Connect with us

Editor's Pick

Bisakah Sekolah Rakyat jadi solusi ketimpangan pendidikan bagi masyarakat miskin?

Published

on

pendidikan


Oleh: Senza Arsendy, The University of Melbourne

Sekolah Rakyat merupakan salah satu kebijakan prioritas pemerintah di bidang pendidikan. Meski menjadi prioritas dengan anggaran yang besar, Sekolah Rakyat dikelola oleh Kementerian Sosial, bukan Kementerian Pendidikan.

Sekitar 53 Sekolah Rakyat ditargetkan beroperasi di tahun ajaran baru 2025, dengan target 200 sekolah akan terbangun di akhir 2025. Lokasinya akan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia, seperti kota Pasuruan dan kota Probolinggo di Jawa Timur, Sentra Alyatama Jambi, Sentra Efata Kupang dan Sentra Turnou Tou Manado.

Sekolah Rakyat bertujuan mengatasi ketimpangan pendidikan dengan memberikan kesempatan kepada anak-anak miskin untuk mendapatkan pendidikan berkualitas. Mereka akan belajar dengan menggunakan perangkat teknologi mumpuni dan guru yang diseleksi melalui mekanisme ketat.

Sayangnya, sekolah ini hanya diperuntukkan untuk siswa miskin dengan jumlah terbatas. Ini rentan menimbulkan ketimpangan baru antara deserving dan undeserving poor (siswa miskin yang pantas dan tidak pantas menerima).

Kelompok pertama dianggap berhak mendapatkan bantuan pemerintah berupa sekolah berkualitas karena prestasi akademis mereka. Sementara anak-anak miskin yang dianggap kurang berprestasi dibiarkan berebut bangku pendidikan di sekolah negeri yang jumlahnya terbatas.

Sekolah Rakyat juga dikhawatirkan akan menghidupkan kembali kastanisasi pendidikan di zaman kolonial, rentan membuka celah korupsi, tata kelola yang tumpang tindih antar kementerian, hingga stigma negatif untuk siswanya.

Alih-alih mengatasi ketimpangan, Sekolah Rakyat justru berpotensi mencabut anak dari komunitas yang lebih inklusif dan belum tentu bermanfaat bagi masyarakat miskin.

Ketimpangan masih ada

Riset tahun 2020 menunjukkan bahwa ketimpangan masih menjadi masalah serius pendidikan di Indonesia, dan makin parah setelah terjadinya COVID-19. Ketimpangan ini terjadi termasuk antara anak miskin dan nonmiskin.

Dari sisi akses, anak miskin cenderung memiliki partisipasi yang rendah di pendidikan anak usia dini (PAUD), lebih rentan putus sekolah, dan cenderung bersekolah di tempat dengan fasilitas pendidikan terbatas dibanding anak-anak dari kelompok menengah atas.

Ketimpangan akses tergambar juga pada ketimpangan hasil belajar. Misalnya, hasil tes internasional konsisten menunjukkan anak-anak miskin cenderung memiliki hasil belajar yang lebih rendah dibandingkan kelompok menengah-atas.

Temuan ini menggambarkan bahwa sekolah, alih-alih menawarkan kesempatan mobilitas sosial, justru cenderung menguatkan ketimpangan ekonomi yang sudah terjadi di luar sekolah. Hal ini karena norma institusi sekolah lebih sejalan dengan norma kelas menengah-atas.

Misalnya, ada anggapan bahwa hanya siswa-siswa yang memiliki performa akademis yang baik yang boleh mendapatkan pendidikan berkualitas.

Tentu, siswa dengan sumber daya mumpuni lebih mungkin mempersiapkan diri, misalnya dengan dukungan tambahan dari keluarga maupun bimbingan belajar. Sementara anak-anak miskin punya kesempatan lebih terbatas untuk membantu mereka sukses di sekolah, lepas dari performa akademisnya.

Alhasil, karena hasil belajar cenderung dilihat sekadar sebagai kombinasi antara bakat (mitos meritokrasi), ketimpangan yang terjadi di pendidikan cenderung terjustifikasi.

Minim interaksi inklusif

Sekolah Rakyat akan dibangun dengan sistem asrama. Artinya, anak-anak pergi meninggalkan komunitasnya untuk mendapatkan hak belajarnya. Meskipun praktik sekolah berasrama ini umum terjadi, mencabut anak dari komunitas bisa berdampak serius di level komunitas.

Di negara yang demokratis, idealnya masyarakat dari berbagai latar belakang hidup saling berdampingan. Sayangnya, ketimpangan membuat jarak sosial antara kelompok miskin dan menengah atas terus melebar. Mereka tidak saja tinggal di tempat berbeda, tapi memiliki jaringan sosial yang berbeda pula.

Meski sekolah tidak bisa menyelesaikan semua masalah ketimpangan, sebagai institusi publik, sekolah seharusnya bisa menjadi tempat anak-anak dari berbagai latar belakang kelas ekonomi, agama, gender, dan identitas lainnya untuk membangun interaksi yang bermakna.

Riset di Amerika Serikat (AS) menunjukkan bahwa anak-anak miskin mendapatkan manfaat dari pertemanan antarkelas. Memiliki teman dari golongan ekonomi yang lebih baik membuat kesempatan anak-anak miskin untuk mengalami mobilitas sosial jadi lebih tinggi. Di India, interaksi anak antarkelas juga membuat anak-anak dari rumah tangga kaya cenderung menjadi lebih egaliter dan prososial.

Sebaliknya, di Inggris, alumni sekolah elit yang didominasi oleh orang-orang kaya cenderung lebih loyal pada partai konservatif—partai yang cenderung diskriminatif ke kelompok-kelompok marginal di Inggris.

Memisahkan kelompok siswa miskin dan nonmiskin di institusi pendidikan yang berbeda rentan membuat kita kehilangan manfaat dari interaksi inklusif yang mungkin terjadi di tempat-tempat publik seperti sekolah.

Belum tentu bermanfaat untuk anak-anak miskin

Di beberapa wilayah, Sekolah Rakyat kesulitan mencari anak-anak dari rumah tangga miskin untuk menjadi muridnya. Sebagian karena tidak siap pisah dari keluarga, sebagian lain karena lebih memilih masuk sekolah kejuruan.

Ini sejalan dengan temuan studi di Inggris yang menunjukkan bahwa meskipun memenuhi kualifikasi, anak-anak miskin tidak selamanya ingin masuk ke program khusus siswa berpotensi akademis. Sebagian yang sudah masuk ke program tersebut justru memutuskan untuk keluar karena merasa tidak nyaman dengan model pendidikan yang kurang inklusif dan tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.

Di beberapa konteks lain, jika dijalankan secara serius, sebenarnya sekolah asrama berkualitas bisa saja membantu anak-anak miskin. Namun, lagi-lagi sekolah jenis ini hanya berdampak pada sebagian kecil kelompok miskin, misalnya mereka yang sudah unggul sebelum masuk ke sekolah berasrama dan siswa perempuan.

Selebihnya riset justru menunjukkan bahwa ketimpangan pendapatan cenderung lebih umum terjadi di daerah yang sekolahnya melakukan seleksi akademis ketat untuk merekrut siswanya—sistem yang juga akan dilakukan oleh Sekolah Rakyat.

Di tengah fenomena umum ganti menteri, ganti kebijakan, tanpa rencana yang matang, anak-anak miskin rentan menjadi kelinci percobaan dari proyek ambisius pemerintah.

Padahal, anggaran Sekolah Rakyat yang besar semestinya bisa digunakan untuk memastikan bahwa semua anak-anak miskin, lepas dari performa akademisnya, bisa menikmati pendidikan berkualitas secara gratis.


Senza Arsendy, PhD Student in Sociology, The University of Melbourne

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply