Connect with us

Editor's Pick

Teror hingga Femisida, hentikan kekerasan tehadap jurnalis perempuan

Published

on

femisida

PANTAU24.COM– Aliansi Jurnalis Independen Indonesia (AJI) mengajak publik melawan segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan karena menjalankan kerja jurnalistik maupun femisida. AJI mendesak polisi bekerja secara profesional mengungkap berbagai kasus kekerasan.

Kekerasan terhadap jurnalis perempuan semakin menguat di tengah situasi politik dengan kepemimpinan yang militeristik dan menjauhi supremasi sipil. Kekerasan teranyar menimpa jurnalis Tempo, Francisca Christy Rosana yang mendapatkan teror pengiriman kepala babi dengan kuping yang dikerat.

Selain teror pengiriman kepala babi, Cica, sapaan akrab Francisca juga mendapatkan serangan digital, yakni doxing atau penyebaran identitas pribadi. Peneror menyerang identitas gendernya sebagai perempuan melalui berbagai umpatan. Ibunda Cica juga mendapatkan serangan digital. Cica merupakan host siniar Bocor Alus Politik Tempo dan kerap menulis berita yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang merugikan kepentingan publik.

Tidak hanya Cica, kekerasan juga menimpa jurnalis perempuan yang meliput demonstrasi menolak Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia di berbagai kota. Unjuk rasa di antaranya berlangsung di Bojonegoro, Malang, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Sukabumi, dan Jakarta. Aparat membubarkan demonstrasi menggunakan water cannon, mengejar pengunjuk rasa, menangkap, memukuli, dan melontarkan kata-kata yang bernada pelecehan seksual. Di Sukabumi, jurnalis perempuan dari Detik.com mendapatkan kekerasan dan di Malang, seorang jurnalis pers kampus mengalami pelecehan seksual secara verbal.

Serangan terhadap jurnalis juga menyasar mereka karena identitas gendernya. Di Banjar Baru, Kalimantan Selatan, jurnalis Newsway.co.id, Juwita diduga dibunuh tentara Angkatan Laut. Motif pembunuhan belum terungkap. Kematian Juwita menggambarkan meningkatnya femisida yakni pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Nany Afrida mengatakan jurnalis perempuan sering menjadi target serangan dan intimidasi, terutama saat meliput isu-isu sensitif seperti konflik, kekerasan seksual, dan hak-hak perempuan. Sebagian orang kerap mengabaikan ancaman terhadap jurnalis perempuan, misalnya dalam bentuk pelecehan seksual maupun serangan digital berhubungan dengan identitas gender.

Sebagian menganggap pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan sebagai hal yang biasa atau sekadar risiko pekerjaan, terutama dalam dunia jurnalistik yang masih dominan dengan maskulinitas. Akibatnya, ancaman terhadap jurnalis perempuan kurang mendapat perhatian serius.

Mengabaikan kekerasan terhadap jurnalis perempuan tidak hanya memperburuk ketimpangan di dunia media massa, tetapi juga membahayakan kebebasan pers.

“Perlindungan khusus dan peningkatan kesadaran sangat dibutuhkan agar jurnalis perempuan dapat bekerja dengan aman dan tetap menyuarakan isu-isu penting tanpa rasa takut,” kata Nany.

Ketua Bidang Gender, Anak, dan Kelompok Marjinal AJI Indonesia, Shinta Maharani mengatakan jurnalis perempuan lebih rentan mengalami kekerasan karena konstruksi budaya patriarki yang memandang perempuan lebih lemah dan rendah ketimbang laki-laki. Budaya patriarki, sumber penindasan paling purba terhadap perempuan tumbuh subur di negara yang pemimpinnya tidak menghormati kebebasan sipil, demokrasi, keadilan gender, dan hak asasi manusia.

Pelaku kekerasan ikut serta melanggengkan konstruksi tersebut karena buruknya penanganan kasus oleh polisi. Budaya impunitas atas kejahatan terhadap jurnalis perempuan menjadikan kasus kekerasan terus berulang. Berdasarkan data Komite Keselamatan Jurnalis, hanya sedikit kasus kekerasan yang ditangani polisi hingga ke pengadilan. Sebagian besar kasusnya macet. Kekerasan terhadap jurnalis perempuan bentuknya bermacam-macam, misalnya teror, intimidasi, kekerasan fisik, kekerasan seksual, kekerasan dalam bentuk online atau daring.

Data yang dihimpun Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Indonesia menunjukkan sebanyak tujuh jurnalis perempuan menjadi korban dari total 73 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2024. Adapun, sepanjang Januari hingga Maret 2025 terdapat lima jurnalis dari 23 kasus kekerasan.

Pada 2024 mayoritas pelaku kekerasan merupakan polisi sebanyak 19 kasus, 11 kasus oleh TNI, 11 kasus warga, sepuluh kasus orang tak dikenal, lima kasus pebisnis perusahaan, empat kasus aparat pemerintahan, empat pekerja profesional, tiga dari organisasi masyarakat, dua pejabat legislatif, satu akademikus, dan satu satu pejabat pengadilan.

Sementara itu, pada Januari hingga Maret 2025, pelaku kekerasan terdiri dari delapan orang tak dikenal, tiga polisi, dua petugas Satuan Polisi Pamong Praja, dua aparat pemerintah, satu warga, satu TNI, satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, satu pebisnis perusahaan, satu pekerja profesional, dan satu pejabat pengadilan. (Datanya dapat dilihat di sini: https://advokasi.aji.or.id/)

Kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan juga tergambar dari hasil riset AJI dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pada 2022. Sebanyak 82 persen jurnalis perempuan pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang mereka menjalankan kerja jurnalistik.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, jaringan AJI Indonesia mengecam berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Berbagai serangan itu menambah daftar jumlah kasus intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis, khususnya jurnalis perempuan karena aktivisme untuk memastikan pemenuhan hak konstitusional warga atas informasi, yang sangat penting dalam memastikan kehidupan bernegara yang demokratis.

Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan Andy Yentriyani mengatakan polisi wajib menangani berbagai kasus kekerasan terhadap jurnalis perempuan secara menyeluruh untuk memastikan pertanggungjawaban pelaku sebagai bagian untuk mencegah peristiwa serupa berulang. Investigasi polisi penting agar publik mendapatkan akuntabilitas penanganan teror dan tidak terjadi impunitas.

“Jika polisi membiarkan intimidasi berulang, maka akan semakin melemahkan kredibilitas institusi tersebut di mata publik,” kata Andy.

Komisioner Komnas Perempuan Theresia Sri Endras Iswarini menjelaskan perempuan pembela HAM merupakan setiap orang yakni perempuan, laki-laki, dan ragam identitas gender lainnya yang berjuang untuk penegakan dan pemajuan hak asasi perempuan. Komnas Perempuan memasukkan jurnalis berperan memajukan hak asasi perempuan.

“Setiap jurnalis berhak bebas dari ancaman, diskriminasi, kekerasan dalam menjalankan kerja jurnalistik,” kata Theresia. 

Dia menyebutkan jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan pembela HAM dalam dua tahun terakhir meningkat, yakni dari tiga kasus pada 2023 naik menjadi sembilan kasus pada 2024. Ada dua jurnalis perempuan yang mengalami kekerasan.

AJI Indonesia mengajak publik tidak menormalisasi dan menoleransi berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan demi kehidupan yang lebih beradab. Untuk menghentikan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan, polisi harus bekerja secara profesional mengusut kasus hingga pelaku mendapatkan hukuman. Komitmen dan profesionalitas polisi penting untuk menunjukkan bahwa mereka punya integritas.

Teror, intimidasi, dan femisida merupakan serangan terhadap kebebasan pers, kebebasan berekspresi, membunuh demokrasi, dan merusak kemanusiaan. Pejabat pemerintah tak boleh mengabaikan kekerasan terhadap jurnalis perempuan dengan komentar bernada meremehkan karena akan membuat budaya kekerasan menjadi awet. AJI Indonesia juga mendesak Dewan Pers untuk menurunkan Satuan Tugas Anti-Kekerasan bila kekerasan berhubungan dengan kerja jurnalistik.

Kantor media massa, tempat jurnalis perempuan bekerja harus memastikan perlindungan terhadap jurnalisnya, termasuk memiliki prosedur operasional standar atau SOP ketika jurnalisnya mengalami kekerasan. SOP itu misalnya menyangkut mitigasi kekerasan dan pemulihan kondisi psikologis jurnalis perempuan.

Selain itu, publik perlu terus memperkuat solidaritas dan aliansi bersama secara nasional dan global untuk melawan berbagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan. Solidaritas bisa datang dari jurnalis, organisasi profesi jurnalis, organisasi masyarakat sipil, akademisi, seniman, dan pegiat hak asasi manusia.


Catatan: Jika membutuhkan hotline penanganan kekerasan seksual jurnalis, jurnalis bisa mengakses tautan berikut: bit.ly/hotlinekekerasanseksualAJI

Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply