PERISTIWA
Strategi Tidak Menyerang Sebabkan Elektabilitas Prabowo Terus Naik
Elektabilitas Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebagai calon presiden terus naik dan mengungguli nama lainnya, yaitu Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan, dalam beberapa survei yang dirilis baru-baru ini.
Temuan survei terbaru yang dirilis oleh Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA contohnya, menunjukan jarak elektabilitas Ketua Umum Partai Gerindra itu dengan Ganjar Pranowo sebagai calon presiden 2024 makin melebar. Jarak elektabilitas keduanya sekitar 10,4 persen. Prabowo memperoleh 52 persen sedangkan Ganjar 41,6 persen.
Indikator Politik Indonesia dalam survei elektabilitasnya juga menyebut bahwa Prabowo Subianto unggul dengan 36,8 persen di atas Ganjar Pranowo yang meraup 35,7 persen dan Anies Baswedan dengan21,5 persen. Bahkan dalam beberapa survei, Prabowo juga unggul di kalangan pemilih generasi Z dan milenial. Sebanyak 40,5 persen generasi Z itu memilih mantan komandan jenderal (danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus) tersebut termasuk generasi milenial.
Pengamat Politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, menjelaskan ada dua faktor yang menyebabkan elektabilitas Prabowo terus naik, yaitu efek dari “endorsement” atau dukungan dari Presiden Joko Widodo yang menyebutkan 2024 merupakan jatah Prabowo sebagai presiden dan Prabowo juga sering kali terlihat bersama dengan Jokowi.
Selain itu, strategi kampanye Prabowo dan timnya yang tidak menyerang menyebabkan elektabilitasnya terus naik. Pasalnya, sebagian masyarakat sudah enggan adanya keributan dalam menghadapi pemilu ini. Mereka lebih berhitung tentang apa yang mereka dapatkan atau kebijakan apa yang sekiranya berdampak bagi mereka.
“Nah, dua posisi ini yang menurut saya membuat elektabilitas Prabowo lumayan naik. Tentu ini akan berkurang di antara dua strategi ini tertinggal. Misal, sikap pak Jokowi mungkin akan memperlihatkan jarak dia dengan Prabowo, itu suara Prabowo akan tertahan. Atau mereka tidak tahan juga akhirnya terjebak pada isu serang menyerang ini,” ungkap Ray Rangkuti.
Pernyataan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri yang pernah menyebut calon presiden sebagai petugas partai, kata Ray, menyebabkan elektabilitas Prabowo naik dan Ganjar yang merupakan capres dari PDIP menurun.
Selain itu, polemik batalnya Piala Dunia U-20 menjadi salah satu blunder yang dibuat Ganjar. Upaya Ganjar yang menelepon penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi juga menyebabkan elektabilitas Ganjar menurun karena dinilai hal itu tidak pantas lantaran statusnya masih menjabat Gubernur Jawa Tengah
Isyarat dukungan yang sempat diberikan Jokowi terhadap Prabowo, kata Ray, bukan suatu pembangkangan terhadap PDIP. Ray menilai ada proses negosiasi politik yang belum selesai antara Jokowi dengan kekuatan-kekuatan politik.
Dia mencontohkan jika sekarang Jokowi menyatakan dukungan penuh untuk Ganjar Pranowo, menyebabkan Gerindra menjaga jarak dan itu tidak menguntungkan bagi pemerintahan Jokowi. Begitu juga sebaliknya.
Jokowi, kata Ray, saat ini sedang memainkan “politik keseimbangan” agar elektabilitas Ganjar dan Anies tidak terlalu naik ataupun rendah agar keduanya dapat lolos pada putaran kedua pemilihan calon presiden. Dukungan Jokowi akan terlihat jelas pada putaran kedua pilpres.
Isu “pelanggar HAM” selalu menempel pada diri Prabowo Subianto. Di beberapa kali pencalonannya, isu ini kerap menjadi batu sandungan baginya. Namun, kata Ray, sekarang isu itu bukan lagi isu yang bisa mengalihkan pemilih dari keterpilihan. Pasalnya, isu pelanggar HAM sudah terus-menerus diwacanakan ketika pilpres sebelumnya sehingga dampaknya tidak akan besar lagi saat ini.
“Nah, ditambah lagi situasinya tokoh-tokoh yang terlibat itu sekarang juga bersama pak Prabowo. Terakhir, Budiman Sudjatmiko. Ngapain kita ributin masa lalu Pak Prabowo, orang yang menjadi korbannya merapat ke Prabowo. Isu itu akan ada impact-nya, tetapi tidak sebesar pemilu-pemilu sebelumnya,” kata Ray.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Firman Noor, pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Prabowo, tambahnya, memang memiliki noktah sejarah terkait tentang HAM tetapi tambahnya, Prabowo mencoba untuk diterima semua kalangan dan paham bahwa Indonesia akan mempunyai masalah kedepan jika terus memiliki persoalan HAM.
“Akan dipimpin pelanggar HAM tentu saja itu berbahaya dan tidak mengenakan untuk demokrasi, tapi permasalahannya saat ini, dari ketiga kandidat itu (Prabowo, Ganjar dan Anies), saya kira, in general tokoh-tokoh yang tidak sekelam Marcos atau Soeharto sebetulnya,” kata Firman.
Dia merujuk kepada Presiden Filipina Ferdinand Marcos yang dilengserkan oleh revolusi rakyat pada 1986.
Firman Noor menambahkan saat ini sebagian masyarakat lebih melihat visi misi atau kebijakan apa yang ditawarkan oleh para calon presiden tersebut.
Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad mengatakan hasil survei sebagai pelecut bagi partainya untuk bekerja lebih keras.
“Survei itu fluktuatif. Kadang pak Prabowo di atas, di tengah dan di bawah. Tren yang akhir-akhir ini menunjukan bahwa elektabilitas pak Prabowo dan Partai Gerindra terus naik tentu patut disyukuri. Namun itu menjadi sebuah lecutan bagi kami sebagai pengusung pak Prabowo untuk bekerja lebih keras,” ujar Sufmi. [fw/ft]
You must be logged in to post a comment Login