Editor's Pick
Tak punya tanah, tak ada masa depan

Oleh: Dr Christina Griffin, Crawford School of Public Policy, Australian National University; Muhammad Alif K. Sahide, Universitas Hasanuddin; Nurhady Sirimorok, Universitas Hasanuddin, dan Wolfram Dressler, The University of Melbourne
Setiap hari, Indah (18 tahun) harus bangun lebih pagi supaya bisa menumpang bus perusahaan menuju sebuah pabrik pengolahan udang. Pabrik yang terletak di pinggiran Kota Makassar—ibu kota Provinsi Sulawesi Selatan—itu berjarak lebih dari satu jam dari desanya di pesisir Kabupaten Maros. Di sanalah Indah bekerja sebagai buruh kasar, seperti anak muda kebanyakan di desanya.
Meski tinggal di desa, Indah tak punya tanah atau lahan untuk bertani. Perubahan besar-besaran di lanskap pedesaan akibat urbanisasi, pertambangan, ekspansi komoditas, dan pembangunan infrastruktur telah menggusur lahan pertanian yang dulunya subur. Imbasnya, hanya sedikit orang di Maros yang bisa hidup layak dari lahan pertanian. Sementara itu, pilihan pekerjaan di luar pertanian amat terbatas dan kurang menjanjikan.
Kisah Indah adalah gambaran kehidupan banyak orang muda pedesaan di Indonesia. Mereka menghadapi dilema mencari jalan baru untuk menghidupi diri, ketika pertanian tidak bisa lagi dilihat sebagai masa depan yang menjanjikan.
Untuk memahami bagaimana kehidupan, harapan, dan aspirasi anak muda pedesaan berubah, kami melakukan studi lapangan mendalam di empat desa di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Di tiap desa, kami mendengar cerita serupa: anak muda menghadapi tantangan besar mengejar mimpi mereka di tengah segala keterbatasan.
Tuntutan pendidikan tinggi, tapi tanpa jaminan pekerjaan
Dalam beberapa dekade terakhir, Kabupaten Maros mengalami perubahan agraria dan ekonomi yang pesat. Pembentukan Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung telah membatasi akses masyarakat lokal terhadap hutan kemiri yang menjadi sumber penghasilan mereka sebelumnya.
Di samping itu, alih fungsi sawah menjadi tambak saat udang sedang booming pada dasawarsa 1990-an membuat tanah tak lagi subur. Akibatnya, masyarakat mesti bergantung pada komoditas yang tidak stabil.
Perubahan-perubahan ini, ditambah dengan ekspansi tambang, rel kereta api, pabrik, dan pembangunan perumahan di atas lahan pertanian produktif, membuat kaum muda di pedesaan Maros tidak lagi melihat mata pencaharian berbasis lahan sebagai pilihan. Mereka kini beralih mencari peluang di sektor ritel, manufaktur di perkotaan, atau ‘kabur’ ke pulau lain.
Kondisi ini sekaligus membuat kaum muda semakin giat mengejar pendidikan sebagai jalan menuju pekerjaan “modern” di luar sektor pertanian. Setidaknya mereka berupaya untuk menamatkan jenjang SMA supaya bisa bekerja sebagai pegawai negeri sipil (PNS), pelayan atau kasir toko, atau pekerjaan lainnya.
Meski begitu, ijazah pendidikan mereka juga belum tentu menjamin jalan mulus menuju pekerjaan yang harapkan. Apalagi kondisi pasar kerja saat ini sering kali tidak begitu ramah pada lulusan muda yang belum punya pengalaman kerja. Oleh karenanya, banyak anak muda harus kerja kasar atau mencari jalan untuk mendapatkan uang, seperti membuka usaha sendiri sampai ‘kabur’ ke kota atau bahkan ke luar negeri.
Menjadi buruh pabrik
Menjadi buruh pabrik di kawasan industri Makassar kini banyak menjadi pilihan kaum muda pedesaan, terutama bagi mereka yang tidak punya tanah atau ijazah pendidikan tinggi.
Kaum perempuan muda biasanya dijemput bus perusahaan dari desa pukul 6 pagi, menempuh perjalanan selama lebih dari satu jam menuju pabrik. Sebagai buruh, mereka mulai bekerja mengolah udang dari pukul 8 pagi sampai 5 sore. Kadang-kadang, mereka bisa lembur sampai pukul 10 malam. Meski pekerjaan ini terbilang stabil, para buruh tidak punya kontrak formal, sehingga posisi mereka sangat rentan.
“Sebenarnya saya ingin kerja di supermarket, tapi cuma lulusan SMA yang bisa masuk. Kalau tidak sekolah tinggi seperti saya, ya cuma bisa jadi buruh di KIMA (kawasan industri Makassar),” ujar salah seorang perempuan pekerja pabrik pengolahan udang.
Bolak-balik merantau
Banyak juga orang muda pedesaan Maros yang memilih merantau demi menggapai harapan hidup mereka. Kadang, mereka pindah sementara ke kota atau ke luar negeri untuk bekerja, lalu kembali lagi ke kampung, dan pergi lagi, begitu seterusnya.
Perempuan muda umumnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Arab Saudi dan Malaysia, atau pulang-pergi ke pabrik-pabrik di kawasan industri Makassar. Sementara laki-laki kebanyakan bekerja sebagai buruh di perkebunan sawit, proyek pembukaan lahan, konstruksi, atau proyek transportasi di Sulawesi Selatan, Papua, Kalimantan, hingga Malaysia.
Ada juga yang merantau lebih dekat, seperti ke kota Maros atau Makassar, untuk bekerja kasar, menjadi sopir atau montir. Selain bekerja, ada juga kaum muda Maros yang merantau untuk melanjutkan sekolah dan kuliah.
Menjadi wirausaha
Banyak orang muda juga yang mencoba peruntungan membuka usaha sendiri atau wirausaha, misalnya membuka bengkel kecil-kecilan, kedai pakaian, jualan ‘online’, atau mengembangkan wisata desa.
“Meskipun cuma usaha kecil, kalau kita bosnya, itu namanya orang sukses,” ujar seorang wirausahawan muda desa.
Merancang masa depan
Anak-anak muda pedesaan di Indonesia bukan pemalas atau enggan sekolah tinggi, tetapi kondisi sosial dan ekonomi sering membatasi pilihan mereka. Misalnya, mereka menghadapi masalah dengan akses terhadap lahan atau keterbatasan biaya untuk kuliah.
Namun, di tengah berbagai keterbatasan, mereka terus menyalakan harapan dan beradaptasi dengan realita.
Mereka tidak pasif. Kaum muda di Maros menunjukkan mereka berusaha mengejar masa depan yang lebih baik—entah itu dengan merantau atau berwirausaha.
Harapan orang muda desa di Sulawesi Selatan menyampaikan satu pelajaran penting: pembangunan desa tidak cukup hanya berupa infrastruktur. Kita perlu memahami bagaimana orang muda memaknai masa depan dan mendukung pilihan mereka—termasuk bagi yang memilih ingin tetap tinggal di desa.
Mungkin Indonesia bisa mendorong kaum muda untuk kembali atau tetap tinggal di daerah pedesaan sebagai bagian dari kebijakan revitalisasi pedesaan. Bersamaan dengan itu, pemerintah tentu juga harus meningkatkan pendidikan, kesempatan kerja, dan layanan sosial di daerah pedesaan agar lebih menarik bagi kaum muda.
Penelitian kami menunjukkan bahwa kaum muda masih tertarik untuk bertani. Namun, mereka membutuhkan akses terhadap lahan pertanian dan modal yang memadai.
Jika kita sungguh ingin menjadikan desa sebagai tempat hidup yang layak, pemerintah harus memfasilitasinya. Sesungguhnya suara dan harapan masa depan mereka layak didengar—bukan dikasihani.
Dr Christina Griffin, Research fellow, Crawford School of Public Policy, Australian National University; Muhammad Alif K. Sahide, Ketua Forest and Society Research Group of Universitas Hasanuddin, Universitas Hasanuddin; Nurhady Sirimorok, Associate Editor-in-Chief, Forest and Society, Universitas Hasanuddin, dan Wolfram Dressler, Senior Fellow, Development Geography, The University of Melbourne
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

You must be logged in to post a comment Login