SULUT
Pasar Bersehati Manado, tempat hidup banyak pedagang yang kini diuji perubahan zaman

PANTAU24.COM – Pasar Bersehati yang terletak di Jalan Nusantara, Kecamatan Wenang, Kota Manado, merupakan salah satu pasar tradisional terbesar dan tertua di Sulawesi Utara.
Didirikan pada tahun 1973, pasar ini menjadi pusat aktivitas ekonomi yang menghidupi banyak pedagang dari berbagai latar belakang etnis, tak hanya dari Manado, tetapi juga dari daerah-daerah sekitar seperti Minahasa, Bitung, bahkan hingga Gorontalo.
Namun di balik namanya yang besar, Pasar Bersehati juga menyimpan kisah perjuangan para pedagang yang menggantungkan hidupnya di sana.
Salah satunya adalah Nurdin, pedagang telur ayam yang telah berjualan di pasar ini sejak tahun 2000.
Nurdin, yang berasal dari Gorontalo, memutuskan merantau dan menetap di Manado setelah menikah.
Ia mulai berjualan telur dengan membantu keluarga istrinya yang lebih dulu berjualan di Pasar Bersehati.
“Dihitung-hitung sudah 25 tahun saya di pasar ini. Pertama datang ke sini setelah menikah. Awalnya cuma bantu-bantu keluarga istri yang sudah jualan di sini,” ujar Nurdin.
Saat ditanya soal perbedaan kondisi berdagang dahulu dan sekarang, Nurdin mengaku perubahan yang terjadi sangat besar dan terasa.
“Jauh sekali bedanya. Dulu kalau mau kredit mobil masih bisa. Sekarang beli sepeda saja susah dari hasil jualan telur,” ungkapnya sambil tersenyum pahit.
Menurutnya, perubahan ekonomi sangat dipengaruhi oleh kebijakan dari masa ke masa, baik di tingkat nasional maupun daerah.
Ia mengaku mulai merasakan tekanan ekonomi sejak masa kepemimpinan setelah era Presiden SBY.
“Waktu Pak SBY masih mending, ekonomi jalan. Begitu masuk era Pak Jokowi, banyak peraturan dan kondisi makin berat. Sekarang di era Prabowo, tambah sulit. Belum lagi aturan-aturan pemerintah daerah soal pasar yang makin bikin pedagang bingung,” jelas Nurdin.
Ia menyoroti adanya perubahan fasilitas pasar, seperti pemasangan palang pintu yang justru menurutnya menghambat minat pembeli.
“Dulu di pasar lama tidak ada palang pintu seperti sekarang. Sekarang pembeli jadi mikir-mikir kalau mau masuk pasar,” tambahnya.
Selain itu, ia juga mengeluhkan soal ketersediaan stok yang membuat harga telur tidak stabil.
“Saat ini harga telur masih mahal karena stok di kandang kurang. Harganya berubah-ubah. Hari ini Rp50 ribu per bak, besok bisa naik jadi Rp55 ribu, lalu turun lagi jadi Rp53 ribu atau Rp52 ribu, nanti naik lagi. Tidak pasti,” ujarnya.
Namun di tengah berbagai tantangan itu, Nurdin tetap bersyukur. Ia yakin bahwa selama stok tersedia dan pembeli tetap ada, usaha jualan telur tetap bisa bertahan.
“Penjual telur itu sebenarnya jarang rugi. Meski untung cuma Rp2.000–Rp5.000 per bak, tapi kalau pembeli lancar dan stok ada, kita masih bisa bertahan,” katanya.
Ia menutup perbincangan dengan harapan sederhana.
“Sekarang saya hanya berharap pada langganan-langganan yang masih setia. Kalau bukan karena mereka, mungkin saya sudah berhenti jualan,” pungkas Nurdin.

You must be logged in to post a comment Login