Kesiapan tersebut diungkapkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KASAL) Laksamana TNI Muhammad Ali. Ia menjelaskan keberangkatan kapal ini masih menunggu izin keamanan dari pemerintah Mesir.
“Ya kita masih menunggu security clearance. Jadi kalau itu sudah ada disetujui oleh pemerintah Mesir, kita berangkatkan. Dan nanti tentu saja atas seizin Bapak Presiden,” ungkap Ali, di Jakarta, Senin (11/12).
Muhammad juga menyatakan bahwa KRI dr Radjiman sanggup untuk membangun rumah sakit lapangan, mengingat kesiapannya dari dari hal logistik dan sumber daya manusia. Bahkan, ia menyebut banyak para relawan yang menyatakan ingin bergabung dalam misi kemanusiaan ini.
“Prajurit, sudah siap. Banyak relawan yang mau ikut. Kita intinya bakti sosial dan bakti kesehatan. Selain membagikan bahan kontak, juga kalau bisa kita melaksanakan pengobatan terhadap pengungsi, tapi saya dengar kabar bahwa pengungsi belum diizinkan masuk ke Mesir. Jadi kita masih menunggu, tapi kita siap, dokter-dokter siap,” katanya.
Menurutnya, 200 tenaga medis dari TNI pun telah dipersiapkan. TNI AL, katanya, masih membuka kesempatan kepada Kementerian Kesehatan atau para relawan yang memiliki kemampuan medis untuk bergabung.
Upaya Politik Harus Tetap Jalan
Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Agung Nurwijono menyambut baik rencana pengiriman kapal rumah sakit dari pemerintah Indonesia untuk membantu korban di Gaza. Menurutnya, pengiriman bantuan kemanusiaan dalam bentuk apapun merupakan upaya konkret dari Indonesia untuk senantiasa menolong masyarakat sipil, terlebih banyak rumah sakit-rumah sakit di Gaza yang hancur akibat serangan Israel.
Meski begitu, ia menggarisbawahi bahwa semua pihak harus tetap mendorong penyelesaian konflik tersebut lewat langkah-langkah politis. “Kita perlu melihat juga bahwa ini bukan satu-satunya cara karena memang langkah politisnya harus tetap jalan. Penghentian akan perangnya tetap menjadi prioritas. Yang dilakukan sekarang bantuan kemanusiaan, asistensi terhadap usaha untuk meredakan luka itu yang tetap harus seiring sejalan dengan langkah politik yang terus didorong,” katanya.
Ia pun menyoroti langkah Amerika Serikat yang memberikan hak vetonya untuk menolak resolusi gencatan senjata di Gaza di Dewan Keamanan PBB pekan lalu. Menurutnya, langkah tersebut sangat kontra produktif dengan upaya peredaan atau deeskalasi konflik. Padahal, menurutnya, gencatan senjata adalah sebuah keharusan dalam konteks perang yang terjadi saat ini.
Gencatan senjata, katanya, harus dilihat sebagai upaya konkret untuk untuk melindungi korban di pihak sipil. Ia juga khawatir apabila terus berkepanjangan, perang itu akan memicu serangan-serangan lainyang dilancarkan oleh berbagai pihak tertentu.
“Okay….kekerasan yang terjadi di Palestina itu satu poin tapi ternyata juga memicu respon dari kelompok milisi di wilayah utara. Ada kelompok Hizbullah yang kemudian memberikan tekanan terhadap Israel, belum lagi kelompok di Yaman yang juga memberikan suatu respon tersendiri. Artinya in the name of solidarity mereka melakukan respon-respon tersebut,” katanya.
Jika konflik tidak kunjung mereda, kata Agung, dampaknya akan sangat buruk di masa mendatang, terutama terhadap perekonomian.
“Yang harus tetap kita perhatikan adalah gelombang di kelompok masyarakat misalkan kelompok yang mendukung boikot. Tentu itu suatu ancaman yang nyata ketika perang ini senantiasa terus berlanjut akan punya efek domino yang tidak hanya di level elite tapi juga di kelompok sosial masyarakat pun ini bisa memberikan dampak. Hal-hal itu pula yang seharusnya mungkin tetap menjadi awareness bersama karena dampaknya pasti luas,” pungkasnya. [gi-iy/ab]
You must be logged in to post a comment Login