PERISTIWA
Aktivis Lingkungan Temukan Jagung di Lahan Food Estate Hanya Ditanam di Polybag
Beberapa aktivis lingkungan, salah satunya Greenpeace Indonesia, menemukan jagung yang berada di lahan lumbung pangan (food estate) di Gunung Mas, Kalimantan Tengah, tidak ditanam sebagaimana mestinya. Jagung tersebut hanya ditanam dengan menggunakan polybag atau kantong pot plastik, bukan di tanah langsung.
Forest Campaign Team Leader Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan sebelumnya lahan food estate tersebut ditanami singkong oleh Kementerian Pertahanan. Namun karena gagal tumbuh, pemerintah di bawah Kementerian Pertanian menggantinya dengan komoditas jagung.
Arie menjelaskan sebenarnya tidak heran jika singkong gagal tumbuh di lahan tersebut, begitu pun jagung yang bisa tumbuh hanya di polybag. Pasalnya lahan seluas 700 hektare tersebut sebelumnya merupakan hutan yang dibabat habis demi proyek food estate tersebut. Yang tersisa dari hutan tersebut, kata Arie, hanya pasir. Maka dari itu komoditas pangan akan sulit tumbuh subur.
Dari temuan tersebut, pihaknya menemukan hampir semua jagung di areal food estate ini menggunakan polybag.
“Soal digantinya komoditas singkong ke jagung, kami juga mengunjungi. Jadi bukan hanya 1-3 pot saja, kami punya data dan foto, di lokasi itu hampir sebagian besar yang sudah tumbuh memang ditanam di atas polybag. Dan kami melihat memang ada logonya Kementan,” ujar Arie.
Di sisi lain, lanjutnya, memang ada pembukaan lahan dan mereka coba mau tanam jagung.
“Waktu kami ke sana masih kecil-kecil dan itu ada media tanah yang dibawa ke lokasi. Artinya memang tanah-tanah di situ tidak subur,” ungkap Aris.
Ia menjelaskan, dengan kegagalan proyek food estate mulai dari pemerintahan Presiden Soeharto, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga Presiden Joko Widodo menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kajian yang mendalam sebelum mengeksekusi salah satu proyek strategis nasional itu.
Dalam catatan Greenpeace Indonesia setidaknya ada sekitar 3,2 juta hektare lahan food estate yang tersebar di beberapa titik di Nusantara, yaitu Kalimantan Tengah, Sumatra Utara dan direncanakan di Papua yang merupakan lahan hutan.
Namun Arie menyayangkan hal tersebut mengingat strategi intensifikasi seharusnya dilakukan di lahan pertanian yang subur, misalnya di wilayah Jawa dengan pengetahuan dan teknologi yang mendukung. Namun, lahan-lahan pertanian yang ada di wilayah Jawa pun, kebanyakan telah diubah fungsinya oleh pemerintah menjadi infrastruktur atau area industri.
“Sementara di wilayah lain ya mungkin struktur tanah dan kesuburannya berbeda, ini dipaksakan sehingga itu terjadi kegagalan. Lahan gambut misalnya, dia kan punya ekosistem dan karakteristik yang berbeda, tidak mungkin dipaksakan karena kalau ekosistemnya rusak pasti dia akan berdampak juga pada komoditas padi atau bahan pangan yang ditanam di lokasi itu,” jelasnya.
Menurut Arie, pemerintah perlu menaruh perhatian pada permasalahan ini. Jika proyek food estate ini terus dipaksakan ditanam di lahan yang tidak subur, atau terus membabat hutan, maka akan terjadi krisis iklim yang pastinya juga berdampak pada krisis pangan.
“Kalau hutan dibabat dia akan mengeluarkan emisi dan itu akan memicu krisis iklim dan siklus kemudian jadi terhubung dengan siklus krisis pangan. Ini yang kemudian tidak pernah disadari, atau kemudian dipaksakan,” katanya.
Padahal, menurut Arie, dua hal tersebut harus ditangani bersamaan karena ketika krisis iklim semakin parah, maka akan berdampak pada krisis pangan. Dengan demikian, pendekatan yang dilakukan seharusnya melakukan pendekatan yang sejalan dengan tidak membuka hutan, apalagi dengan sistem pangan skala besar itu tidak menjawab persoalan.
“Karena dari pengalaman yang sudah ada bahkan berdampak pada krisis iklim,” tegasnya.
Arie mengimbau pemerintah untuk mengkaji ulang proyek food estate dengan memperhatikan faktor krisis iklim dan krisis pangan secara bersamaan. Semua itu, katanya, harus sejalan dengan sistem ekonomi yang dibangun, salah satunya memenuhi kebutuhan pangan nasional dengan mengedepankan kearifan lokal dalam pengelolaan pangannya.
“Yang kita butuhkan sebenarnya sistem pangan beragam dan itu yang harus dikembangkan. Itu yang kami sebut sebagai konsep kedaulatan pangan tapi pemerintah tidak melihat itu dan lagi-lagi terus dipaksakan,” katanya.
“Lahan pertanian yang dibuka dari hutan, kami meminta untuk dipulihkan dan juga membatasi sistem ekonomi atau industri ekstraktif yang berbasis lahan yang itu justru berdampak pada krisis pangan, dan krisis iklim,” imbuhnya.
Bantahan Kementan
Dalam siaran pers yang diterima oleh VOA, Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman membantah tudingan bahwa tanaman jagung tersebut ditanam dalam polybag. Amran meminta semua pihak untuk mendatangi lokasinya secara langsung untuk membuktikan pernyataannya.
“Ada informasi katanya jagung ditanam di pot. Saya minta coba tunjukkan potnya, katanya ada yang pakai pot di sebelah mana itu,” ujar Mentan .
Ia beralasan, penggunaan pot hanya dilakukan pada benih percobaan untuk mengetahui kondisi iklim dan seberapa besar pertumbuhan jagung yang akan ditanam. Amran mengklaim bahwa polybag ini hanya dilakukan di beberapa pot saja karena benih-benih lain tetap menggunakan media tanah secara langsung.
“Itu untuk percobaan saja agar kita mengetahui kondisi iklim dan benih yang akan ditanam. Dan itu yang diambil gambarnya. Tolong di ubah mindset-nya, diubah karakternya agar negara yang saya cintai ini bisa menjadi super power. Jangan diisi dengan orang-orang pecundang yang suka fitnah,” katanya.
Luas lahan food estate Gunung Mas sendiri mencakup luas yang mencapai 600 hektare. Pengembangan dan penanaman jagung di area tersebut dilakukan secara berkelanjutan dengan penerapan teknologi dan inovasi pertanian serta pelibatan sumber daya manusia pertanian yang mumpuni.
Mentan menambahkan bahwa kolaborasi Kementan dan Kemenhan mampu membuat lahan di lokasi tersebut menjadi tumbuh subur sehingga pada Januari mendatang diperkirakan sudah panen.
“Kami yakin dengan kolaborasi ini Indonesia mampu menapaki swasembada di masa yang akan datang. Insya Allah semuanya berjalan dengan baik,” pungkasnya. [gi/ah]
You must be logged in to post a comment Login