SULUT
13 Bulan tak bayar retribusi, Pemkot Kotamobagu seret pedagang ke Pengadilan


PANTAU24.COM — Persidangan sengketa antara Pemerintah Kota Kotamobagu dan seorang pedagang berinisila VM alias Ver, pengguna unit fasilitas pemerintah yang berlokasi di Jalan Pasar 23 Maret, resmi memasuki tahap akhir. Putusan dengan nomor perkara 6/Pid.C/2025/PN Ktg dibacakan oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Kotamobagu pada Kamis (26/6/2025).
Bambang Dachlan, selaku penyidik Pegawai Negeri Sipil Satpol-PP Kotamobagu, mengungkapkan bahwa pihaknya menerima laporan pada 29 April 2025 dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan, bidang perdagangan, terkait ketidakpatuhan terhadap retribusi penggunaan fasilitas atau aset daerah di Pasar 23 Maret.
“Berjalannya waktu, katanya ada upaya pembayaran dari salah satu pengguna ruko di Pasar 23 Maret, Jalan Bogani, Kelurahan Gogagoman. Untuk perkara ini kami limpahkan ke pengadilan agar disidangkan sesuai ketentuan Perda karena kesanggupan yang bersangkutan tidak memenuhi kewajiban retribusi tertunggak 2024. Jadi, tuntutannya adalah retribusi atas layanan yang digunakan sejak Mei 2024 sampai Mei 2025. Sebelumnya sudah ada tiga kali surat pemberitahuan, tetapi tidak dipatuhi,” jelas Bambang.
Kasus ini bermula dari ketidakpatuhan pedagang terhadap kewajiban pembayaran retribusi sejak Mei 2024 hingga Juni 2025. Pemkot sebelumnya telah melakukan penertiban terhadap pengguna fasilitas milik daerah yang tidak memenuhi kewajiban tersebut.
Dalam dakwaannya, Penuntut Umum Youldy Kahiking menyampaikan bahwa terdakwa melanggar Pasal 64 ayat (4) dan Pasal 103 Perda Kota Kotamobagu Nomor 1 Tahun 2024 karena tidak membayar retribusi atas penggunaan Ruko A.7 milik Pemerintah Kota Kotamobagu yang beralamat di Jalan Bumbungon, Kelurahan Gogagoman, selama 13 bulan berturut-turut. Total tunggakan yang belum dibayar sebesar Rp13.000.000.
Sementara itu, Kepala Satuan Polisi Pamong Praja Kotamobagu, Sahaya Mokoginta, selaku penyidik, menjelaskan bahwa perkara ini telah melewati serangkaian prosedur administrasi, termasuk penerbitan tiga surat teguran resmi, namun tidak ditindaklanjuti.
“Karena tidak ada itikad baik, maka kami melanjutkan ke proses hukum untuk memberi efek jera serta menjaga ketertiban dan kepatuhan terhadap aturan daerah,” ujarnya.
Sidang dilanjutkan dengan pemeriksaan empat orang saksi: Kepala Dinas Perdagangan, Koperasi dan UKM; Kepala Bidang Perdagangan; Kepala Bidang Aset pada Badan Pengelolaan Keuangan Daerah; dan Kepala Seksi Penagihan Retribusi.
Setelah pemeriksaan, sidang diskors pada pukul 11.30 WITA dan dijadwalkan dilanjutkan kembali pukul 15.30 WITA. Selama masa skorsing, majelis hakim memberikan kesempatan bagi terdakwa dan perwakilan pemerintah untuk menyelesaikan perkara melalui pendekatan dialog dan mediasi (restorative justice).
Dalam pertemuan tersebut, terdakwa VM mengajukan permohonan untuk mencicil tunggakan secara bulanan.
Dalam proses mediasi, VM menyampaikan ketidaksanggupan membayar penuh tunggakan retribusi.
“Saya tidak mampu karena banyak tanggung jawab. Saat ini saya hanya punya Rp2 juta. Anak saya tiga orang, dan mereka harus membayar UKT di kampus. Saya hanya minta waktu untuk mencicil,” ujarnya di hadapan hakim.
Kepala Dinas Perhubungan Kotamobagu, Ariono Potabuga, menyatakan bahwa skema cicilan tidak dikenal dalam sistem administrasi retribusi daerah.
“Kami pada prinsipnya memahami pentingnya solusi terbaik. Tapi kami tidak memiliki dasar untuk menerima cicilan. Jika kami menyetujui, kami bisa dianggap melanggar aturan karena Pendapatan Asli Daerah itu memiliki target. Kalau diperiksa BPK bagaimana? Kami hanya menjalankan aturan,” tegasnya.
Ia juga menegaskan bahwa penagihan selama ini dilakukan oleh Dinas Perdagangan, dan pengguna ruko seharusnya membayar retribusi secara rutin setiap bulan.
Dinas tetap menjunjung prinsip restorative justice, tetapi mengingatkan bahwa pelanggaran serupa bisa menjadi beban berkepanjangan.
“Kalau hanya membayar Rp2 juta per bulan, penyelesaian akan memakan waktu sangat lama. Padahal sejak 2024 tidak ada pembayaran. Kami akan mengambil alih kembali ruko yang dipakai tergugat karena tidak ada itikad baik. Kalau 2024 diselesaikan, kami masih bisa mempertimbangkan pembayaran untuk 2025,” pungkasnya.
Pada akhir mediasi, tercapai kesepakatan damai antara penggugat dan tergugat sebagaimana tertuang dalam putusan tindak pidana ringan yang dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Sulharman, S.H., M.H. Amar putusan menyatakan:
- Pihak kedua (terdakwa) mengakui kesalahannya karena tidak membayar retribusi sejak 2024.
- Pihak pertama (Pemkot) memaafkan pihak kedua.
- Tergugat meminta maaf dan bersedia membayar Rp8 juta untuk tunggakan tahun 2024, serta akan melunasi sisa tunggakan paling lambat pada 30 Juli 2025.

You must be logged in to post a comment Login