Deretan remaja tampak duduk di salah satu sudut kota Solo, Rabu (1/3). Mata mereka asik menatap layar gawai dan telinga memakai earphone.
“Main game online. Lagi seru nih. Pakai earphone biar suaranya semakin mantab,” ujar Reza, remaja berusia 20 tahun ini.
Kementerian Kesehatan mencatat generasi muda berpotensi mengalami gangguan pendengaran akibat pemakaian earphone, headset maupun earpod – piranti penyuara telinga dengan atau tanpa kabel yang volumenya dapat dikendalikan oleh pengguna, tanpa mengganggu orang di sekitarnya.
Dalam konferensi pers “Hari Pendengaran Sedunia” secara daring hari Rabu (1/3), Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes, Dr. Eva Susanti mengatakan kemajuan teknologi memberi tantangan besar pada generasi muda.
“Tantangan semakin meningkat karena kebiasaan baru selama dan pasca pandemi generasi muda semakin dekat dengan teknologi gawai, memakai piranti dengar. Bahkan mereka abai dengan kesehatan telinga atau pendengarannya. Data WHO, diperkirakan 1 hingga 1,5 milyar anak muda di dunia berpotensi mengalami penurunan fungsi pendengaran karena paparan bising dengan mendengarkan musik, game online, dan sebagainya melebihi batas,” jelas Eva.
Lebih dari 50 persen generasi muda usia 12-35 tahun mendengarkan musik atau bermain game online di handphone atau komputer dengam volume diatas batas desibel dan berisiko menyebabkan penurunan fungsi pendengaran, tambah Eva.
Kemenkes juga mencatat sekitar 5.200an bayi di Indonesia lahir dengan kondisi tidak dapat mendengar atau tuli, suatu fenomena gunung es yang sedianya menjadi perhatian pemerintah.
Gangguan pendengaran merupakan penyebab disabilitas keempat tertinggi di dunia.
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Telinga Hidung dan Tenggorokan PERHATI-KL, Dr. dr. Yussy Afriani Dewi mengatakan pendengaran menjadi aset penting manusia karena mempengaruhi berbagai hal, mulai dari komunikasi, perkembangan bicara dan bahasa, kognisi, edukasi, pekerjaan, kesehatan mental hingga hubungan interpersonal.
“Kami di PERHATI-KL pernah mensurvei di tahun 2022 tingkat perilaku masyarakat terhadap gangguan dengar mulai dari pengetahuan, sikap dan perilaku. Dari 1.800 responden , ternyata 1.600an diantaranya pengetahuan tentang kesehatan telinga sangat kurang, 50 persen bersikap sedang atau biasa, dan hampir 78 persen berperilaku biasa ketika mengalami gangguan pendengaran,” paparnya.
Ia juga menjelaskan penurunan fungsi pendengaran karena gangguan pada saraf di telinga.
Perlu Deteksi Dini dan Subsidi Harga Alat Bantu Pendengaran
Lebih jauh Yussy Afriani menyoroti mahalnya alat bantu dengar dan urgensi melakukan deteksi dini telinga secara berkala.
“Harganya masih mahal. Yang bagus jutaan rupiah. Kalau tidak salah jaminan kesehatan ada cover harganya. Tapi pemakai alat bantu dengar itu merasa tidak nyaman”, ujar Yussy.
Kementerian Kesehatan memastikan pemeriksaan kesehatan telinga dan penyediaan alat bantu dengar sudah masuk dalam jaminan kesehatan BPJS. Puskesmas hingga rumah sakit akan membantu warga yang memeriksakan kesehatan telinga, dan mencari alat bantu dengar yang tepat. [ys/em]
You must be logged in to post a comment Login