Connect with us

Editor's Pick

Pesan ‘hijau’ Paus Fransiskus yang harus digaungkan selamanya

Published

on

paus

Hermina Manlea, The University of Western Australia

● Laudato Si’ berisi seruan moral dan spiritual untuk merawat Bumi

● Paus Fransiskus menyebut krisis iklim adalah cerminan dari krisis moral dan spiritual manusia. Ia menyerukan pertobatan ekologis

● Butuh aksi solidaritas untuk mengubah gaya hidup konsumtif sebagai bentuk tanggung jawab terhadap lingkungan dan keadilan sosial

Pada 24 Mei 2015 lalu, Paus Fransiskus menandatangani ensiklik Laudato Si’—yang berarti “Terpujilah Engkau” dalam bahasa Italia Tengah. Ensiklik itu diberi judul: “On the care for our common home” atau “Tentang merawat rumah kita bersama”.

Surat edaran Paus kepada para uskup Katolik Roma ini bukan sekadar pernyataan biasa: isinya seruan mendalam untuk mengubah gaya hidup demi Bumi dan keadilan sosial.

Dalam ensiklik ini, Paus Fransiskus menegaskan bahwa krisis iklim adalah cermin dari krisis moral dan spiritual.

[…]“Tidak akan ada pembaharuan hubungan kita dengan alam tanpa pembaharuan kemanusiaan itu sendiri. Tidak akan ada ekologi tanpa antropologi yang layak […].” (§-118)

Ia mengingatkan bahwa dampak pemanasan global sudah semakin parah:

“Pemanasan berdampak pada siklus karbon. Ini menciptakan lingkaran setan yang memperburuk keadaan, memengaruhi ketersediaan sumber daya esensial seperti air bersih, energi, dan produksi pertanian di wilayah-wilayah yang lebih hangat, serta menyebabkan punahnya sebagian keanekaragaman hayati di planet ini.” (§-24)

Oleh karenanya, Paus mengkritik gaya hidup konsumtif dan pembangunan tidak terkendali yang menyebabkan kerusakan lingkungan serta ketidakadilan sosial, terutama terhadap kaum miskin yang paling terdampak oleh krisis lingkungan.

Paus mengajak umat Katolik untuk melakukan pertobatan ekologis demi kemaslahatan alam dan seluruh umat manusia.

[…] krisis ekologi merupakan panggilan untuk melakukan pertobatan batin yang mendalam.” (§-217)

Kini, Paus Fransiskus telah wafat, tapi Laudato Si’ yang diserukannya satu dekade silam itu masih sangat relevan bahkan semakin mendesak jika melihat situasi hari ini, termasuk di daerah asal saya, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Menurut data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), wilayah NTT termasuk yang paling rawan bencana hidrometeorologi di Indonesia. Setiap tahun, NTT langganan dilanda bencana dan mengalami dampak nyata perubahan iklim seperti kekeringan dan kelangkaan air bersih.

Meski begitu, kesadaran ekologis warga masih rendah. Di berbagai kota dan desa di NTT, sampah acap dibuang sembarangan, bahkan di lingkungan sekolah, gereja, dan pasar. Eksploitasi alam semakin menjadi. Sebagai daerah mayoritas Katolik dan dipimpin oleh seorang gubernur Katolik, warga NTT sepatutnya membaca kembali dokumen Laudato Si’ dengan lebih saksama, menghayati, dan mengimplementasinya.

Peran gereja, lembaga pendidikan, dan masyarakat adat

Dampak perubahan iklim yang kita rasakan saat ini seharusnya mengetuk nurani untuk melakukan tobat ekologis. Dalam hal ini, gereja memiliki posisi strategis untuk menanamkan nilai-nilai dan tanggung jawab ekologis.

Terinspirasi dari Laudato Si’, para uskup dalam dokumen Gereja Katolik Indonesia terkait krisis iklim mendorong umat untuk menjadikan ekologi sebagai bagian dari spiritualitas harian. Namun pekerjaan rumah besarnya adalah, penerapannya.

Selain itu, pendidikan formal di sekolah dan universitas juga memegang peran penting. Sebagai peneliti dalam bidang pendidikan perubahan iklim di universitas-universitas di NTT, saya melihat perlunya integrasi antara nilai iman dan kesadaran ekologis dalam kurikulum.

Pendidikan harus mempersiapkan generasi muda bukan hanya cerdas secara akademis, tetapi juga bertanggung jawab secara ekologis. Keduanya harus berjalan seiring.

Di sisi lain, masyarakat adat yang terus melestarikan kearifan lokal, seperti menggunakan pewarna alami untuk tenun ikat—seperti akar mengkudu, daun nila, daun tarum, dan kulit kayu—adalah gaya hidup berkelanjutan yang patut dicontoh.

Praktik ini bukan sekadar warisan budaya, melainkan contoh nyata hidup harmonis berdampingan dengan alam.

Butuh gerakan solidaritas

Laudato Si’ adalah ensiklik pertama yang didedikasikan sepenuhnya untuk isu ekologi. Laudato Si’ resmi diterbitkan Vatikan pada 18 Juni 2015, beberapa bulan sebelum Konferensi Iklim Paris (COP21).

Pesan yang dibawa dalam ensiklik ini sangat jelas: perubahan untuk menjawab tantangan krisis iklim butuh aksi solidaritas global. Semua orang bisa berkontribusi sesuai porsinya masing-masing.

[…] Kita membutuhkan sebuah solidaritas yang baru dan universal. […] Kita semua dapat bekerja sama sebagai alat Allah untuk merawat ciptaan, masing-masing sesuai dengan budaya, pengalaman, keterlibatan dan talenta masing-masing. […]“ (§-14)

Laudato Si’ bukan sekadar dokumen gereja, melainkan seruan hidup yang mendesak untuk seluruh umat manusia.

Paus Fransiskus adalah seorang pemimpin Katolik, tetapi warisannya jauh melampaui sekat-sekat agama. Pesan dan ajakannya menyentuh rasa kemanusiaan secara universal—untuk bersama-sama menjaga Bumi: satu-satunya rumah kita.


Hermina Manlea, Researcher in Climate Change Education, The University of Western Australia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply