Connect with us

Editor's Pick

Kepala BKSDA Sulut Imbau Tak Lagi Gunakan Tengkorak Yaki untuk Ornamen Adat

Jika penggunaan ornamen adat dari tengkorak yaki atau satwa liar lainnya masih terus dilakukan, maka secara tidak langsung akan meningkatkan praktik perburuan guna memenuhi keperluan tersebut.

Published

on

SULUT, PANTAU24.COM-Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Sulawesi Utara (Sulut), Askhari Dg. Masikki kembali mengimbau kepada masyarakat Sulut untuk tidak lagi menggunakan tengkorak satwa liar dilindungi sebagai aksesoris atau ornamen adat.

Hal itu ia sampaikan pada acara pemberangkatan Delapan ekor Monyet Yaki (macaca nigra) di kaki gunung Masarang, Kelurahan Rurukan, Kota Tomohon, Senin, 19 Juni 2023.

“Penggunaan aksesoris seperti tengkorak yaki dan satwa liar lainnya untuk keperluan adat itu kami sangat mengimbau untuk tidak lagi menggunakannya. Baiknya gunakan mitasi atau replika,” imbau Askhari.

Pasalnya, menurut Askhari, jika penggunaan ornamen adat dari tengkorak yaki atau satwa liar lainnya masih terus dilakukan, maka secara tidak langsung akan meningkatkan praktik perburuan guna memenuhi keperluan tersebut.

Di sisi lain, dirinya berterima kasih kepada pihak Sinode GMIM yang juga turut serta dalam mengimbau kepada umat untuk tidak lagi memburu dan mengkonsumsi daging satwa liar termasuk yaki.

Fakta menarik dan bermanfaat
Tengkorak satwa liar dilindungi yang biasa digunakan sebagai aksesoris pada upacara adat di Sulawesi Utara. (dok. pantau24.com)

“Untuk hal penggunaan ornamen tengkorak satwa liar pada upacara adat ini, kami juga sangat mengaharapkan dukungan dari semua pihak termasuk pemerintah daerah mulai dari provinsi maupun kabupaten/kota. Terutama tokoh-tokoh adat dan pemuka agama,” ucapnya.

Sementara itu, Askhari juga tak menampik bahwa masih adanya perburuan terhadap satwa liar dilindungi di wilayah Sulawesi Utara. Apalagi di wilayah Bolaang Mongondow, menurutnya terinformasi masih terdapat beberapa penjual daging satwa liar di pasar-pasar tradisional.

“Di Bolmong terinformasi masih ada 1-2 pemburu dan penjual di pasar. Karena memang pengawasan kami terbatas. Itu kami akui. Tapi tidak sepertu dulu yang masif. Bahkan berburu secara berkelompok,” ungkapnya, sembari mengatakan bahwa perburuan satwa liar di Sulut relatif menurun pesat dibanding beberapa tahun lalu.

Indikatornya di beberapa pasar tradisional itu hampir tidak terlihat lagi penjual daging satwa liar termasuk yaki. Menurutnya, ada dua kemungkinan. Apakah memang sosialisasi dan edukasi yang diberikan kepada masyarakat itu tersampaikan dan dipahami, atau jangan-jangan memang populasinya di alam yang menurun.

Tengkorak satwa liar dilindungi yang biasa digunakan sebagai aksesoris pada upacara adat di Sulawesi Utara. (dok. pantau24.com)

“Meski, menurut catatan dari beberapa informasi bahwa populasinya (yaki) masih banyak. Bisa jadi karna memang masyarakat sudah sadar dan paham bahwa satwa liar khususnya monyet yaki benar-benar tidak bisa lagi diburu dan diperjualbelikan. Karena kalau tertangkap tangan perburuan itu akan kami lakukan proses hukum bersama dengan balai gakkum,” pungkasnya.

Seperti diketahui, monyet yaki merupakan satwa endemik Sulawesi Utara yang dilindungi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 dan Permen LHK Nomor 106 tahun 2018, yang menyebutkan status konservasi Yaki dalam IUCN dikategorikan Critically Endangered.

Atas dasar tersebut, maka Pemerintah Indonesia melalui KLHK mengembangkan program peningkatan populasi dengan menetapkan Yaki sebagai species prioritas yang dinaikkan populasinya.