PERISTIWA
‘Slow Fashion’, Gaya Hidup Peduli Lingkungan Lewat Fesyen
Isu-isu keberlanjutan (sustainability) terkait lingkungan banyak menimbulkan perubahan di berbagai industri, termasuk di antaranya industri mode atau fesyen. Kesadaran mengenai dampak industri fesyen yang sering disebut termasuk tiga besar polutan lingkungan di seluruh dunia ini menimbulkan gaya hidup yang mulai memarakkan slow fashion.
Najmah Faradiba, karyawan perusahaan swasta, mulai membeli produk-produk fesyen ramah lingkungan sejak tahun 2017. Diba, begitu ia dipanggil, mengaku tertarik dengan isu-isu keberlanjutan terutama di industri fesyen.
“Saya mulai baca-baca-ternyata baju yang sering saya pakai itu termasuk fast fashion yang impak lingkungannya parah sekali,” kata Diba.
Fast fashion yang Diba sebut itu mengacu pada industri yang memproduksi pakaian secara massal, cepat, sesuai tren dan … murah. Karena murah, konsumen kerap rela untuk tidak berlama-lama mengenakan pakaian itu.
Ellen Macarthur Foundation di AS mendapati angka rata-rata tujuh hingga 10 kali pakai sebelum satu pakaian dibuang. Yayasan yang berkomitmen pada ekonomi sirkular untuk menghilangkan limbah dan polusi ini juga mencatat industri tekstil sangat bergantung pada sumber daya tak terbarukan, seperti minyak untuk memproduksi serat sintetis, pupuk untuk tanaman kapas, serta berbagai bahan kimia untuk memproduksi serat maupun tekstil. Organisasi lainnya, earth.org, mencatat bahwa dari 100 juta helai pakaian yang diproduksi setiap tahun 92 juta ton berakhir di TPA.
‘Slow fashion’
Buku “Fast Fashion: The Dark Sides of Fashion” terbitan Jerman yang dibaca Ghina Fadhilla, membuka matanya mengenai slow fashion. Istilah yang kerap disamakan dengan fesyen berkelanjutan (sustainable fashion) ini mengacu pada praktik yang didasari pada proses produksi yang ramah lingkungan serta beretika, dan pemakaiannya pun bertahan dalam rentang waktu yang lebih lama. Praktik slow fashion juga tidak memprioritaskan kuantitas, melainkan kualitas.
Keinginan Ghina untuk lebih banyak berkontribusi ke slow fashion membawanya bergabung dengan komunitas Slow Fashion Indonesia (SFI) pada tahun 2020, mula-mula menjadi sukarelawan sebagai kreator konten media sosial SFI. Salah satu konten awal yang menarik di akun IG SFI pada awal 2021, kenangnya, adalah “Know Your Jeans,” yang membahas dampak produksi jins terhadap lingkungan.
“Kami mengekspose, untuk membuat satu potong celana jeans itu membutuhkan sekian liter air. Dari hasil produksinya, ada limbah cair, ada dampaknya bagi lingkungan di sekitar pabriknya,” jelasnya.
Menurut sumber SFI, satu potong celana jins biasa memerlukan 11 ribu liter dalam proses produksinya, jumlah yang bisa mengisi 20 bak mandi. Ghina menganggap penting untuk terus mengampanyekan slow fashion atau waste less lifestyle.
“Kalau kita tidak banyak mengampanyekan slow fashion atau less lifestyle, mungkin yang sadar itu cuma orang-orang yang memang punya kepedulian di bidang itu,” tegasnya.
Tetapi kalau banyak yang mengampanyekannya, orang yang terus terpapar info semacam itu akan berusaha memperhatikan apa yang bisa dikontribusikan sebagai individu, lanjut Ghina.
Komunitas SFI
Ghina bergabung dengan SFI karena ia kenal dengan pendirinya, Tara Ainun Adila. Tara sendiri sangat tertarik dengan isu sustainable fashion ketika mengambil kursus online semasa pandemi COVID. Aktivis organisasi semasa kuliah ini mengikuti berbagai akun untuk isu terkait, termasuk gerakan slow fashion global yang berbasis di Belanda, hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan komunitas SFI pada akhir 2020.
Membentuk komunitas dipandang penting oleh Tara karena sudah banyak pabrik garmen di Indonesia yang memproduksi busana untuk berbagai merek luar negeri dan menyebabkan lingkungan yang tercemar bahan kimia dari pabrik tersebut, serta, selera masyarakat untuk mengonsumsi fast fashion yang masih besar.
Selain itu, karena ada salah pemahaman di kalangan anak-anak muda Indonesia yang banyak memperhatikan isu lingkungan. “Mereka mulai belanja di thrift shop (toko barang bekas). Tapi pola pikir mereka, yang penting ikuti tren, jadi thrift shop jatuhnya tren, yang dibeli produk-produknya itu yang trendi,” kata Tara.
Karena menganggap belanja semacam itu berarti sudah cukup peduli lingkungan, mereka terus berbelanja. Dampak ikutannya, harga pakaian di toko ini naik menyamai harga produk baru, jelas Tara.
Pada awal beraktivitas, SFI berupaya meningkatkan kesadaran mengenai slow fashion di komunitas pencinta fesyen secara daring mengingat situasi pandemi ketika itu. Di antaranya ikut menyelenggarakan SF Season. Selama tiga bulan, komunitasnya mengajak orang-orang untuk berhenti mengonsumsi atau berbelanja fesyen baru, menginformasikan cara-cara menjadi konsumen yang lebih bertanggung jawab dan berkesadaran.
Piramida ‘buyerarchy’
Ajakan SFI kerap berpatokan pada piramida Buyerarchy of Needs yang disusun Sarah Lazarovic, kata sarjana kesehatan masyarakat itu yang kini bekerja sebagai rekruter di sebuah perusahaan rintisan teknologi.
“Pertama, kita kampanye untuk memakai yang ada di lemari kita. Di atasnya, meminjam baju kalau tidak ada, kita bisa meminjam baju mama atau kakak. Ketiga, swap atau bertukar baju. Keempat, thrift, berbelanja baju bekas atau second hand. Selanjutnya, make, memperbaiki pakaian menjadi baru, yang terakhir barulah beli,” jelas Tara mengenai hierarki tersebut.
Tara optimistis slow fashion akan semakin marak dipraktikkan. Sekarang saja, sudah banyak kalangan yang mengampanyekan fesyen berkelanjutan.
Ketika SFI diundang menjadi salah satu pembicara oleh perusahaan semacam itu, misalnyam ia melihat hadirin yang berasal dari kalangan industri, komunitas termasuk pesohor, memiliki ketertarikan pada isu yang sama. “Saya kira, ke depannya akan lebih banyak lagi yang menaruh kepedulian pada slow fashion,” kata Tara.
Optimismenya bertambah ketika murid-murid sebuah sekolah yang dikunjungi SFI untuk mempromosikan sustainable fashion kemudian antusias menyelenggarakan acara tindak lanjutnya. Begitu juga ketika swappyness, acara bertukar baju yang disponsorinya mendapat sambutan dari berbagai kelompok usia. SFI tahun ini juga mengunjungi suku Baduy untuk mempelajari tenunan suku tersebut dalam rangka mempelajari salah satu ilmu keberlanjutan dari berbagai suku di Indonesia.
Pewarna alami, peduli lingkungan
Kembali ke Diba yang membeli produk slow fashion untuk menunjukkan kepeduliannya terhadap lingkungan. Beberapa merek lokal, katanya,
berusaha mengurangi impak ke lingkungan, salah satu caranya dengan menggunakan bahan pewarna yang lebih alami. Di antara merek fesyen yang disebut Diba adalah Abhati.
Putri Anggita Mustikasari adalah pemilik dan co-founder Abhati, studio warna alam yang berbasis di Yogyakarta. Abhati, dari bahasa Sansekerta yang berarti kemegahan, memproduksi kain dengan menggunakan teknik warisan nenek moyang, seperti batik tulis, dengan menggunakan bahan-bahan alami di lingkungan.
Sebagai sarjana arsitektur, ia mempelajari konsep sustainability atau berkelanjutan. Namun ia beralih ke tekstil, pakaian yang dikenakan sehari-hari, setelah merasa masalah yang harus diselesaikan di dunia arsitektur lewat sustainability itu terlalu kompleks.
Putri mengaku bahwa konsumennya ada yang tertarik membeli karena desain Abhati, selain yang peduli lingkungan seperti Diba.
“Misi kami nomor satu adalah meningkatkan kesadaran masyarakat. Itu PR terbesar kita, yang jujur masih terus kita lakukan dan tidak mudah. Tetapi meningkatkan kesadaran masyarakat bahwa apa yang kita pakai, apa yang kita beli, memiliki dampak lingkungan maupun sosial,” ujar Putri.
Putri memasarkan produknya melalui media sosial maupun bazar artisan. Ia selalu menyiapkan brand story Abhati yang menampilkan foto-foto bagaimana proses kain dibuat hingga pembatikannya.
Sekarang ini kapasitas pencelupan Abhati sekitar 100 meter bahan per bulan, dan untuk produk batiknya, perlu waktu sampai dua bulan untuk memproduksi panjang kain yang sama, jelas Putri. Apa rencana ke depan Abhati?
“Goal kita bukan growth. Karena kalau goal kita itu, nggak ada habisnya, satu-satunya batasnya itu kan sumber daya alam. Makanya kami lebih ingin memperluas kolaborasi dan meningkatkan kesadaran masyarakat, karena yang penting adalah perilaku konsumen,” jelasnya.
Sekarang ini, tantangan paling berat bagi Putri adalah kala harga produk dibanding-bandingkan, karena masyarakat yang sudah terbiasa dengan harga baju pada fast fashion.
“Orang tidak sadar, contohnya ketika mereka membayar hanya Rp50 ribu untuk baju fast fashion, sebetulnya yang membayar sisanya itu siapa? Ada yang membayarnya, ya bumi kita, orang-orang yang kerja di pabrik dan dibayar dengan upah sangat rendah,” katanya mengingatkan.
Dengan sosial media sebagai alat komunikasi, Abhati terus meningkatkan kesadaran itu ke masyarakat. Abhati berusaha transparan mengenai harga, misalnya, karena pembatiknya dibayar dengan upah yang layak, tidak seperti kebanyakan pembatik yang dibayar di bawah UMR Yogyakarta.
Harga dan kualitas ‘slow fashion’
Diba sendiri mengatakan bahwa meski tergolong mahal, tidak masalah baginya untuk membeli produk-produk slow fashion apabila kualitasnya baik.
Kriteria pilihan baju bagi perempuan yang terakhir kali membeli baju sekitar enam bulan lalu adalah, “Saya lihat ke brand-nya dulu, lihat cerita dari brand itu apakah komit terhadap isu lingkungan atau tidak, lalu lihat kualitasnya, apakah akan lebih awet, nyaman dipakai atau tidak.”
Ia juga lebih memilih model yang serbaguna dengan warna-warna netral. Meski ia sudah mulai menerapkan gaya hidup seperti itu, Diba yang mengaku masih menyimpan dan menggunakan baju yang ia beli tiga hingga lima tahun lalu, mengatakan ia belum giat mengampanyekan slow fashion dan baru menerapkannya untuk keluarga intinya.
Kabar baik datang dari Ghina yang mengaku baru-baru ini menukar tiga bajunya yang jarang ia pakai dalam ajang tukar baju baru-baru ini. Ini menegaskan bahwa mempraktikkan slow fashion tidak sulit.
Ia sendiri percaya bahwa banyak orang dewasa yang sebenarnya
mengetahui cara mempraktikkan slow fashion. Menurutnya, ini adalah praktik yang dilakukan orang zaman dahulu yang tidak konsumtif membeli baju karena memang tidak terlalu banyak pilihan dan tidak ada kemudahan belanja online.
Meski demikian, Ghina mencermati masih ada salah kaprah dalam penerapan slow fashion di Indonesia. “Orang mengira kalau kita mau implementasi slow fashion, kita harus membeli baju yang di-branding dengan sustanaibility. Misalnya, bahannya dari bahan alami, dengan pewarna alami. Baju-baju itu menurutku kebanyakan masih dibanderol dengan harga yang tinggi untuk orang Indonesia, 1 jutaan rupiah ke atas. Nah sebenarnya untuk menerapkan slow fashion tidak selalu kita harus beli baju yang berbahan alami. Bisa mulai dari apa yang kita punya di rumah. Itu kan jauh lebih ramah lingkungan daripada beli baru, sekalipun bahannya alami,” jelasnya. [uh/ab]
You must be logged in to post a comment Login