Connect with us

Editor's Pick

Dari bisul menuju usul: Catatan bagi GMIM

Published

on

gmim

Oleh: Pitres C. Sombowadile *

TERJADINYA “penggumpalan” kekuasaan ditunjuk sebagai faktor awal yang melatari masalah GMIM kini. Pdt. David Tular mengeluarkan pernyataan ini. Sekaligus, dia menggulirkan istilahnya yang khas, gurih dan lugas itu: peng-gumpal-an. Penggumpalan ini secara klinis medis bisa saja menjadi abses alias bisul yang sewaktu-waktu pecah jika tidak dirawat dengan telaten.

Bukti dari penggumpalan kekuasaan itu ditunjukkan banyak orang. Diantaranya, pada pupusnya spirit kepemimpinan kolektif kolegial, akibat dominasi personal ketua BPMS (Badan Pekerja Majelis Sinode). Kekuasaan eksesif sang ketua itu sudah banyak diurai para penggiat GMIM saat peristwa perubahan Tata Gereja 2021 yang dilakukan justru dengan salah satu pasal aturan Tata Gereja itu sendiri.

Penggumpalan kekuasaan yang lain juga disebut terjadi akibat telah ditekuknya Badan Pengawas Perbendaharaan Sinode (BPPS) dari kedudukannya pada Tata Gereja sebelumnya. Kini lembaga ini sudah diubah menjadi komisi diangkat oleh Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS). Artinya, lembaga kontrol keuangan itu sudah terkooptasi, dan otomatis tidak akan efektif mengontrol BPMS. Penggumpalan ini akan menuju pada absolutisme kekuasaan dan segala hal akan dikorupsi.

Sementara itu, di tingkat publik (jemaat plus tetangganya) setelah terangkatnya dugaan korupsi Dana Hibah Pemprov Sulut ke pihak pimpinan di GMIM beredarlah video yang memberi kesan, nuansa, karakter dan ciri elan otoritarian sang ketua sinode GMIM. Pada sebuah video yang viral ada ujarannya yang berbunyi: “…jangan skali-kali malawang pa yayasan, apalagi pa kita….” (jangan sekali-kali melawan pihak sinode, apalagi melawan saya).

Kita semua tahu Johanes Calvin yang menjadi acuan pemahaman ajaran gereja GMIM sangat maju dalam pemikirannya terkait negara, demokrasi dan legitimasi dan bahkan pandangan beraninya tentang sahnya pemberontakan terhadap penguasa lalim. Untuk urusan negara atau kekuasaan sipil, Calvin memang lebih maju dari sikap pasif Luther, Swingli atau tokoh-tokoh Anabaptis dan penghulu gereja reformasi lainnya.

Meski begitu, ternyata pemisahan kekuasaan yang menjadi concern Calvin ternyata hanya sekitar pemisahan dan relasi kekuasaan gereja dan negara. Menurutnya, negara dan gereja berada dalam fungsi yang sejajar untuk menegakkan kedaulatan Allah di bumi. Keduanya berada di bawah kekuasaan mutlak Allah, namun tidak saling menundukkan (lihat di antaranya: Institute of Christian Religion 2, Ed. John T McNeil; 1960).

Hingga akhir abad ke-17, banyak gagasan kekuasaan sipil dilontar oleh pemikir di pihak gereja yang sejatinya justru mendorong terjadinya penggumpalan kekuasaan satu lembaga kegerejaan tertentu. Para penggagas itu berseberangan dengan para pemikir liberal yang getol mengupayakan sistem kekuasaan yang dapat disebut berciri “anti-penggumpalan”.

Ringkasnya, dalam sejarah kekuasaan di Eropa, penggumpalan kekuasaan itu dicegah dengan cara: membagi-bagi, atau memecah-mecahkan struktur kekuasaan (sipil) ke dalam beberapa lembaga yang diposisikan terpisah; lembaga-lembaga itu berbeda fungsi serta dioperasikan oleh pihak yang berbeda.

Pemisahan Kekuasaan

Hingga akhir abad ke-17 gagasan kekuasaan di Eropa dan Amerika baik di kalangan negara/ pemerintahan maupun pada lembaga-lembaga gereja masih mengacu pada pandangan pemimpin tunggal atau monarchi (mono = satu, tunggal, sedang archi= kekuasaan) yang sangat longgar dari penilikan, pengawasan dan kontrol terhadapnya. Kekuasaan tunggal itu serta merta membangun penggumpalan.

Gagasan awal pembentukan lembaga-lembaga kekuasaan majemuk yang terdiri lebih dari satu lembaga; dan lembaga-lembaganya ditata saling terpisah serta tidak boleh diurus oleh satu pihak/pribadi justru muncul dari kaum liberal di Inggris dan Perancis. Tentu kita mengenal tokoh-tokohnya terkenal semacam John Locke yang asal Inggris dan Baron de Montesquieu yang asal Perancis.

John Locke Jr, FRS. Pada 1680 di Inggris dapat disebut telah membedah bahwa “menggumpalnya” kekuasaan pada penguasa tunggal atau monarki absolut merupakan akar dari banyak masalah negara. Penguasa tunggal itu menurutnya mesti diperbaharui. Nah, hal ini didengungkan Locke, meski dia sendiri sebenarnya adalah pemikir yang ditunjang oleh para penguasa monarki Inggris. Dia pernah memperoleh gelar “FRS” di belakang namanya, yaitu singkatan dari; Fellowship of The Royal Society dari lembaga yang didirikan tahun 1662 oleh Raja Inggris Charles II.

John Lock berpikir keras bahwa “pohon kekuasaan” yang “menggumpal” itu harus dipilahnya ke dalam cabang-cabang. Raja atau penguasa monarki menjadi salah satu cabang kekuasaan, yang disebutnya kekuasaan eksekutif. Nah lembaga ini perlu dikontrol oleh lembaga yang setara, terpisah, berbeda dan spesifik, sekaligus akan menyempurnakannya. Dua cabang kekuasaan tambahan diajukan Locke, di antaranya yang disebutnya cabang kekuasaan legislatif, yaitu pihak parlemen yang bertugas membuat aturan yang mengontrol eksekutif.

Montesquieu dari Perancis kemudian ikut menyumbangkan gagasan lembaga cabang kekuasaan ketiga. Dia tampil mengganti cabang kekuasaan federatif yang sebelumnya diajukan oleh John Locke. Cabang kekuasaan ketiga gagasan Montesquieu itu disebutnya sebagai kekuasaan yudikatif. Ketiga lembaga cabang kekuasan diletakkan Montesquieu benar-benar terpisah.

Dengan tiga cabang kekuasaan sipil itu dimulailah penataan kekuasaan atau pengaturan kewenangan sipil yang berbeda, yaitu dibentunya lembaga-lembaga yang terbagi dan terpisah dengan para aktor penguasanya yang lebih dari satu alias majemuk. Di antara lembaga-lembaga itu ditata satu relasi khas yang saling mengontrol atau mekanisme check and balance. Inter-relasi lembaga-lembaga itu pada akhirnya nanti akan mendatangkan manfaat dan maslahat tertentu bagi publik (res publica), rakyat. Atau jika diterapkan di lingkungan gereja maka akan bermanfaat bagi anggota jemaat dan memuliakan Allah. Mengapa? Karena penyelewengan kekuasaan (abuse of power) efektif diredam.

Gagasan pemilahan kekuasaan yang anti-penggumpalan itulah yang digagas John Locke Jr. FRS. Secara sistematis Locke melawan gagasan kekuasaan yang terpusat; juga melawan gagasan penguasa tunggal (monarki) yang sudah lama bertahan, di antaranya ikut ditambah dengan legitimasi kekuasaan ilahi bagi sang penguasa itu. Gagasan Locke ini melawan para pendukung gagasan absolutisme kekuasaan yang didasarkan pada postulat hak ilahi raja yang disodorkan oleh Robert Filmer pada bukunya Patriarcha (sejak 1542 dan resmi terbit di 1580).

John Locke menulis bukunya Two Treatises of Civil Government (1690). Sebagaimana judulnya, buku ini terdiri dari dua topik bahasan. Pada topik pertamanya ternyata Locke habis-habisan membedah dan mendebat gagasan Filmer yang menyuburkan monarki dan kekuasaan “menggumpal” pada satu figur. Filmer bahkan memberi penguasa tunggal itu satu legitimasi cita dan citra ilahi. Menurut pemikir Inggris ini, para raja (pemimpin) tidak lain adalah lanjutan atau pewaris kepemimpinan sejak Adam, Nuh, dan para raja-raja yang memperoleh kuasanya dari Allah yang diacunya dari Alkitab.

Setelah membedah kekeliruan Filmer pada topik pertama bukunya, pada bahasan kedua barulah Locke menawarkan 3 cabang kekuasaan yang saling terpisah dan saling kontrol. Kini gagasan itulah yang jamak dipakai dan dijadikan acuan di banyak negara, kecuali negara monarki non parlemen yang sekaligus pemimpinnya merasa dirinya adalah Tuhan.

Dari bisul ke usul

Penggumpalan bisul kekuasaan yang terjadi di GMIM sesungguhnya tidaklah separah situasi monarki Eropa di Inggris dan Perancis dari abad ke 14 hingga ke-17. Mengapa? Karena dengan memeriksa acuan Tata Gereja GMIM (konstitusi) sejatinya GMIM sudah disetel banyak detailnya untuk mengikuti kaidah-kaidah “pemerintahan-gereja” a la Calvin. Di GMIM, misalnya, semua penatua dan diaken direkrut dari level pelayanan bawah (di jemaat) dengan mengikuti dalil demokrasi Calvin, yaitu mengharuskan para pelayan itu dipilih oleh umat.

Sayang pada ujungnya ternyata kaum ordained (kaum imam yang berjubah) yang tidak dipilih oleh anggota gereja, secara serta merta diplotkan struktur pucuk GMIM untuk menjadi pemimpin jemaat. Sementara tugasnya, bukan hanya mengurus tata peribadatan, tetapi juga ikut merangsek ke urusan tata manajemen jemaat dan tata tetek benget lainnya. Urusan itu berisiko menumpulkan cita dan fungsi pengajaran spiritual dan moral dari para kaum berjubah imam itu.

Kemudian yang positif juga bahwa Tata Gereja GMIM 2021 meletakkan kekuasaan pengambilan keputusan tertingginya (meski bukan kekuasaan ultimate) pada Sidang Majelis Sinode (SMS). Namun sidang ini pada Tata Gereja 2021 justru sayangnya diatur hanya mengangkat Badan Pekerja Majelis Sinode (BPMS) saja.

Masalah tidak disadari terbit di sini. Karena yang diangkat SMS hanya satu badan yang tunggal dan tanpa pendampingan badan lain yang memilah-milah mandat dari kekuasaan tertinggi SMS itu, maka BPMS berpotensi “tergelincir” menjadi absolut, alias menjadi “menggumpal”, kekuasaannya karena statusnya sebagai mandataris satu-satunya, the sole mandate holder, dari Sidang Majelis Sinode.

Pada Tata Gereja 2021 juga memang semua struktur di aras sinode disebut sebagai: “perangkat pelayanan”. Maaf terma ini seolah struktur dan personilnya sekadar peralatan/ tool kerja dari BPMS saja. Di antaranya, termasuk struktur yang mengawasi perbendaharaan atau yang bertugas mengurus pengawasan perbendaharaan/ keuangan gereja. Hal ini berbeda dengan pengaturan pada Tata Gereja (TG) sebelumnya (TG 2016) yaitu lembaga ini juga dipilih dalam SMS dan diletakkan terpisah dan spesifik mengawasi keuangan dan bertanggungjawab pada SMS.

Dengan mengabaikan karakter pribadi orang per orang, ternyata pengaturan TG 2021 yang hanya memilih BPMS sebagai mandataris tunggal adalah akar awal dari penggumpalan. Ini mesti segera diperbaiki lewat SMS-Istimewa karena situasi mendesak demi memastikan semua perbendaharan, keuangan dan aset GMIM tetap dapat dipertanggungjawabkan (ke SMS dan bukan BPMS).

Bersamaan dengan itu dengan patokan pemilahan dan pemisahan kekuasaan a la Locke dan Montesquieu dan demi kemaslahatan jemaat dan kepujian bagi Allah, sebaiknya SMS juga membentuk dan menunjuk personil kelembagaan baru yang bernama: Badan Pembentuk Peraturan GMIM serta Mahkamah GMIM. Jadi keduanya menambah pada BPMS dan BPPS yang muncul karena elan semper reformanda GMIM.

Badan Pembentuk Peraturan GMIM akan memeriksa semua peraturan dan menyesuaikan dengan hukum-hukum gereja, menyusun semua peraturan secara hierarkis agar menjadi acuan dan patokan kerja pelayanan GMIM dan patokan dalam kerja mahkamah GMIM. Badan ini dapat bekerja bersama dengan BPMS dan BPPS atau bekerja sendiri dalam membuat Tata Gereja dan peraturan penjabarannya, sekaligus memastikan konsistensi dan koherensi produk peraturan; memastikan tidak terjadinya tumpang tindih dan pertentangan peraturan. Semua peraturan BPMS hanya berlaku sesudah mendapat pemeriksaan dan pengesahan oleh badan khusus peraturan ini. Dengan ini ugal-ugalan BPMS dalam membuat peraturan sepihak akan terkontrol dan kedua badan ini akan saling check and balance demi kepujian pada Allah dan kemaslahatan anggota gereja.

Mahkamah GMIM akan dibangun dengan sungguh-sungguh sebagai lembaga penyelesaian konflik internal GMIM. Lembaga ini akan dibentuk dengan sungguh-sungguh termasuk memilih para hakimnya, yaitu para senior pendeta, anggota jemaat berlatar belakang pendidikan hukum yang punya catatan integritas, kekukuhan moral dan ketaatan gereja yang tinggi. Mahkamah ini akan membuka pengadilan di tingkat wilayah dan region. Wilayah diformat kembali hanya berupa perkumpulan dari para pendeta dari semua jemaat dan pengadilan, forum kerjasama dari jemaat-jemaat dan pengadilan dari mahkamah GMIM. Tidak perlu ada sentralisasi wilayah. Sedang pada region terdapat hanya pengadilan tingkat kedua.

Dengan pengadilan dan mahkamah GMIM itu, maka semua masalah dan konflik terlebih dahulu dapat diselesaikan di dalam gereja. Meski kehadiran mahkamah dan pengadilan GMIM ini tidaklah mengingkari eksistensi tata peradilan negara di luar gereja. Sebagaimana pandangan reformasi Calvin atas posisi gereja dan negara.

Demikian sekadar masukan. Berangkat dari bisul menuju beberapa usul perubahan GMIM. Gagasan ini jelas masih mentah dan perlu dibahas pada kesempatan dan forum lain untuk disempurnakan bersama.


* Penulis adalah koster

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply