Editor's Pick
Sekadar trendi atau benar-benar berkelanjutan?

Oleh: Puty Febriasari, Universitas Panca Bhakti; Anggraeni Pranandari, Universitas Gadjah Mada , dan Thea Geneveva Josephine Jesajas, Universitas Panca Bhakti
PANTAU24.COM – Pascapandemi COVID-19, tren thrifting (membeli pakaian bekas) semakin populer di kalangan Gen Z di Indonesia. Kaum muda memilih pakaian bekas bukan hanya karena harganya lebih terjangkau, tetapi juga karena alasan lingkungan dan gaya unik yang ditawarkan oleh produk second-hand.
Namun, apakah thrifting benar-benar mencerminkan kesadaran atas fesyen berkelanjutan, atau sekadar tren sesaat?
Sebagai peneliti di bidang perilaku konsumen, kami melakukan penelitian pada tahun 2024 terhadap 345 responden berusia 18-25 tahun dari berbagai kota besar di Indonesia, seperti Yogyakarta, Solo, Surabaya, dan Jakarta. Kami ingin memahami bagaimana Gen Z memandang dan mempraktikkan fesyen berkelanjutan.
Hasilnya, meskipun ada kesadaran lingkungan yang meningkat, faktor utama yang mendorong Gen Z untuk memilih thrifting masih berkaitan dengan harga dan tren.
Kesadaran lingkungan vs gaya hidup
Industri fesyen, terutama fast fashion, telah lama dikritik karena dampaknya terhadap lingkungan. Beberapa merek fashion global seperti H&M, Zara, dan Uniqlo bahkan diduga mengeksploitasi pekerja dan melakukan greenwashing—membuat pernyataan palsu yang menyesatkan tentang manfaat lingkungan dari suatu produk.
Untuk mengatasi persoalan limbah tekstil dan konsumsi berlebihan, thrifting sering dianggap sebagai solusi. Dengan membeli pakaian bekas, konsumen dapat memperpanjang umur pakaian dan mengurangi permintaan produksi baru.
Namun, penelitian kami menunjukkan bahwa tidak semua pembeli pakaian bekas benar-benar memahami dan memedulikan aspek keberlanjutan ini.
Sebagian besar kaum muda, khususnya Gen Z, membeli pakaian bekas bukan semata-mata karena peduli lingkungan, melainkan karena pertimbangan estetika—seperti mencari busana vintage—dan harga yang terjangkau.
Artinya, meskipun praktik ini berdampak positif terhadap keberlanjutan lingkungan, motivasi utamanya cenderung karena gaya hidup, bukan kesadaran ekologis.
Gen Z dan fesyen berkelanjutan
Penelitian kami menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti pengetahuan tentang dampak lingkungan, sikap terhadap isu keberlanjutan, serta norma sosial, turut membentuk perilaku berbelanja Gen Z.
Meski demikian, ketiga faktor tersebut belum signifikan dalam memengaruhi keputusan akhir saat membeli pakaian. Sebab, keputusan ini sering kali dipengaruhi oleh harga, ketersediaan produk, dan tren mode terkini.
Banyak responden mengaku tetap memilih produk fast fashion karena lebih mudah diakses dan sesuai dengan gaya mereka. Selain itu, tekanan sosial untuk tampil modis di media sosial juga memperkuat keputusan ini, meskipun bertentangan dengan nilai-nilai keberlanjutan yang mereka pahami.
Hasil survei dan wawancara kami menunjukkan bahwa sebagian besar responden menyadari dampak negatif industri fast fashion terhadap lingkungan. Namun, hanya sebagian kecil dari mereka yang benar-benar secara konsisten menghindari pembelian merek-merek fast fashion.
Seorang narasumber, Adinda (22 tahun), mengungkapkan bahwa,
“Saya tahu bahwa ‘fast fashion’ tidak ramah lingkungan, tetapi sulit mencari alternatif yang harganya terjangkau dan tetap ‘stylish’.”
Sementara itu, beberapa responden lain justru melihat thrifting sebagai solusi yang menarik, baik dari sisi ekonomi maupun keberlanjutan. Rafi (24 tahun) mengatakan,
“Saya mulai ‘thrifting’ karena lebih murah, tetapi lama-lama saya sadar bahwa ini juga cara untuk mengurangi limbah pakaian.”
Menariknya, hasil wawancara mendalam menunjukkan bahwa meskipun thrifting dianggap sebagai pilihan sadar dalam berbelanja, banyak responden masih terbawa pola konsumsi impulsif—membeli barang karena tergoda, bukan karena kebutuhan.
Ini seperti yang disampaikan Dina (21 tahun),
“Saya sering belanja ‘thrift’ karena harganya murah, tapi kadang saya beli terlalu banyak hanya karena barangnya lucu. Padahal, saya belum tentu memakainya.”
Artinya, meskipun thrifting dapat menjadi alternatif konsumsi yang ramah lingkungan, aktivitas ini belum dapat sepenuhnya lepas dari tantangan perilaku konsumtif.
Ketika kebiasaan membeli barang secara impulsif tetap terjadi—bahkan dalam konsep ‘thrifting’—manfaat lingkungan yang diharapkan dapat berkurang atau bahkan tertutupi oleh pola konsumsi yang berlebihan.
Konsumsi fesyen yang bertanggung jawab
Meski thrifting semakin populer, perubahan nyata menuju konsumsi fesyen yang berkelanjutan masih menghadapi banyak tantangan. Penting bagi Gen Z untuk tidak sekadar melihat thrifting sebagai tren estetik saja tetapi juga sebagai langkah nyata mengurangi dampak lingkungan. Ini tentu saja membutuhkan edukasi yang berkelanjutan dan kampanye yang kuat.
Pengusaha fesyen—baik merek internasional maupun lokal—perlu lebih transparan dan bertanggung jawab dalam menjalankan bisnisnya, mulai dari pemilihan bahan hingga proses produksi. Menawarkan pakaian dari material daur ulang atau material yang tahan lama bisa menjadi salah satu solusi.
Salah satu pemanfaatan material daur ulang menjadi produk fashion dapat ditemukan di Recycling Village yang diinisiasi oleh warga Desa Air Nanginan, Provinsi Lampung. Beberapa merek fesyen lokal, seperti Pijak Bumi, Sejauh Mata Memandang, dan Imaji Studio, juga sudah menerapkan konsep berkelanjutan pada produknya.
Aktivitas berkelanjutan tersebut tidak hanya bermanfaat langsung terhadap kondisi lingkungan, tetapi juga memberikan nilai tambah pada produk-produk yang dipasarkan.
Lebih jauh lagi, konsumen dapat berkontribusi dengan membeli lebih sedikit, memilih bahan yang tahan lama, serta mendukung aktivitas fesyen berkelanjutan.
Pada akhirnya, fesyen berkelanjutan tidak hanya terkait dengan pilihan belanja, tetapi juga menyangkut cara pandang terhadap pakaian yang dimiliki. Jika Gen Z ingin menjadi agen perubahan, mereka perlu melampaui tren sesaat dan mulai menjadikan fesyen sebagai upaya sadar untuk menciptakan dampak positif jangka panjang bagi lingkungan.
Puty Febriasari, Dosen Program Studi Manajemen FEB UPB, Universitas Panca Bhakti; Anggraeni Pranandari, Dosen Departemen Manajemen FEB UGM, Universitas Gadjah Mada , dan Thea Geneveva Josephine Jesajas, Dosen, Universitas Panca Bhakti
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

You must be logged in to post a comment Login