PERISTIWA
Belasan Badak Jawa di Ujung Kulon Hilang dari Pantauan
Video dari kamera tersembunyi yang menunjukkan aktivitas badak di taman nasional yang diunggah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan seringkali langsung mendapat perhatian ramai dari publik. Namun, kini kekhawatiran muncul tentang nasib sejumlah badak di Taman Nasional Ujung Kulon yang hilang dan berpotensi menjadi korban perburuan liar.
Dalam sejumlah foto yang ditayangkan Auriga Nusantara, terlibat bagaimana jerat Badak terpasang di kawasan TNUK. Selain itu, di tengkorak kepala badak yang belum lama mati ditemukan lubang bekas peluru. Sebuah kamera pemantau juga memperlihatkan seekor badak yang masih hidup, memiliki lubang di punggungnya.
Semua bukti tersebut menunjukkan adanya upaya perburuan liar terhadap badak di TNUK. Dalam penjelasan kepada media, pada Selasa (11/4), peneliti Auriga Nusantara, Riszki Is Hardianto menyebut, sekurangnya ada 18 badak yang hilang dari pantauan.
“Hilangnya 18 badak yang tidak terekam di tahun 2019 dan ternyata tiga ditemukan mati di tahun 2020 dan 2021. Dan dari 18 itu, 15 diantaranya masih belum terekam sampai setidaknya di 2021, ada juga informasi yang kita dapatkan, sampai Agustus 2022,” ujar Riszki.
Dia merinci, dari 18 badak yang hilang dari pantauan, tiga dinyatakan mati sehingga tersisa 15 yang dinyatakan hilang. Dari jumlah tersebut, tujuh ekor di antaranya adalah badak betina. Padahal, rasio jenis kelamin yang wajar antara badak jawa jantan dan betina adalah satu banding satu.
“Kehilangan tujuh individu betina ini tentunya akan menjadi kehilangan yang sangat besar untuk untuk kestabilan populasi yang ada di Ujung Kulon,” tegas Riskzi.
Terdapat dua data populasi untuk menghitung jumlah badak di TNUK. Pertama adalah badak yang tertangkap oleh kamera pemantau. Tahun 2021, terdapat 56 ekor badak tertangkap kamera, sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut jumlah badak di wilayah taman nasional tersebut adalah 76 ekor. Sementara sepanjang 2022, hanya ada 34 badak yang tertangkap kamera, dan data KLHK sendiri menyebut jumlah populasi badak mencapai 77 ekor.
Namun menurut Riszki, adanya perbedaan dalam penentuan angka populasi badak adalah sesuatu yang sangat wajar. Jumlah badak, dapat disebut berada pada kisaran tertentu, dan bukan pada angka pasti.
“Cuma, kalau kita lihat dari grafik, memang di 2019, 2020 dan 2022 itu gap antara individu yang terdeteksi, dengan jumlah individu yang dirilis, jaraknya sudah mulai makin jauh,” paparnya.
Perlu Evaluasi Keamanan
Direktur Auriga Nusantara, Timer Manurung mengusulkan adanya perbaikan secara menyeluruh terhadap perlindungan badak jawa dan TNUK.
“Jadi, sistem yang ada selama ini mesti diuji tuntas. Monitoring atau rhino protection program itu harus dicek secara mendasar, dievaluasi, termasuk sistem pengamanan yang dilakukan oleh Balai Taman Nasional Ujung Kulon,” ujarnya.
KLHK juga didorong untuk berdialog dan berkonsultasi dengan pakar-pakar pengamanan, baik kawasan maupun spesies. Selain itu, seluruh potensi yang ada termasuk modal sosial maupun teknologi harus dimanfaatkan secara maksimal.
Modal sosial yang disebut Timer, misalnya adalah kepedulian masyarakat sekitar TNUK.
“Sebelum 2018, secara meyakinkan bisa kita mengatakan bahwa tidak ada perburuan badak di Ujung Kulon. Ini sebenarnya menunjukkan, bahwa masyarakat sudah menyadari betul koeksistensi dengan badak,” ujarnya.
Karena itu, jika selama empat tahun terakhir terjadi perburuan liar, maka harus ditelaah bagaimana modal sosial yang sudah lama ada, dapat dimanfaatkan untuk menekannya.
Selain itu, penggunaan teknologi kamera pemantau juga bisa dimaksimalkan. Timer menyebut, masyarakat setempat sebenarnya sangat tahu titik-titik mana yang biasa dipergunakan untuk masuk secara ilegal ke TNUK. Kamera pemantau yang ada, juga pernah merekam masuknya pemburu bersenjata. Seharusnya, semua ini menjadi penguat pentingnya menggunakan teknologi untuk melindungi badak jawa di TNUK.
“Apalagi pada situasi sekarang, sesudah punahnya badak sumatra di Lampung. Kita harus curiga, pemburu-pemburu profesional dari Lampung sekarang mengarah ke Ujung Kulon,” tambah Timer.
Pemanfaatan Teknologi Reproduksi
Pakar badak dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Muhammad Agil menyebut, teknologi reproduksi sudah sangat maju saat ini, sehingga menjaga populasi badak bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi tersebut. Dia memberi contoh, upaya yang sama telah dilakukan terhadap badak putih afrika.
“Badak putih afrika yang terkenal karena tinggal dua ekor di dunia, di Kenya. Mereka dari sejak tahun 2019 sampai dengan 2022 itu sudah menghasilkan 24 embrio, padahal badaknya yang jantan sudah enggak ada, sudah mati,” kata Agil ketika diundang ke Komisi IV DPR, Selasa (11/4).
Agil menjadi salah satu pakar yang diundang DPR, dalam kaitan penyusunan Rancangan Undang-undang tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE).
Dalam paparannya terkait konservasi badak, Agil mengatakan langkah yang bisa dilakukan dalam menjaga populasi badak jawa adalah dengan mengoleksi sperma, sebagaimana dalam kasus badak putih afrika. Sementara satu badak putih afrika yang tersisa, yang masih cukup muda usianya, bisa dikoleksi sel telurnya, untuk kemudian digabungkan dalam proses bayi tabung.
Dosen di Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis, IPB, itu menjelaskan, dalam kasus di Indonesia, badak sumatra kian terancam populasinya. Jumlah populasi badak tersebut hanya tersisa delapan ekor di Way Kambas, Lampung. Selain itu, badak sumatra juga ditemukan di Taman Nasional Leuser, Aceh.
Namun, delapan ekor badak di Way Kambas yang tersisa, statusnya bersaudara dekat. Karena itu, diperlukan sperma dari luar untuk mengembangbiakkannya. Sayang, badak dari Leuser, Aceh tidak bisa dibawa ke Lampung untuk proses perkawinan dan mengamankan populasi.
“Di Aceh, ada qanun (hukum) yang tidak membolehkan satwa keluar dari Aceh. Padahal di Way Kambas itu membutuhkan. Mungkin ini salah satu bagian yang perlu didiskusikan dengan pemerintah, bagaimana mengantisipasi hal tersebut,” ujarnya.
Selain itu, Agil juga memaparkan bahwa Amerika Serikat pernah menerima hibah badak dari Indonesia sebanyak delapan ekor, dan telah berkembang menjadi 10 ekor. Badan itu berasal dari Riau, Bengkulu dan Jambi.
“Walaupun badak sudah mati, tapi Amerika sudah maju. Mereka menyimpan sel-sel fibroblas dari badak yang sudah mati,” ujarnya.
Ketika berkunjung ke Amerika Serikat beberapa waktu lalu, Agil telah membuka pembicaraan agar Indonesia dimungkinkan memanfaatkan sel-sel fibroblas tersebut untuk menambah populasi yang kian terancam.
“Kita punya badak-badak betina di Way Kambas, itu bisa kita panen sel telurnya, dan kita bisa masukkan stem cell dari material biologi yang ada di Amerika. Maka bisa jadi individu baru dan itu 100 persen notabene sama dengan aslinya,” tambah Agil.
Agil mendorong rancangan undang-undang yang baru disusun saat ini memastikan adanya penggunaan teknologi dalam mendukung konservasi. [ns/rs]
You must be logged in to post a comment Login