, semuanya, mulai dari yang ekonominya dari bawah?” ujar Fadli.
Lain Fadli, lain Dera. Pemudi asal Jawa Barat itu prihatin akan penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) dalam kampanye pemilu kali ini.
“Gerindra ‘kan mereka salah satu partai yang paling aktif menggunakan AI, padahal desainer atau orang yang (berkiprah dalam bidang) seni gitu sangat menentang. Kenapa tetap berkukuh pakai AI?” kata Dera.
Sementara Dafi Muchlisin, salah satu pemilih Tuli yang mengunjungi acara itu, berharap lebih dari para calon wakil rakyat yang ia temui. Pasalnya, ia merasa pelibatan komunitas disabilitas, termasuk komunitas Tuli, dalam pembangunan nasional masih sangat minim.
“Paling kebanyakan sih ‘oh iya, kami akan bekerja sama kok,’ ‘oh iya, kami juga belajar kok,’ jadi masih seputar hal tersebut, masih hal-hal yang masih sangat umum,” ungkap Dafi, yang berbicara dengan bahasa isyarat dan kemudian diterjemahkan oleh salah seorang penerjemah kepada VOA.
Puluhan caleg berpartisipasi dalam acara tersebut, meladeni satu demi satu, atau justru segerombolan pengunjung sekaligus. Salah satu di antaranya adalah Christian Natalius, pramugara yang memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif untuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tangerang Selatan dari Partai Buruh.
“Pertanyaan paling menarik dari begitu banyak pengunjung adalah modalnya dari mana caleg-caleg Partai Buruh? Karena ‘kan katanya yang naik (menjadi caleg) itu (pengemudi) ojek online, sopir angkot,” ujar Christian.
Sementara Marsha Damita Siagian, caleg DPR RI dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI), mengingatkan para pemilih muda bahwa pemilihan umum pada 14 Februari mendatang bukan hanya pemilihan presiden, tetapi juga pemilihan legislatif dari tingkat kota, kabupaten, provinsi, hingga nasional, serta perwakilan daerah untuk DPD.
“Gunakan hak pilih kalian sepenuh-penuhnya,” kata Marsha.
“Kalau sampai kalian amit-amit memilih golput – maaf ya kalau gue bilang amit-amit golput – tolong tetap datang ke (tempat pemungutan suara) pemilu. Coblosin surat suaranya. Jangan golput karena malas, karena kalau surat suara lo nggak dipakai, itu akan bisa diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang nggak bertanggung jawab,” tambahnya.
Acara yang juga menghadirkan sesi bermain dengan perwakilan masing-masing tim kampanye pilpres itu berlangsung sejak pagi hingga malam. Para pengunjung mengaku kagum pada konsep Festival Pemilu yang dikemas ringan tetapi berbobot, serta mendekatkan politik pada kelompok demografi yang menjadi mayoritas pada pemilu kali ini.
“Aku tuh selama ini kesulitan untuk mencari tahu lebih lanjut tentang para caleg ini visinya seperti apa sih? Atau rekam jejaknya seperti apa sih? Walaupun banyak ya sekarang informasinya di media sosial, di internet, segala macam, tapi lebih menyenangkan ternyata menurut aku untuk bisa ngobrol langsung sama representasinya,” ungkap Tsabita, pengunjung asal Tangerang Selatan, saat ditemui VOA.
Temannya, Michelle, asal Jakarta Utara, juga senang dengan konsep speed dating caleg itu.
“Banyak hal yang lumayan membukakan mata setelah kita ngobrol, ‘oh ternyata tidak seperti yang dilihat di media sosial,’” ujarnya.
Meski demikian, beberapa pengunjung mengaku belum puas mengulas para kandidat, seperti diungkapkan content creator Jerhemy Owen.
“Jujur aja gue pengin ke setiap partai nanya apa sih program-program mereka terhadap lingkungan?” tutur Jerhemy. “Sayangnya karena ramai banget, jadi rada susah dan waktunya terbatas.”
Dalam Evaluasi Pemilu Serentak 2019: Dari Sistem Pemilu ke Manajemen Penyelenggaraan Pemilu yang disusun Perludem, lembaga itu menyoroti terbengkalainya pemilu legislatif dibandingkan pemilu presiden. Meski angka partisipasi pemilih yang datang ke TPS pada Pemilu 2019 (81%) meningkat, setelah terjadi penurunan sejak Pemilu 1999, kesenjangan jumlah suara tidak sah antara pemilu presiden dan pemilu DPR, DPD dan DPRD “cukup tinggi.”
Secara nasional, surat suara tidak sah dalam pemilu presiden berada pada angka 2,38%, dibandingkan dengan pemilu DPR yang mencapai 11,12%, dan pemilu DPD 19,02%.
Setali tiga uang, hasil survei LIPI juga menunjukkan bahwa perhatian pemilih pada Pemilu 2019 tersita oleh pilpres, sehingga mereka tidak punya cukup waktu untuk mengenali satu per satu caleg yang bersaing pada setiap tingkatan.
Sementara itu, pemilu kali ini akan diikuti sekitar 107 juta pemilih muda, yang mewakili 52% dari keseluruhan pemilih. [rd/ah]
You must be logged in to post a comment Login