Connect with us

SULUT

Setelah erupsi Gunung Api Ruang, perempuan penyintas jalani hari di tengah trauma dan kehilangan

Published

on

PANTAU24.COM – Di balik deretan angka pengungsi dan catatan kerusakan akibat erupsi Gunung Api Ruang  tahun 2024 di Kabupaten Sitaro, Sulawesi Utara, tersimpan kisah pilu perempuan-perempuan yang kehilangan segalanya.

Mereka bukan hanya kehilangan rumah dan harta, tetapi juga ruang hidup, keamanan, dan kenyamanan yang selama ini mereka bangun sedikit demi sedikit.

Salah satunya Marlina Mahagia (56), warga Desa Pumpente, Kecamatan Tagulandang.

Saat Gunung Api Ruang meletus kala itu, ia harus menghadapi malam paling kelam dalam hidupnya, berjuang menyelamatkan keluarganya, termasuk seorang anggota keluarga penyandang disabilitas.

Saat ditemui di Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Sagerat, Bitung, tempat para penyintas kini mengungsi, Marlina masih sulit menyembunyikan trauma yang membekas.

“Letusan pertama itu, kami lari sudah tak tahu arah. Kami lari bersama keluarga. Saat itu saya lebih fokus menyelamatkan satu orang keluarga saya yang cacat, dia tak bisa berjalan,” ungkap Marlina, Senin (26/5/2025).

Ia mengisahkan bagaimana dirinya hampir tenggelam saat berebut tempat di atas kapal dalam kondisi malam yang gelap dan penuh kepanikan.

“Saat naik ke atas kapal, saya terjatuh ke laut karena berdesakan dengan orang lain yang juga ingin naik ke kapal,” ujarnya dengan suara bergetar.

Meski selamat dari peristiwa tersebut, beban kehilangan tak kalah menyakitkan.

Marlina dan keluarganya hanya bisa kembali ke desanya dua minggu pasca-letusan, ketika status sudah dinyatakan aman.

“Letusan pertama sampai ketiga kami masih dalam pelarian. Setelah dinyatakan aman dalam waktu dua minggu pasca letusan, kami diizinkan pergi melihat apa yang tersisa di kampung,” katanya.

Namun kenyataan yang ditemui di kampung halaman jauh lebih pahit.

“Sesampainya di sana, kami tak bisa lagi melihat apa pun. Entah dicari, digali di mana. Ternyata kami tiba di sana berjalan di atas atap rumah. Yang tersisa hanya pakaian di badan kami,” tutur Marlina dengan suara tersedak sembari menghapus air matanya.

Cerita serupa disampaikan Heni Burila (51), perempuan asal Desa Laingpatehi.

Ia dan keluarganya selamat karena sudah berada di tempat pengungsian saat letusan ketiga terjadi.

Namun itu tidak membuat duka kehilangan rumah dan kenangan menjadi lebih ringan.

“Nanti letusan ketiga, kami sudah ada di tempat pengungsian,” ujar Heni.

Dengan mata yang memerah, ia mengaku tak sanggup menggambarkan kondisi rumahnya yang kini tinggal puing.

“Sudah tak dapat dilukiskan lagi, Pak. Mungkin hanya air mata yang bisa menjelaskan. Semuanya habis, rata. Sudah tidak ada apa-apa lagi,” kata Heni.

Para perempuan penyintas seperti Marlina dan Heni kini hidup di pengungsian tanpa kepastian kapan bisa kembali ke rumah atau membangun kembali kehidupan mereka.

Mereka bukan hanya kehilangan tempat tinggal, tetapi juga rutinitas, relasi sosial, dan rasa aman yang selama ini menopang kehidupan sebagai ibu, pengasuh, dan tulang punggung keluarga.

Di tengah keterbatasan logistik dan fasilitas di pengungsian, kondisi psikologis menjadi tantangan besar bagi para perempuan korban letusan Gunung Ruang.

Mereka membutuhkan lebih dari sekadar tempat berteduh. Mereka butuh pemulihan, pengakuan, dan perhatian serius dari pemerintah dan lembaga kemanusiaan agar bisa bangkit kembali.


Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply