PERISTIWA
Belum Semua Warga Memanfaatkan BPJS Kesehatan untuk Beli Alat Bantu Dengar
Saat memperingati Hari Pendengaran Sedunia pada 3 Maret lalu, Kementerian Kesehatan menyampaikan data yang mengejutkan tentang kesehatan dan gangguan pendengaran di Indonesia.
Tidak saja tentang keberadaan sekitar 5.200an bayi lahir dengan kondisi tidak dapat mendengar atau tuli, tetapi juga besarnya risiko gangguan dan kehilangan pendengaran anak-anak muda karena dampak penggunaan penyuara telinga (earphone), perangkat jemala (headset), maupun penyuara telinga nirkabel (earpod) secara berlebihan.
Namun Kementerian Kesehatan memastikan bahwa pemeriksaan kesehatan telinga dan penyediaan alat bantu dengar sudah masuk dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Puskesmas hingga rumah sakit akan membantu warga yang memeriksakan kesehatan telinga, dan mencari alat bantu dengar yang tepat.
Andi Noviyanto, seorang petugas di Kasoem Hearing Centre, salah satu pusat alat bantu pendengaran di Solo, Jawa Tengah, mengatakan selama ini warga yang membutuhkan alat bantu dengar tidak pernah menggunakan fasilitas BPJS. Namun, pusat alat bantu pendengaran ini memiliki kerja sama dengan salah satu rumah sakit swasta yang menerima BPJS Kesehatan
“Selama ini belum ada konsumen menggunakan BPJS, tapi kita kerja sama dengan satu rumah sakit swasta yang menerima BPJS. Ada potongan harga satu juta rupiah setiap pembelian per unit alat bantu dengar,” ujar Andi.
Harga alat bantu dengar memang masih tergolong mahal. Andi mengatakan alat bantu dengar ini berkisar antara Rp 4 juta hingga Rp 60 juta per unit, bukan per pasang. Murah dan mahalnya harga alat bantu dengar itu tergantung dari kualitas dan tingkat kepekaan alat dari suara sekitar yang diterimanya.
“Alat kategori basic harga 3,9 juta rupiah, ada standar 8-13 juta, advance (canggih. red) 19-27 juta, dan premium 29-60 juta rupiah. Tergantung kualitas alat. Semakin canggih teknologi, audio dan kepekaan suara bagus, ya semakin mahal,” ujar Andi.
Penelusuran VOA di beberapa fasilitas kesehatan, terutama puskesmas, di Solo, ternyata belum semua fasilitas memiliki dokter spesialis Telinga, Hidung dan Tenggorokan (THT) yang bisa melakukan pemeriksaan dan meresepkan alat bantu dengar yang tepat. Padahal sebagaimana penjelasan Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Dr. Eva Susanti, deteksi dini penurunan fungsi pendengaran merupakan hal penting.
Sayangnya, tambah Eva, ketersediaan dokter spesialis THT dan harga alat bantu dengar masih menjadi kendala.
“Perlu ada deteksi dini dan pelindung alat pendengaran sehingga bila kasus ditemukan lebih dini, masalah pendengaran dapat ditangani sesuai indikasi dan rehabilitasi dengan alat bantu dengar,” kata Eva, Rabu (1/3).
Mengenai mahalnya harga alat bantu dengar, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis THT Bedah Kepala Leher Indonesia (PERHATI-KL), dr. Yussy Afriani Dewi, mengatakan meskipun program kesehatan telinga dan pendengaran tidak ada dalam sistem kesehatan nasional, masyarakat tetap bisa memanfaatkan dana subsidi dari BPJS Kesehatan per unit alat bantu dengar. Pasien menanggung sisa biaya.
“Program ini tidak masuk di sistem kesehatan nasional, sehingga berdampak pada keterbatasan jumlah dan distribusi SDM, khususnya dokter spesialis THT, audiologis, terapi wicara,” kata Yussy.
Penyakit THT yang masuk persyaratan atau ditanggung jaminan kesehatan nasional adalah jika terdapat benda asing yang masuk di bagian hidung dan telinga, terjadi pendarahan di area THT, dan pasien terserang penyakit tuli mendadak.
Usulan Alat Bantu Dengar Lebih Murah di AS
Di Amerika Serikat (AS), layanan perawatan kesehatan pendengaran dan alat bantu pendengaran juga baru diusulkan untuk masuk dalam cakupan asuransi kesehatan Medicare tahun lalu lewat Rancangan Undang-Undang (RUU) Build Back Better.
RUU ini telah diloloskan DPR dan kini menunggu kajian di Senat. Jika RUU ini disahkan, mulai Oktober nanti layanan perawatan kesehatan dan alat bantu dengar akan menjadi bagian dari Medicare.
Mengingat ada 48 juta warga AS yang membutuhkan alat bantu dengar, yang hingga kini belum ditanggung asuransi, Presiden AS Joe Biden pada akhir 2022 lalu mengeluarkan perintah eksekutif yang memungkinkan alat bantu dengar dibeli bebas tanpa resep.
Mulai awal 2023, harga alat bantu dengar yang dijual bebas di apotek atau supermarket yang mendapat otorisasi penjualan, bisa mendapat pengurangan harga hingga $1.400 per unit, atau $2.800 per pasang. Bahkan ada toko obat yang menjual hingga $799 per pasang, jauh lebih murah dibandingkan harga awal antara $2.000 hingga US$8.000 per pasang.
Langkah ini diharapkan akan memangkas harga, dan mempermudah orang dengan gangguan pendengaran mendapatkan alat yang dibutuhkan sehingga dapat meningkatkan kehidupan mereka. [ys/em]
You must be logged in to post a comment Login