Editor's Pick
Mengenal jejak karbon digital di balik layar gadget kita


Oleh: Aji Saputra, Universitas Padjadjaran dan Gemilang Lara Utama
Tahukah kamu, di balik setiap aktivitas digital kamu seperti scrolling TikTok, binge-watching serial, hingga sesi ‘mabar’ game online, meninggalkan jejak karbon digital yang besar.
Tentu bentuknya bukan seperti asap dari knalpot kendaraan, tapi tersembunyi di gawai-gawai kita. Bahkan aktivitas menyimpan data yang tampaknya pasif, juga membutuhkan energi dan menghasilkan emisi karbon.
Yuk, kenalan lebih jauh dengan jejak karbon digital.
Dari mana asal emisi?
Ada tiga sumber penyumbang emisi karbon terbesar utama dari dunia digital.

1. Perangkat di genggaman kita
Ponsel pintar, laptop, atau tablet yang kita gunakan dalam aktivitas sehari-hari menyumbang emisi sejak proses pembuatannya. Produksi satu unit smartphone saja bisa menghasilkan emisi sekitar 60 kg CO2e, setara dengan emisi mobil yang menempuh perjalanan 320 kilometer.
Saat kita streaming, main game online, atau video call, gawai butuh daya listrik untuk menyala. Konsumsi energi per perangkat ini bervariasi, mulai dari 30 watt untuk desktop biasa sampai 500 watt untuk komputer gaming.
Bayangkan berapa miliar perangkat yang aktif di seluruh dunia? Jumlah energi yang digunakan pasti sangat besar. Begitu juga dengan jejak karbon yang dihasilkannya.
2. Jaringan transmisi
Jaringan transmisi merupakan komponen penting agar data bisa dikirim dari satu perangkat ke perangkat lainnya. Dibutuhkan infrastruktur jaringan seperti router Wi-Fi, menara seluler, dan kabel optik. Semua akan bekerja berkat pasokan listrik yang terus-menerus.
Energi yang dibutuhkan tentu tidak kecil. Menurut International Energy Agency (IEA), jaringan transmisi data global mengonsumsi 260-340 TWh pada 2022. Jaringan seluler saja misalnya, menyumbang sekitar dua pertiga dari total penggunaan energi tersebut, atau berkisar 156-238 TWh.
3. Pusat data
Semua data-data aktivitas digital kita pada akhirnya bermuara, diproses, dan diolah di pusat data. Server dan perangkat penyimpanan di dalamnya memerlukan energi besar karena harus beroperasi terus-menerus tanpa istirahat.
Tak hanya untuk menghidupkan mesin, pusat data butuh energi yang tidak kalah besar juga untuk sistem pendinginnya. Porsinya bahkan tembus hingga 40% dari total konsumsi listrik tahunan sebuah pusat data.
Dengan semakin canggih teknologi dan adopsi kecerdasan buatan (AI) yang kian meluas, proyeksi ke depan makin mencemaskan. International Energy Agency (IEA) memperkirakan kebutuhan listrik pusat data global bisa melonjak dua kali lipat, yang pada 2022 mencapai sekitar 460 TWh, dan bisa melonjak hingga lebih dari 1.000 TWh pada 2026.
Indonesia, salah satu negara konsumsi data terbesar dunia
Indonesia adalah salah satu negara dengan pengguna internet terbanyak di dunia. Survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat ada 221,5 juta pengguna internet di Indonesia. 34,4% di antaranya merupakan Gen Z sebagai kelompok pengguna terbesar.
Aktivitas daring Gen Z sangat boros data. Pengguna internet Indonesia tercatat menjadi yang terlama di dunia menghabiskan waktu di TikTok dengan (rata-rata 38 jam 26 menit per bulan). Indonesia juga menempati peringkat kedua global dalam hal bermain video games (95,3% dari pengguna internet). Bahkan, 42,2% di antaranya menghabiskan lebih dari empat jam setiap hari.

Parahnya lagi, sumber pembangkit listrik konsumsi digital yang tinggi ini masih disokong oleh jaringan listrik berbasis batu bara. Pada 2023, bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia baru mencapai 13,09%, masih jauh dari target 23% pada 2025. Konsumsi data yang tinggi ditopang energi kotor, tentu akan menghasilkan jejak karbon digital per kapita yang tinggi pula.
Menuju jejak digital hijau: Saatnya menjadi generasi sadar digital
Jalan menuju masa depan digital yang berkelanjutan membutuhkan usaha dan kolaborasi bersama semua pihak terkait.
Inisiatif level individu
Kita bisa mulai dari langkah kecil, seperti:
- Kurangi aktivitas digital yang tidak perlu.
- Lakukan digital decluttering, seperti membersihkan file dan data yang tak lagi dibutuhkan dan menghapus email lama—satu email dengan lampiran bisa menghasilkan 50 gram CO2e
- Gunakan dan rawat perangkat lebih lama untuk mengurangi “karbon tersembunyi” dari proses produksinya.
Inisiatif level perusahaan
Inovasi hijau menjadi sangat penting. Salah satu langkah krusial adalah membangun pusat data yang menggunakan energi terbarukan. Di Indonesia, beberapa perusahaan sudah bergerak ke arah ini, seperti DCI Indonesia yang meluncurkan pusat data bertenaga panel surya.
Inisiatif level pemerintah
Kebijakan yang kuat adalah kunci perubahan. Pemerintah mesti membuat kebijakan yang mendorong pengurangan jejak karbon digital dan mempercepat transisi energi.
Di semua lini, Generasi Z dan millenial, sebagai demografi digital terbesar di Indonesia, memegang kekuatan luar biasa untuk mendorong perubahan. Kekuatan ini tidak hanya terletak pada aksi pribadi, tetapi juga pada suara kolektif yang bisa menggerakkan industri dan pemerintah.
Selain membangun kesadaran, kaum muda harus menuntut akuntabilitas, dan membuka jalan menuju masa depan digital yang lebih hijau. Anak muda adalah penentu babak baru bagi kisah digital yang lebih berkelanjutan negeri ini.
Aji Saputra, Researcher, Universitas Padjadjaran dan Gemilang Lara Utama, Peneliti
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

You must be logged in to post a comment Login