Editor's Pick
Bendungan Lolak hancurkan harapan perempuan Desa Pindol
Pembangunan Bendungan Lolak yang seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat justru menimbulkan penderitaan bagi perempuan-perempuan di Desa Pindol. Mereka kehilangan ruang hidup dan mata pencaharian tanpa mendapat ganti rugi yang adil. Dampak ini membuat kehidupan perempuan desa terpuruk secara ekonomi dan sosial, sementara aspirasi dan hak mereka terabaikan dalam proses pembangunan yang diklaim sebagai proyek strategis nasional.
Tangan Selvince Matihor (52) terlihat bergetar saat mengusap air mata. Setelah dua tahun berlalu, ia masih belum bisa lupa bagaimana rumahnya, yang terletak di Desa Pindol, Kecamatan Lolak, Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, dihancurkan, karena terdampak Proyek Strategis Nasional (PSN) Bendungan Lolak.
Kala itu, Rabu, 12 Januari 2022, Selvince yang sedang berada di warung samping rumah, tak bisa berbuat banyak. Jumlah aparat lebih banyak dari warga. Ia dan suaminya dipaksa keluar dari rumah. Bersama warga desa yang telah berkumpul, ia hanya bisa histeris menyaksikan excavator perlahan-lahan merobohkan bangunan rumah miliknya.
“Kami diperlakukan seperti bukan manusia. Itulah seburuk-buruknya perlakuan yang kami terima,” ucap Selvince, Selasa 10 September 2024.
Pembangunan Bendungan Lolak dan kunjungan Jokowi
Jauh sebelum Selvince terusir dari rumahnya sendiri, pada tahun 2006 Satuan Kerja Balai Sungai Sulawesi I melakukan studi kelayakan untuk pembangunan Bendungan Lolak. Selanjutnya, pada tahun 2007 dilakukan studi detail desain pembangunannya, serta pada tahun 2008 melaksanakan analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL). Bendungan Lolak dalam perencanaan dibangun dengan tinggi (plus min) 58 meter dengan luas genangan (plus min) 97 hektar.
Dokumen AMDAL ini telah diperkuat melalui Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan (SKKL) atau yang sekarang dikenal dengan Izin Lingkungan oleh Gubernur Provinsi Sulawesi Utara Nomor 42 Tahun 2009. Sejak tahun 2013 kegiatan pengadaan tanah dalam hal ini pembebasan lahan pun dimulai, diikuti pembangunan fisik bendungan pada tahun 2015. Governance-E-Journal UNSRAT mencatat luas lahan yang digunakan untuk pembangunan Bendungan Lolak adalah 300 hektar.
Data dari dokumen Adendum ANDAL Bendungan Lolak Tahun 2016, total lahan yang akan dibebaskan seluas lebih kurang 338,99 hektar. Dari total luas ini, pembebasan tahap awal seluas 83 hektar dan tambahan 255,99 hektar, dibebaskan karena ada perubahan desain bendungan. Namun warga di Desa Pindol mengklaim masih ada kurang lebih 200 hektar lahan yang belum dibebaskan.
“Masih banyak yang lahannya tidak diganti rugi, ada sekitar 200-an hektar. Itu ada yang memang sudah tenggelam di areal inti bendungan, ada yang tanam tumbuh di HPT, dan ada pula yang ganti ruginya belum dibayar lunas. Seperti saya, sebagian sudah dibayar, namun lahan saya masih ada dua hektar lagi yang katanya menyusul atau bertahap. Nyatanya hingga sekarang tidak dibayarkan,” aku Ajis Paputungan, salah satu warga Desa Pindol saat ditemui PANTAU24.com, Senin (2/9/2024).
Polemik pembebasan lahan tak membuat pemerintah menghentikan proyek pembangunan. Tanggal 23 Februari 2024, Bendungan Lolak diresmikan secara langsung oleh Presiden Joko Widodo, setahun setelah selesai dibangun menunggu debit air cukup.
Saat peresmian Presiden Joko Widodo mengatakan, bahwa Bendungan Lolak tidak hanya menjadi solusi lokal mengatasi kekurangan air dan pengendalian banjir, tetapi juga sebagai model pengelolaan sumber daya air yang efisien bagi Indonesia.
“Ke depan, urusan air, urusan energi akan menjadi sebuah persoalan besar kalau kita tidak siapkan sekarang, kalau kita tidak kelola mulai dari sekarang. Kita memiliki 4.400-an sungai, tetapi kita baru memiliki 292 bendungan. Sebagai ilustrasi, China memiliki 98 ribu bendungan, Korea Selatan memiliki kurang lebih 20 ribu bendungan,” ujar Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi juga menjelaskan bahwa pembangunan bendungan dengan kapasitas tampung 16 juta meter kubik ini menghabiskan anggaran sebesar Rp 2,02 triliun. “Tetapi apapun, ini ke depan akan sangat bermanfaat bagi Provinsi Sulawesi Utara, baik untuk pengairan sawah. Tadi saya sampaikan 2.200 hektar yang bisa terairi,” kata Presiden.
Selain mengairi persawahan, bendungan yang dibangun sejak tahun 2015 ini juga bisa menjadi sumber air baku bagi masyarakat dengan kapasitas 500 liter per detik. “Untuk air baku nanti untuk penduduk Bolaang Mongondow dan juga mungkin bisa ditarik ke Manado kalau memang ada kekurangan di sana,” ujarnya.
Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey saat hadir meresmikan pengisian air pertama kali Bendungan Lolak, pada Agustus 2023 mengatakan, bahwa dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan nasional, Pemerintah Indonesia telah melaksanakan serangkaian usaha secara terus menerus yang dititik-beratkan pada sektor pertanian, berupa pembangunan di bidang pertanian sesuai program presiden Joko Widodo.
Menurut Olly kehadiran bendungan di Desa Pindol sangat bermanfaat bagi masyarakat Bolmong, sebab penyediaan untuk air irigasi bisa memenuhi lahan seluas 2.214 hektar. Menurutnya, bendungan ini juga bisa menambah kebutuhan pembangkit listrik dari aliran air dengan potensi listrik sebesar 2.43 MW. Manfaat lainnya juga sebagai pengendali banjir serta yang dapat mereduksi debit banjir 29,42%.
“Wilayah Bendungan Lolak ini akan menjadi destinasi wisata baru di daerah Bolaang Mongondow. Belum lagi adanya taman kebun buah untuk lahan ex borrow yang akan menarik perhatian pengunjung ketika mereka melihat kebun buah,” kata Olly.
Pernyataan tersebut turut diiyakan Pj Bupati Bolmong saat itu, Limi Mokodompit, yang hadir saat peresmian. Limi yang juga sekarang ikut kontestasi Pemilihan Bupati Bolmong, mengatakan bahwa kunjungan kerja Presiden RI jadi sebuah kebanggaan bagi masyarakat Bolmong.
“Kami sangat mengapresiasi dan menyambut baik, serta berharap kedatangan Presiden dapat membawa manfaat bagi masyarakat Kabupaten Bolaang Mongondow. Terima kasih setinggi-tingginya untuk Bapak Presiden RI yang telah meresmikan Bendungan Lolak,” ucap Limi.
Namun pernyataan para pejabat ini, tidak sejalan dengan pengakuan warga di Desa Pindol. Mereka merasa tidak hanya terusir dan tertekan, tapi juga tidak diberi kesempatan untuk sekadar menyampaikan aspirasi tentang perampasan ruang hidup mereka akibat pembangunan bendungan kepada Presiden Jokowi.
“Kami sengaja dibungkam dan dijaga ketat, sudah seperti teroris bahkan lebih. Ke toilet saja kami dijaga. Jadi kedatangan Presiden, yang menurut kebanyakan orang seharusnya membawa kebahagiaan bagi kami warga desa, justru mengubah suasana desa menjadi mencekam,” aku Sumarni Potabuga (60), yang kehilangan lahan. Pengakuan yang sama datang dari beberapa warga lainnya yang ditemui PANTAU24.com.
Warga mempertanyakan manfaat pembangunan bendungan, jika harus merampas ruang hidup mereka.
Hilangnya sumber ekonomi dan ruang hidup
“Saya seperti kehilangan napas. Apalagi saat itu ada bayi di dalam rumah kami. Semuanya berlangsung begitu cepat, kami diperlakukan melebihi teroris, diusir dari tanah dan rumah yang sebenarnya adalah hak milik kami sendiri. Kami tak bisa berbuat apa-apa,” cerita Selvince dengan air mata berurai.
Saban hari, oleh suaminya, Haryono Paputungan (62), Selvince ditenangkan dan dikuatkan. Kini meski dengan segala keterbatasan, mereka kembali membangun rumah baru di ujung kampung. Namun, ketiadaan air bersih dan akses listrik membuat mereka semakin termarjinalkan. Apalagi, jarak rumah baru mereka, dengan lokasi pemukiman di desa cukup jauh.
Lain Selvince, Lain pula Sumarni Potabuga. Perempuan paruh baya ini menderita karena kehilangan lahan perkebunan. Proyek yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, justru menimbulkan dampak buruk bagi Sumarni dan petani lainnya. Lahan perkebunan yang ia kelola bersama almarhum suaminya selama puluhan tahun, kini telah tergenang air.
Kehilangan lahan membuat Sumarni tidak berdaya, sebab lahan tersebut adalah satu-satunya sumber penghidupan Sumarni. Terlebih, hingga saat ini, meski Bendungan Lolak sudah diresmikan, dan Presiden berganti, ia sama sekali belum menerima ganti rugi atas lahan yang hilang.
“Saya kecewa dengan Pemerintah, termasuk Presiden Jokowi. Hari-hari saya menjadi sangat berat. Saya kesulitan memenuhi kebutuhan untuk sekadar bertahan hidup,” ungkap Sumarni dengan berderai air mata, Selasa (17/9/2024).
Sumarni kini meminjam lahan kebun untuk ia olah. Sayangnya, usia yang tidak lagi muda membuat Sumarni kian terpuruk. Ia terusir dari ruang hidupnya jutsru di usia tua. “Capek, tangan saya sering sakit sekali. Kadang saya kesulitan berjalan, apalagi lahan yang saya pinjam itu ada di atas bukit. Namun apalah daya, saya harus mengolah lagi dari awal,” keluh Sumarni.
Dalam ketidakberdayaannya, Sumarni hanya bisa menggantungkan harapannya kepada keadilan Tuhan. “Saya percaya keadilan Allah SWT, pasti Allah akan membalas perbuatan pemimpin yang zalim,” ucapnya penuh keyakinan.
Tak hanya Sumarni, Narjiah Damogalad (57), juga mengeluhkan hal serupa. Kesulitan semakin ia rasakan setelah Bendungan Lolak merenggut lahan perkebunan yang telah digarap oleh suaminya puluhan tahun lalu.
“Memang, sebelum menikah dengan saya, lahan itu sudah digarap suami. Kemudian, setelah menikah di sanalah kami mencari hidup, berkebun bersama, termasuk dengan anak-anak,” ucap Narjiah, yang ditemani anaknya Rizky Damonggalad, Senin, (2/9/2024).
Tidak jauh dari rumah Narjiah, tetangganya, Diana Mokoagow (52), sebagai istri dan ibu juga mengaku turut merasakan dampak buruk pembangunan bendungan. Padahal, perempuan seperti Diana memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan ekonomi keluarga, terutama ketika sumber utama penghidupan, yakni kebun mereka hilang akibat bendungan.
“Kalau dulu masih ada kebun, kebutuhan sehari-hari masih tercukupi. Tapi setelah kebun kami hilang, kami kesulitan memenuhi kebutuhan ekonomi. Apalagi kalau suami sakit,” ujar Diana.
Hilangnya kebun mempengaruhi situasi ekonomi keluarga. Sebagai seorang istri yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rumah tangga, Diana kini harus mencari cara lain untuk bertahan hidup. Bersama suaminya, Ustad Paputungan, ia mencoba mobajet atau mendulang emas di sungai desa tetangga, Desa Totabuan. Namun, hasil dari pekerjaan tersebut sangat tidak menentu.
“Sungainya dekat rumah, kami mendulang emas agar ada uang. Tapi kadang ada hasil, kadang tidak ada. Sering kami pulang dengan tangan kosong,” keluh Diana.
Kehadiran bendungan yang seharusnya membawa kemakmuran bagi warga sekitar, justru menjadi sumber masalah bagi Diana dan keluarganya. Ketidakpastian ini memaksa mereka untuk bergantung pada pekerjaan tidak tetap. Diana menyadari bahwa perempuan di desanya, terutama yang terdampak langsung oleh proyek tersebut, semakin terpinggirkan.
Menanggapi situasi warganya, terutama kaum perempuan yang terdampak bendungan, Kepala Desa Pindol, Muslim Paputungan, mengatakan tidak dapat berbuat banyak. Meski selama ini ia terus berusaha mendorong perempuan di desa untuk berkembang dan berdaya.
“Sebagai pemerintah saya sudah berusaha, namun saya itu harus taat aturan. Saya punya atasan. Ketika saya mengeluhkan kondisi masyarakat ini, pasti yang di kabupaten, mereka akan bilang di atas mereka, masih ada pemerintah yang lebih tinggi lagi,” kata Muslim, Selasa, (17/9/2024) saat ditemui di Kantor Desa Pindol.
Kendati demikian, Muslim mengaku berusaha membuat program yang berpihak pada pemberdayaan perempuan, yang sekarang ini ada di dalam RPJMDes. “Tapi itu kan tidak bisa serta-merta jalan, karena sumber daya manusia yang kurang. Yang pasti kami berusaha lewat RPJMDes untuk menghadirkan program yang berpihak pada peningkatan perempuan, terutama ekonomi mereka,” ucapnya.
Posisi perempuan dan ketidakadilan berlapis
Koordinator Gerakan Perempuan Sulut (GPS), Ruth Ketsia Wangkai menyayangkan kondisi yang dialami oleh para perempuan di Desa Pindol. Menurutnya, setiap pembangunan, terutama pada skala besar seperti proyek strategi nasional Bendungan Lolak, seharusnya membawa manfaat bagi seluruh masyarakat, khususnya mereka yang berada di sekitar lokasi pembangunan, bukan malah sebaliknya.
“Jangan sampai pembangunan justru membuat para perempuan desa mendapatkan kekerasan berlapis, akibat perampasan ruang hidup. Bukan tidak mungkin, kondisi ini membuat mereka menjadi korban berkali-kali, yang imbasnya membawa efek lain seperti anak putus sekolah dan kekerasan dalam rumah tangga. Padahal sudah kewajiban negara harus memenuhi hak mereka, termasuk hak atas hidup yang layak,” ucap Ruth, Senin, (24/9/2024).
Ruth menegaskan bahwa negara seharusnya berada di garda terdepan dalam memperhatikan pemenuhan hak-hak dan kesejahteraan perempuan di Desa Pindol yang sebagian besar bekerja sebagai petani.
“Jangan sampai justru negara yang merampas tanah, ruang hidup, dan termasuk hak hidup petani perempuan itu sendiri. Hak dari orang-orang yang sebenarnya suara dan perjuangan mereka harus didengar untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia,” tegasnya.
Senada, Didi Koleangan, praktisi hukum yang tergabung dalam Forum Keadilan Agraria Desa Pindol, turut mengecam apa yang dialami warga desa. Menurut Didi, pihaknya memetakan, ada sekitar 53 bagian persoalan yang muncul dalam proses pembangunan PSN Bendungan Lolak.
“Itu belum termasuk dampak buruk yang dirasakan perempuan, yang selama ini memang belum tersentuh atau diangkat ke permukaan. Terlalu banyak persoalan di sana,” kata Didi kepada PANTAU24.com, 2 November 2024.
Kehilangan lahan telah membuat para petani yang sebelumnya hidup sederhana kembali dimiskinkan kehidupannya.
“Yang kami pahami, kalau petani diambil lahannya, maka dia mati. Apalagi dalam kasus Bendungan Lolak, tidak ada opsi relokasi. Makanya kalau perempuan sangat terdampak, ini karena efek domino. Ada kebiasaan petani di sana dalam menggarap lahan, baik suami-istri terlibat aktif, mereka berkerja sama-sama. Jadi kalau lahan mereka dirampas, ada kebiasaan yang hilang, ada persoalan ekonomi di sana, yang bukan tidak mungkin berefek pada kekerasan dalam rumah tangga. Itu baru bicara tataran petani umum, belum bicara soal perempuan petani dengan status single parent atau orangtua tunggal, putusnya mata rantai kehidupan pada akhirnya menjadi persoalan HAM,” jelas Didi.
Saat ini, Didi mengatakan, pihaknya sedang menunggu rekomendasi dari Komnas HAM dan Ombudsman untuk melakukan aduan atas apa yang menjadi derita warga Pindol kepada Presiden RI yang baru. “Kami akan terus menggugat sampai rakyat mendapatkan keadilannya,” tegas Didi.
Sementara itu, Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan, menambahkan bahwa konflik agraria meningkat dalam satu dekade terakhir akibat proses pengadaan, pengukuran, dan pembebasan tanah yang sering kali dipaksakan oleh pemerintah untuk kepentingan investasi proyek-proyek pembangunan infrastruktur, terutama proyek strategis nasional.
Menurut Rizki, penentuan PSN secara sepihak dan tanpa partisipasi rakyat telah membuat proyek-proyek ini “sarat dengan wajah kekerasan dan penggusuran rakyat.” Apalagi, skema PSN mencakup berbagai kategori proyek bisnis, termasuk bisnis pertambangan oleh swasta asing dan sektor energi, yang memperparah eskalasi konflik agraria di berbagai wilayah.
Rizki menjelaskan bahwa, berbagai regulasi yang diterbitkan pasca UUD Cipta Kerja justru mendiskriminasi hak-hak konstitusional masyarakat, sehingga semakin melemahkan posisi petani dan masyarakat adat terkait kepemilikan dan penguasaan tanah yang telah mereka tempati dan kelola selama puluhan tahun, bahkan jauh sebelum kemerdekaan.
“Rakyat khusus kaum tani dan terlebih lagi perempuan petani adalah produsen pangan, stabilisator ekonomi, penjaga peradaban sosial juga budaya. Negara berkewajiban untuk menghormati dan mengakui hak-hak mereka sebagaimana Pasal 33 ayat (3) UUD 1945: Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” jelas Rizki, Rabu, (30/9/2024).
Dalam rumusan tersebut, lanjut Rizki, terkandung kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi, yang bertujuan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat melalui pemanfaatan sumber daya alam yang dikuasai oleh negara. Oleh karena itu, dibuatlah kebijakan nasional di bidang pertanahan dengan tujuan mencapai kemakmuran rakyat, di antaranya melalui redistribusi tanah dan pembatasan pemilikan tanah pertanian agar tidak terpusat pada kelompok tertentu.
Menurut Rizki, apa yang dialami oleh petani, khususnya perempuan petani di Desa Pindol, merupakan cerminan dari ketimpangan kebijakan pembangunan yang cenderung liberal dan bertentangan dengan semangat Reforma Agraria sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, Ketetapan MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA, dan UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA).
“Pengabaian peran negara melalui pergantian rezim adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang nyata atas nasib jutaan rakyat Indonesia,” tegas Rizki.
Pembangunan infrastruktur dan investasi di bidang agraria yang terjadi dalam sepuluh tahun terakhir sebagian besar menyasar lahan-lahan produktif pertanian. Di banyak kasus penggusuran untuk pembangunan infrastruktur, banyak lumbung pangan yang berubah fungsi menjadi bandara, jalan tol, kawasan bisnis, perumahan, dan investasi lainnya.
Fenomena ini tidak hanya memaksa jutaan hektar lahan pertanian produktif yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan petani dan cadangan pangan nasional untuk terus berkurang, tetapi juga membuat produksi pangan nasional, terutama beras, semakin defisit di tengah peningkatan kebutuhan akibat bertambahnya jumlah penduduk.
Ironisnya, meski pemerintah telah mengesahkan UU No. 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, ketergantungan Indonesia terhadap impor pangan justru semakin meningkat. Enam dari sembilan barang kebutuhan pokok harus dicukupi melalui impor, termasuk komoditas utama seperti beras, gandum, kedelai, dan jagung.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan: mengapa Indonesia gagal mencapai kedaulatan pangan dan malah bergantung pada impor? Negara dengan sumber daya alam yang begitu subur tidak seharusnya terpuruk jika reforma agraria dilaksanakan melalui restrukturisasi agraria, penyelesaian konflik agraria, redistribusi tanah bagi petani, dan penguatan pusat-pusat produksi pangan rakyat seperti pertanian, peternakan, dan perikanan.
Rizki menekankan pentingnya pemulihan hak-hak perempuan petani yang tergusur dari tanah mereka di Desa Pindol. Mereka harus mendapatkan ganti untung atas lahan yang hilang, dan relokasi harus memastikan bahwa mereka tidak ditempatkan di daerah baru yang belum berkembang.
“Lahan-lahan harus produktif sehingga mereka tidak perlu memulai dari nol untuk mencari penghidupan. Sarana utama lainnya, seperti sumber air dan infrastruktur rakyat, juga harus tersedia,” tambah Rizki.
Acuhnya BWS Sulawesi I dan opsi penyelesaian
Selasa, 15 Oktober 2024, PANTAU24.com mencoba menghubungi Kepala Satuan Kerja (Satker) Pembangunan Bendungan dan Danau, Balai Wilayah Sungai (BWS) Sulawesi I, Lydia Angelina Karema, guna mengkonfirmasi apa yang dialami para perempuan di Pindol yang terdampak pembanguna Bendungan Lolak. Upaya menghubungi dilakukan dengan mengirimkan pesan lewat WhatsApp dan disusul melakukan panggilan telepon. Hal yang sama diulangi pada keesokan harinya sebanyak dua kali, serta sekali lagi pada hari Jumat. Namun upaya ini tidak mendapat respon.
Upaya yang sama juga dilakukan PANTAU24.com kepada pejabat BWS Sulawesi I lainnya, yakni Kepala Sub. Bagian Umum dan Tata Usaha Balai Wilayah, Jacklin Tahar, yang dihubungi lewat aplikasi perpesanan dan panggilan telepon pada Rabu, 16 Oktober 2024. Meski pesan terkirim dan panggilan tersambung, PANTAU24.com tidak mendapat respon. Upaya untuk mendatangi kantor BWS Sulawesi I di jalan A.A. Maramis, Kairagi Dua, Manado pun dilakukan pada Jumat, 18 Oktober 2024.
Di sana, PANTAU24.com tidak berhasil bertemu dengan kedua pejabat tersebut, baik Kepala Satker Pembangunan Bendungan, atau pun KTU BWS Sulawesi I. Oleh Nadya, Humas BWS Sulawesi I, PANTAU24.com diminta untuk mengirim surat elektronik melalui alamat di website resmi BWS Sulawesi, https://bwssulawesi1.com/ dengan melampirkan pertanyaan. Menurut Nadya, BWS Sulawesi I akan menjawab pertanyaan melalui surat balasan.
“Jadi, tunggu tiga hari kerja baru Kepala BWS Sulawesi I akan disposisi ke Kepala Satker Pembangunan Bendungan, setelahnya tunggu tiga hari kerja lagi, dan seterusnya,” jelas Nadya, Jumat, 18 Oktober 2024.
Berbagai upaya yang panjang terus coba dilakukan PANTAU24.com. Surat pun dikirim melalui form yang ada di website BWS Sulawesi I, berikut daftar pertanyaan, serta menyertakan tenggat waktu jawaban hingga 28 Oktober mengingat jadwal penayangan liputan. Surat elektronik itu terkirim pada 18 Oktober 2024.
Pada Selasa 22 Oktober, PANTAU24.com mengkonfirmasi kembali surat yang dikirim tersebut, melalui nomor Whatsapp ke humas BWS Sulawesi I.
“Selamat siang. Baik, masuk suratnya (suratnya sudah diterima BWS Sulawesi I -red) bu,” tulis Humas BWS Sulawesi I, Nadya. Namun, nyatanya hingga liputan ini tayang, PANTAU24.com tidak menerima balasan dan jawaban apapun dari BWS Sulawesi I, terkait pertanyaan-pertanyaan konfirmasi temuan selama liputan.
Acuhnya para pejabat BWS Sulawesi I, sebenarnya sudah menjadi keluhan warga di Desa Pindol. Di tengah keterbatasan biaya, warga beberapa kali berupaya secara mandiri, patungan dan menempuh perjalanan kurang lebih 200 KM dari Bolmong ke Manado untuk mempertanyakan hak mereka. Sayang, upaya masyarakat Pindol tidak pernah ditanggapi serius oleh BWS Sulawesi I.
“Berkali-kali kami tidak mendapat respon, selalu begitu jawabannya. Sampai kami hafal betul, jawaban mereka, kalau bukan si pejabat sudah dirolling, maka mereka akan menjawab pejabat tersebut tidak ada di tempat,” kata Sumarni Potabuga.
Padahal, sebagai perempuan petani lanjut usia, Sumarni Potabuga, mulai kewalahan. Desakan kebutuhan ekonomi, benar-benar telah menghimpitnya. Ia hanya menuntut hak atas apa yang terampas dan mengharapkan solusi demi kelangsungan hidup anak cucunya.
Di sisi lain, Rizki Anggriana Arimbi, Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Sulawesi Selatan, mengatakan, dalam budaya patriarkis, perempuan sering kali menanggung beban ganda, karena menggabungkan kerja reproduktif dan produktif. Pekerjaan reproduksi seperti melahirkan dan pengasuhan sering kali tidak dihargai, terutama bagi perempuan di pedesaan.
“Kerja-kerja reproduksi sosial perempuan, seperti menjaga pendidikan, kesehatan, dan pangan, seringkali diabaikan dalam proses pengambilan keputusan. Ketidak-terlibatan ini mengakibatkan pengetahuan lokal perempuan terhenti, dan hilangnya identitas budaya suatu masyarakat,” jelas Rizki.
Masalah di atas, diperparah dengan ketimpangan dan konflik agraria, yang merampas sumber penghidupan perempuan, menjadikan mereka korban paling terdampak. Selain itu, situasi ini memicu tingginya angka migrasi perempuan, akibat konflik agraria dan kemiskinan struktural.
Berdasarkan data KPA, sejak 2017-2023, setidaknya 109 perempuan mengalami penganiayaan, 69 dikriminalisasi, 1 perempuan tertembak, dan 2 perempuan tewas dalam mempertahankan tanah mereka. Di sektor pertanian, terdapat 3,29 juta perempuan petani desa di seluruh Indonesia. Seharusnya, prioritas diberikan kepada perempuan petani dalam agenda Reforma Agraria.
Gagalnya pelaksanaan Reforma Agraria dan pelanggaran hak perempuan dalam konflik agraria, telah memaksa banyak perempuan, kehilangan mata pencaharian mereka dan menjadi buruh migran. Kurangnya perlindungan hukum bagi buruh migran perempuan, menambah lapisan kekerasan yang mereka alami di luar negeri, sebagaimana terjadi pada tahun 2023, ketika 118 buruh migran asal NTT dilaporkan meninggal di luar negeri. Sehingga, Rizki menyebut ada tiga langkah yang harus dilakukan negara.
“Pertama, redistribusi tanah yang diprioritaskan bagi perempuan di desa, disertai analisis gender dan peran perempuan dalam pengambilan keputusan. Kedua, dukungan ekonomi dan sarana pertanian, bagi perempuan yang menjadi subjek redistribusi tanah. Ketiga, perlindungan dan pengakuan hukum atas tanah perempuan petani, nelayan, dan masyarakat adat di pedesaan,” jelas Rizki.
Langkah-langkah tersebut harus dilakukan negara sebagai opsi penyelesaian yang efektif. Jika tidak, pembangunan Bendungan Lolak yang diharapkan dapat mendukung ketahanan pangan dan kemakmuran masyarakat, justru meninggalkan luka mendalam bagi Selvince, Sumarni, Narjiah, Diana dan perempuan-perempuan di Desa Pindol lainnya.
Kehidupan yang terkoyak, kehilangan lahan, hingga ketidakpastian ekonomi, membuat para perempuan di Desa Pindol menghadapi dampak berlapis akibat proyek yang seharusnya memperhatikan kesejahteraan semua pihak. Kehadiran bendungan ini, alih-alih mendatangkan kesejahteraan, malah telah menciptakan tantangan berat bagi para perempuan, yang kini berjuang keras untuk bertahan, di tengah himpitan ketidakadilan dan pengabaian hak-hak dasar mereka.
Liputan ini didanai dari Grant Liputan Isu Dampak Pembangunan Proyek Strategis Nasional yang diselenggarakan oleh AJI Makassar dan Internews.
You must be logged in to post a comment Login