Connect with us

Editor's Pick

Tempat ibadah disegel, diskusi akademik dibatalkan, kebebasan beragama dan berpikir terancam

Published

on

kebebasan beragama


PANTAU24.COM – Penyegelan tempat ibadah milik Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) di Tanjungsukur, Kota Banjar, Jawa Barat serta pembatalan diskusi bedah buku di IAIN Manado, Sulawesi Utara, menjadi bukti nyata bahwa praktik diskriminasi dan represi terhadap kelompok minoritas masih berlangsung dan dibiarkan. Dua peristiwa tersebut menunjukkan realitas yang kontradiktif dengan komitmen nasional.

Pemerintah Indonesia dalam Asta Cita dan Program Prioritas telah menegaskan komitmennya untuk meningkatkan toleransi dengan memastikan kerukunan umat beragama dan kebebasan beribadah.

Dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah juga menjamin perlindungan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) guna membangun kehidupan keagamaan yang rukun, inklusif, dan berkeadilan. Visi ini menjadi bagian dari agenda strategis nasional untuk memperkuat demokrasi, supremasi hukum, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Masjid Al Istiqamah, tempat ibadah JAI, di Tanjungsukur, Kota Banjar, kembali menjadi sasaran penyegelan oleh aparat setempat. Penyegelan ini diawali dengan adanya desakan oleh Aliansi Muslim Kota Banjar (Al Muktabar) kepada Pemerintah Kota Banjar untuk mengaktifkan kembali Peraturan Walikota (Perwali) No.10 Tahun 2011 tentang Penanganan Ahmadiyah di Kota Banjar.

Menyambut desakan tersebut, Tim Penanganan JAI Kota Banjar, dalam hal ini diketuai langsung oleh Kepala Kemenag Kota Banjar, mendatangi masjid untuk menyampaikan informasi penegakan Perwali dan membekukan aktivitas JAI. Keputusan ini dilakukan tanpa proses yang adil atau bahkan mediasi partisipatif yang melibatkan komunitas JAI.

Sementara itu, di Manado, diskusi ilmiah bertajuk “Menyingkap Tabir Kebenaran Ahmadiyah” yang direncanakan oleh Koalisi KBB Sulawesi Utara, Gusdurian Manado, Rumah Moderasi Beragama IAIN Manado, dan PB JAI dibatalkan secara sepihak oleh Rektor IAIN Manado dengan alasan menjaga kondusifitas.

Pembatalan ini terjadi setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Manado dan Provinsi Sulawesi Utara menerbitkan surat resmi dan menegaskan kepada Rektor IAIN Manado agar membatalkan kegiatan tersebut.

Tekanan ini jelas memberikan preseden buruk terhadap Kota Manado yang baru-baru ini memperoleh predikat kota toleran dalam Indeks Kota Toleran 2024 oleh SETARA Institute dan Konsorsium INKLUSI.

Campur tangan lembaga keagamaan seperti MUI dalam membatalkan forum akademik mencederai peran kampus sebagai ruang aman untuk berpikir kritis, berdialektika, dan berdialog dengan ragam perspektif. Kehadiran diskusi semacam ini justru penting untuk membuka ruang dialog berbasis pengetahuan dan membangun toleransi, bukan sebaliknya ditutup oleh tekanan yang berlandaskan stigma dan disinformasi.

Konsorsium INKLUSI melauluio siaran pers menyatakan menyesalkan kedua peristiwa ini yang merupakan bentuk nyata diskriminasi dan represi terhadap kelompok minoritas beragama di Indonesia, sekaligus menunjukkan nihilnya keberadaan negara dalam menjamin hak peribadatan warga negara.

Konsorsium INKLUSI menegaskan bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan konstitusi pada Pasal 28E ayat (1) dan Pasal 29 ayat (2) yang menjamin sepenuhnya kebebasan dan kemerdekaan setiap penduduk dan warga negara untuk memeluk agama dan kepercayaan.

Ini menunjukkan bahwa aparat pemerintah daerah belum sepenuhnya menjalankan amanat konstitusi dalam menjamin perlindungan kelompok minoritas beragama.

Konsorsium INKLUSI memandang tindakan MUI dalam mendorong pembatalan diskusi terbuka di institusi pendidikan adalah tindakan yang keliru dan mencederai kebebasan akademik. Kampus merupakan ruang merdeka, bukan ruang pembungkaman.

Diskusi tersebut seharusnya dipandang sebagai bentuk kebebasan berpikir dan berdialektika untuk mengasah kemampuan berpikir kritis warga negara. Apabila persekusi ruang diskusi dibenarkan, maka kita tengah meruntuhkan pondasi kebebasan berpikir itu sendiri.

Konsorsium INKLUSI mendesak Pemerintah Pusat untuk menunjukkan komitmen dalam mendorong tata kelola pemerintahan yang inklusif dan pembangunan inklusif (inclusive governance & inclusive development) yang tertuang jelas dalam Astacita, Program Prioritas, hingga RPJMN 2025-2029 dengan menindak tegas aparat pemerintah daerah yang melakukan tindakan intoleransi.

Pemerintah juga perlu menguatkan aksi nyata penyelesaian masalah melalui mediasi konflik yang partisipatif dan menjamin hak peribadatan yang adil, terutama bagi kelompok minoritas.

Konsorsium INKLUSI juga mendesak agar Kementerian Agama mengambil langkah tegas terhadap keterlibatan Kementerian Agama daerah dalam praktik diskriminatif atas nama “kerukunan.”

Tindakan tersebut bertentangan keras dengan prinsip moderasi beragama yang menjadi program kunci Kementerian Agama.

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply