Connect with us

PERISTIWA

Penutupan PLTU Batu Bara pada 2050 Kebijakan yang Terlambat

Published

on

Presiden Joko Widodo menegaskan pemerintah akan menutup PLTU Batu Bara pada tahun 2050. Hal tersebut disampaikannya dalam acara “Hannover Messe”, di Jerman beberapa waktu lalu.

“Juga dibangun 30 ribu hektare kawasan industri hijau, dan di tahun 2025, 23 persen energi berasal dari energi terbarukan dan dan di tahun 2050 seluruh pembangkit batu bara ditutup. We walk the talk, not only talk the talk,” ungkap Jokowi.

Hal tersebut disampaikan oleh Jokowi sebagai bentuk komitmen kuat dari pemerintah Indonesia untuk lebih mengembangkan perekonomian hijau. Selain rencana menutup PLTU batu bara, Jokowi mengklaim bahwa pemerintahannya telah melakukan aksi yang nyata dalam menjaga keberlangsungan lingkungan seperti laju deforestasi yang telah turun siginifikan dan terendah selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Selain itu, katanya kebakaran hutan juga turun sebanyak 88 persen, dan rehabilitasi hutan mangrove seluas 600 ribu hektare ditargetkan selesai pada tahun 2024.

Fakta menarik dan bermanfaat

Guna mendukung pengembangan ekonomi hijau dan juga transisi energi yang lebih ramah lingkungan, dalam ajang Hannover Messe Jokowi mengajak investor Jerman untuk menanamkan modalnya di tanah air.

“Tapi Indonesia ingin memastikan bahwa transisi energi menghasilkan energi yang terjangkau bagi masyarakat kita. Tentu ini membutuhkan investasi, pembiayaan yang sangat besar setidaknya USD 1 Triliun hingga tahun 2060. Dan Indonesia mengundang investor Jerman untuk membangun ekonomi hijau di Indonesia. Sekali lagi, Indonesia sangat terbuka untuk kerja sama, untuk berinvestasi Let us collaborate for our common prosperity,” katanya.

Kebijakan yang Terlambat

Peneliti kampanye iklim dan energi Greenpeace Indonesia Adila Isfandiari mengatakan rencana penutupan seluruh PLTU batu bara pada tahun 2050 cukup terlambat. Hal tersebut, katanya akan menyulitkan Indonesia untuk mencapai target Parjanjian Paris yang ingin memperlambat laju pemanasan global di bawah dua derajat celcius atau paling ideal pada level 1,5 derajat celcius.

“Di tahun 2050 kalau untuk PLTU batu bara agak telat sebenarnya, karena kalau kita melihat dari (rekomendasi) IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change, red) kemarin mereka sudah membuat kajian dan untuk kita mencapai 1,5 derajat itu seharusnya kita harus menutup 80 persen PLTU (batu bara) existing di tahun 2030, lalu phase-out sebelum tahun 2040,” ungkap Adila kepada VOA.

Adila menilai komitmen pemerintah untuk benar-benar menutup PLTU batu bara sangat lemah. Pasalnya, meskipun dalam Peraturan Presiden (Perpres) nomor 112 tahun 2022 disebutkan adanya penghentian pembangunan PLTU batu bara baru, namun ternyata masih banyak pengecualian di dalamnya. Adila menyebutkan PLTU baru bara yang telah masuk dalam rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) 2021-2030 tetap diperbolehkan dibangun. Selain itu, PLTU batu bara yang terhubung dengan kegiatan industri juga masih boleh dibangun.

“Kalau kita lihat di RUPTL masih ada 13,8 giga watt yang masih mau dibangun atau sekitar 43 persen dari PLTU existing. Sedangkan kata IPCC harusnya tahun 2030 mengurangi 80 persen dari PLTU existing. Jadi benar-benar bertolak belakang,” tuturnya.

Ia juga menjelaskan bahwa sebenarnya Indonesia sangat bisa mengakselerasi penutupan PLTU baru bara tersebut. Dengan adanya proyek pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD20 miliar dalam ajang KTT G20 lalu, dana itu bisa digunakan oleh pemerintah untuk lebih mengembangkan energi terbarukan dengan menutup PLTU batu bara lebih cepat.

“Ada kajian juga dari Institute for Essential Services Reform (IESR) misalkan disebutkan 9,2 giga watt itu bisa ditutup sebelum tahun 2030. Kenapa harus ditutup? Karena saat ini kita sedang mengalami over supply, baik itu di Jawa maupun di Sumatera. Jadi harus banget si PLTU ini ditutup sehingga kita bisa menciptakan space untuk renewable energy untuk bisa bertumbuh, apalagi di Jawa dan Sumatera, karena kalau kita mengacu pada JETP, renewable energy harus mencapai baurannya 34 persen di tahun 2030,” jelasnya.

Dengan cukup lemahnya komitmen dari pemerintah tersebut, Adila tidak yakin bahwa transisi energi yang lebih ramah lingkungan akan berjalan dengan baik di Indonesia.

“Agak sulit menemukan space energi terbarukan untuk berkembang, terutama policynya belum mendukung. Kalau bicara tren, (bauran) energi terbarukan saat ini 10,4 persen dan (target) 34 persen di tahun 2030. Itu gap-nya masih besar banget. Dengan melihat tren perkembangan energi terbarukan dari 2015-2020 hanya menambah 2 gigawatt, bagaimana kita mau menambah 20 gigawatt untuk mencapai 34 persen,” tutur Adila.

Sementara itu, Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan pemerintah perlu memperbaiki kebijakannya dan memperkuat komitmennya dalam menjalankan keberlangsungan lingkungan yang baik. Pasalnya, bukan tidak mungkin hal tersebut akan mempengaruhi para investor yang ingin menanamkan modal di Indonesia.

Ia mencontohkan komitmen Volkswagen (VW) dan perusahaan raksasa kimia dari Jerman BASF yang berniat untuk berinvestasi di Indonesia dalam pengembangan ekosistem industri baterai kendaraan listrik bisa saja berubah apabila komitmen pemerintah setengah hati dalam upaya menjaga keberlangsungan lingkungan.

“Ada upaya untuk seolah menggambarkan bahwa pemerintah Indonesia siap menampung dana investor kakap seperti BASF-VW untuk berinvestasi di industri baterai. Tapi banyak yang masih meragukan terkait komitmen pemerintah dalam meningkatkan perlindungan lingkungan hidup, dan komunitas setempat. Padahal investor sekelas BASF-VW memiliki ESG (Environment, Social and Governance) yang ketat dan terus menerus diaudit, sehingga satu gram saja campuran nikel pada baterai mobil listrik diambil dari proses pemurnian (smelter) yang bermasalah maka reputasi BASF-VW akan terpengaruh”, kata Bhima dalam siaran persnya.

Perusahaan sekelas BASF-VW pun mensyaratkan traceability atau kejelasan sumber material kritikal untuk bahan baku baterai dan komponen mobil listrik lainnya. Dalam proses due dilligence perusahaan, ungkap Bhima tim biasanya akan dikirim untuk melacak asal usul material. Jadi masalah penggunaan PLTU kawasan menjadi krusial dalam rantai pasok BASF-VW.

“Karena itu, sebelum kita berbicara soal walk the talk seperti semangat Presiden di acara Hannover Messe, ada baiknya kita bertanya dulu kesungguhan komitmen pemerintah, karena bagaimana mungkin pengembangan ekonomi hijau yang katanya berkeadilan, dilakukan dengan mempertaruhkan kelestarian lingkungan dan masyarakat disekitar proyek?” tutupnya. [gi/lt]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply