Connect with us

SULUT

Dugaan peserta bodong dan sorotan terhadap praktik nepotisme

Published

on

Kisruh PPPK Bolmong: Dugaan peserta bodong dan sorotan terhadap praktik nepotisme

PANTAU24.COM – Polemik seputar dugaan “peserta bodong” dalam seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong) makin ramai diperbincangkan.

Diskusi publik bertajuk “Kisruh PPPK Bolmong: Dari Bodong hingga Saling Todong” yang digelar di Galazka Café, Sabtu (10/5/2025), dan disiarkan live melalui akun Facebook Satria Totabuan menjadi ruang terbuka bagi publik untuk menggugat akuntabilitas birokrasi.

Dalam forum tersebut, Rivai Mokoagow, salah satu birokrat Pemkab Bolmong, menekankan pentingnya tanggung jawab struktural dalam proses seleksi PPPK.

Menurutnya, meskipun tahapan normatif dilaksanakan di tiap SKPD, dugaan pelanggaran seperti munculnya peserta tidak memenuhi syarat harus menjadi perhatian seluruh jajaran.

“Misalnya di sekolah, ada kepala sekolah. Ia harus bertanggung jawab memastikan peserta seleksi benar-benar sudah dua tahun mengabdi,” kata Rivai.

Ia menjelaskan bahwa validasi dilakukan secara teknis di masing-masing instansi, dengan dukungan aplikasi pendataan.

“Di pendidikan, misalnya, ada Dapodik. Semua guru terekam di situ. Kepala sekolah tinggal memastikan dan memberikan pernyataan jika peserta benar-benar aktif sesuai syarat,” ujarnya.

Rivai juga menyatakan bahwa semua pihak harus menyadari tanggung jawabnya terhadap harapan masyarakat.

Ia menambahkan bahwa pernyataannya dalam forum tidak mewakili Pemkab Bolmong secara resmi.

“Saya hadir bukan sebagai representasi pemerintah, tapi sebagai bagian dari sistem yang juga merasakan tekanan publik. Ini jadi tekanan bagi kami juga sebenarnya,” ungkapnya.

Sementara itu, sebagai aktivis, Abdul Nasir Ganggai menyoroti adanya potensi praktik nepotisme dalam proses seleksi PPPK.

Menurutnya, harapan masyarakat agar anak-anak mereka bisa diangkat sebagai ASN terancam oleh sistem birokrasi yang tidak transparan.

“Kalau sistemnya bisa diloloskan dengan titipan, bagaimana dengan anak-anak yang berkualitas tapi tidak punya akses?” ujar Nasir.

Ia menekankan perlunya mekanisme check and balance dalam sistem pemerintahan. “Pemerintah perlu quality control. Tanpa itu, birokrasi tak seimbang,” tambahnya.

Ia juga mengkritik sikap Badan Kepegawaian, Pendidikan, dan Pelatihan (BKPP) Bolmong yang dinilainya lambat dalam melakukan mitigasi.

“BKPP harusnya sejak awal identifikasi SKPD yang berpotensi ‘bermain’. Ini amanat Undang-undang, kalau tidak salah Nomor 4 Tahun 2014, syaratnya jelas: dua tahun mengabdi,” kata Nasir.

Menurutnya, kejujuran birokrasi hanya muncul ketika persoalan ini sudah terungkap.

“Kalau tidak mencuat, BKPP diam saja. Tapi ketika ketahuan, baru muncul pengakuan soal titipan. Itu yang sangat saya sesalkan,” tegasnya.

Nasir menyebut persoalan ini sebagai kejahatan sosial yang sistemik dan harus segera diselesaikan agar tidak menjadi budaya turun-temurun.

Ia juga mengingatkan bahwa isu ini bukan hanya soal administrasi, melainkan integritas dan keadilan dalam sistem perekrutan ASN.

Diskusi ini mencerminkan keresahan masyarakat terhadap sistem rekrutmen aparatur sipil yang dinilai mulai kehilangan kredibilitas. Publik menanti langkah tegas dari pemerintah daerah dan lembaga legislatif untuk menyelesaikan persoalan yang telah mencoreng kepercayaan publik ini.


Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply