Connect with us

Editor's Pick

Ancaman eutrofikasi dan penyebaran eceng gondok yang mengancam kehidupan lokal

Published

on

tumbuhan eceng gondok

Oleh: Joyce Ch. Kumaat dkk*

Danau Tondano, salah satu danau terbesar di Sulawesi Utara, telah menjadi saksi bisu dari transformasi ekosistem akibat intervensi manusia. Dulu dikenal sebagai lahan subur bagi kehidupan masyarakat sekitar, kini danau ini berada di ambang krisis lingkungan yang serius. Pencemaran oleh bahan organik, nutrien seperti nitrogen (N) dan fosfor (P), serta proliferasi eceng gondok (Eichhornia crassipes) telah mengubah wajah danau yang pernah begitu jernih menjadi genangan air eutrofik yang mengancam keberlanjutan ekosistemnya.

Kondisi ini tidak terjadi dalam semalam. Sejak beberapa dekade lalu, Danau Tondano mulai dirundung masalah akibat aktivitas pertanian intensif di Daerah Aliran Sungai (DAS) sekitarnya. Limbah pertanian, terutama pupuk NPK, menciptakan inflow polutan yang signifikan ke dalam danau.\

Data dari penelitian Rares et al. (2016) menunjukkan bahwa wilayah DAS hulu, kanan, dan kiri secara berturut-turut menyumbangkan rerata pencemaran organik N sebesar 0,038 kg/ha/hari, 0,025 kg/ha/hari, dan 0,057 kg/ha/hari. Sementara itu, polutan organik P mencapai 0,005 kg/ha/hari, 0,003 kg/ha/har, dan 0,004 kg/ha/hari untuk wilayah hulu, kanan, dan kiri. Polutan-polutan ini tidak hanya meningkatkan kesuburan air tetapi juga memicu proses eutrofikasi, di mana pertumbuhan vegetasi air menjadi tidak terkendali.

Proses eutrofikasi ini membawa dampak negatif yang luas. Tingginya kadar nitrogen dan fosfor dalam air, dengan inflow total N sebesar 0,03 kg/m2/tahun dan total P sebesar 0,003 kg/m2/tahun, telah melewati batas aman daya tampung danau. Menurut pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau tahun 2009, level eutrofik ditandai dengan konsentrasi total N lebih dari 0,0625 kg/m2/tahun dan total P lebih dari 0,0033 kg/m2/tahun. Ini artinya, Danau Tondano sudah berada pada status kewaspadaan eutrofik, di mana keseimbangan ekosistemnya terancam.

Salah satu konsekuensi utama dari kondisi eutrofik adalah proliferasi eceng gondok, tumbuhan air invasif yang telah menyebar luas di permukaan danau. Studi menunjukkan bahwa eceng gondok dapat tumbuh hingga 20% luas permukaan per hari dalam kondisi optimal, membuatnya menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati dan kualitas air.

Di Danau Tondano, ledakan populasi eceng gondok telah menyebabkan penurunan stok ikan nila (Oreochromis niloticus) hingga 40% dalam sepuluh tahun terakhir. Selain itu, biaya pembersihan eceng gondok mencapai Rp 2,5 miliar per tahun, namun upaya ini sering kali gagal memberikan solusi jangka panjang karena kemampuan regenerasi tanaman ini yang sangat cepat.

Faktor-faktor fisik seperti dinamika gelombang angin juga turut memperparah penyebaran eceng gondok. Morfometri Danau Tondano, dengan kedalaman rata-rata 14,54 meter dan luas permukaan 46.16 km2, menciptakan zona-zona morfometrik yang unik. Zona tepi, dengan kedalaman dangkal (<10 meter) dan fetch pendek (2.940 meter), menjadi habitat ideal bagi eceng gondok karena resistansi air rendah dan ketersediaan nutrien tinggi.

Di sini, tanaman ini berkembang biak pesat, mencapai lebih dari 70% tutupan permukaan air. Sedangkan di zona transisi (kedalaman 10-20 meter, fetch 5.000 meter), gelombang moderat membantu menyebarluaskan fragmen eceng gondok, meskipun pertumbuhannya sedikit lebih terbatas (20-40%). Di zona tengah (>30 meter, fetch 11.000 meter), dilusi besar akibat volume air yang melimpah membuat pertumbuhan eceng gondok sangat terbatas (<5%).

Selain morfometri, faktor lain yang mempercepat penyebaran eceng gondok adalah pola angin muson yang dominan di wilayah tersebut. Angin yang bergerak dari utara ke selatan menciptakan energi gelombang yang cukup besar, dengan tinggi maksimum mencapai 1,17 meter di zona tengah.

Gelombang ini tidak hanya membawa fragmen eceng gondok tetapi juga meresuspensi sedimen dasar danau, melepaskan nutrien terikat yang mendukung pertumbuhan tanaman. Persamaan USACE (1984) digunakan untuk menghitung tinggi gelombang (Hm​=0,0145⋅V2⋅√Lf​Danau Tondano: Ancaman eutrofikasi dan penyebaran eceng gondok yang mengancam kehidupan lokal​), di mana V adalah kecepatan angin dan Lf​ adalah panjang fetch. Hasil simulasi menunjukkan bahwa gelombang dengan tinggi >0,5 meter mampu memindahkan fragmen eceng gondok hingga puluhan kilometer dalam waktu singkat.

Danau Tondano
TNI dan Polri bergotong royong bersihkan Danau Tondano, (Foto: Pool).

Mitigasi

Upaya mitigasi yang telah dilakukan, seperti pembersihan manual menggunakan tenaga kerja lokal dan penggunaan herbisida, ternyata belum efektif. Pembersihan manual mahal dan bersifat sementara, sementara herbisida berpotensi mencemari air dan membahayakan organisme non-target.

Solusi berkelanjutan harus melibatkan pemahaman mendalam tentang dinamika hidrodinamika dan ekologi danau. Model numerik seperti AVSWAT 2000 dan WASP 7.1 telah digunakan untuk memprediksi distribusi polutan dan menentukan area-area prioritas mitigasi. Kalibrasi model menunjukkan hasil yang cukup akurat, dengan nilai R2=0,974, atau deviasi hanya 3% antara data lapangan dan simulasi.

Namun, tantangan terbesar tetap ada di DAS Danau Tondano. Wilayah ini memiliki potensi tinggi sebagai sumber pencemar utama. Aktivitas pertanian, peternakan, dan pemukiman di sekitar DAS menyebabkan erosi dan sedimentasi yang signifikan. Misalnya, erosi di wilayah hulu mencapai 0,049 ton/ha/hari, sementara di wilayah kanan dan kiri masing-masing sebesar 0,018 ton/ha/hari dan 0,046 ton/ha/hari. Erosi ini tidak hanya mempercepat pendangkalan danau tetapi juga membawa nutrien tambahan yang memperburuk eutrofikasi.

Untuk mengatasi masalah ini, langkah-langkah mitigasi harus dilakukan secara komprehensif. Pertama, di DAS, perlu dilakukan penataan kawasan yang melibatkan pembatasan penggunaan pupuk kimia, penghijauan lahan, dan pembangunan cek dam di sungai-sungai hulu. Cek dam akan mengurangi transportasi material apung dan sedimen ke dalam danau.

Selain itu, pembangunan wetland buatan di muara sungai dapat berfungsi sebagai filter alami untuk menyerap nutrien sebelum mencapai danau. Di perairan, strategi mitigasi melibatkan pengadaan pipa apung sebagai pembatas penyebaran eceng gondok, terutama di zona tepi. Pipa ini dapat mencegah tanaman meluas ke area yang lebih luas. Selain itu, pengadaan tanaman air lain seperti Hydrilla verticillata atau Ceratophyllum demersum di pinggir danau dapat membantu menyerap nutrien secara alami. Upaya ini harus didukung oleh program pemanenan rutin eceng gondok untuk dikonversi menjadi biomassa bernilai tambah, seperti pupuk organik atau bahan bakar bioetanol.

Keterlibatan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat setempat, menjadi kunci keberhasilan mitigasi. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 menegaskan pentingnya penentuan daya tampung beban pencemar dan penetapan standar mutu air. Namun, implementasi aturan ini masih perlu diperkuat dengan pengawasan yang ketat dan partisipasi aktif masyarakat. Program edukasi tentang pentingnya menjaga kualitas air danau harus diberikan kepada petani, nelayan, dan penduduk sekitar.

wisata sulut danau tondano
Pemandangan di tepi Danau Tondano (Foto: PANTAU24.com/Ronny A. Buol)

Masalah Danau Tondano tidak hanya soal lingkungan tetapi juga sosial-ekonomi. Danau ini merupakan sumber mata pencaharian bagi ribuan keluarga melalui aktivitas perikanan, pariwisata, dan pertanian. Kerusakan ekosistem akan berdampak langsung pada penghidupan mereka. Oleh karena itu, solusi yang diambil harus mempertimbangkan aspek-aspek ini. Contohnya, pemanfaatan eceng gondok sebagai bahan baku industri kecil dapat memberikan alternatif ekonomi sambil mengurangi populasi tanaman tersebut.

Masa depan Danau Tondano bergantung pada keputusan yang diambil hari ini. Jika tidak ditangani dengan bijak, danau ini berisiko menjadi genangan air mati yang tidak lagi mendukung kehidupan. Namun, jika semua pihak bekerja sama, Danau Tondano dapat dipulihkan menjadi ekosistem yang lestari.

Dengan pendekatan manajemen berbasis risiko, integrasi teknologi pemodelan hidrodinamika, dan dukungan masyarakat, harapan untuk mempertahankan keindahan dan fungsi vital Danau Tondano masih terbuka lebar.

Sebagai catatan penting, penelitian ini menyoroti urgensi pengelolaan air danau secara holistik. Pendekatan fragmentaris hanya akan memperpanjang masalah. Melaluii kolaborasi lintas sektor, kita dapat memastikan bahwa Danau Tondano tetap menjadi aset berharga bagi generasi mendatang. Mari kita jaga agar danau ini tetap hidup, lestari, dan memberikan manfaat bagi semua.


Para peneliti: Joyce Ch. Kumaat¹, Mercy M. Rampengan¹, Xaverius E. Lobja³, Jeffrey Delarue)
(1 Program Studi Geografi; 2 Program Studi Ilmu Lingkungan; 3 Program Studi Pendidikan Geografi; 4 Program Studi Teknik Sipil)

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply