PERISTIWA
Kami Khawatir Tak Bisa Kembali dan Selesaikan Studi
Tidak lama setelah menetapkan status “Siaga I” di Lebanon pada 4 Agustus lalu, beberapa hari setelah serangan Israel ke dekat ibu kota Lebanon, Beirut yang menewaskan panglima Hizbullah Fuad Shukur, pemerintah Indonesia memulai evakuasi warga negara Indonesia (WNI). Evakuasi lewat udara yang dilakukan secara bertahap itu sudah berhasil memulangkan sedikitnya 25 WNI ke tanah air. Namun, hingga saat ini masih ada sekitar 147 WNI yang bertahan, termasuk di antaranya 40an mahasiswa.
Ilham Akbar, mahasiswa asal Aceh yang sedang menyelesaikan studi pasca sarjana jurusan Ilmu Fiqih Muqaran di Beirut Islamic University di Beirut, Lebanon, mengatakan kepada VOA bahwa ada beberapa pertimbangan yang membuat mereka bertahan.
“Sekarang ini kebanyakan mahasiswa Indonesia ada di tahun akhir, jadi mereka khawatir jika harus dievakuasi tapi kondisi belum benar-benar genting, mereka akan susah kembali ke Lebanon.”
Dalam wawancara Rabu siang (18/9), Ilham, yang juga anggota Dewan Konsultan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Beirut, menjelaskan dilema yang mereka rasakan.
“Kami di sini mendapat izin tinggal yang setiap tahun diperbarui. Jika kita keluar dari Lebanon, kita diberi waktu enam bulan untuk memperpanjang izin tinggal. Tapi jika sudah lebih dari enam bulan, izin tinggal itu hangus, dan untuk masuk kembali harus apply visa. Mendapatkan visa ke Lebanon ini sangat sulit, terutama bagi mahasiswa. Jadi mereka yang sudah mendapatkan visa, izin tinggal dan identitas lain, mereka bisa dibilang orang-orang yang beruntung. Mereka enggan pulang jika harus kehilangan izin tinggal untuk menyelesaikan studi…. Jadi bukannya kami tidak takut, tapi jika situasi belum terlalu genting, lebih baik kami bertahan.”
Ketegangan Kembali Memuncak Pasca Serangan Lebanon 30 Juli
Kuasa Usaha Ad Interim di Beirut, Yosi Aprizal, mengatakan situasi keamanan di Lebanon sebelum serangan Israel yang menewaskan Fuad Shukur pada 30 Juli lalu sebenarnya mulai membaik.
“Memang sesekali terjadi serangan di bagian perbatasan selatan, tetapi di kota Beirut dan sekitarnya kondisi aman,” katanya.
Ilham membenarkan hal itu. Ia mengatakan masih dapat kuliah, belanja kebutuhan sehari-hari dan bahkan bersepeda kemana-mana.
Namun serangan itu seakan membangunkan macan tidur karena Hizbullah kemudian melancarkan serangan balasan tanpa henti ke Israel. Warga Lebanon, khususnya diBeirut, baru terhenyak ketika ribuan penyeranta atau pager yang biasa mereka gunakan sebagai alat komunikasi meledak secara serentak pada hari Selasa (17/9), menewaskan sedikitnya 12 orang – termasuk dua anak-anak – dan melukai sekitar 2.800 orang lainnya.
Sehari kemudian terjadi ledakan walkie-talkie yang menewaskan sedikitnya sembilan orang dan melukai 450 orang lainnya. Beberapa ledakan walkie-talkie ini bahkan terjadi saat upacara pemakaman korban ledakan penyeranta.
“Insiden dalam dua hari ini tentu saja menimbulkan kemarahan banyak orang di Lebanon karena yang menjadi korban bukan hanya para pejuang Hizbullah, tetapi juga warga sipil yang sedang melintas, tidak mengetahui ada piranti yang jadi target. Bahkan ada anak-anak yang menjadi korban. Tentu kondisi ini mengkhawatirkan.”
Ditambahkannya, ada satu WNI menderita luka ringan karena berada dekat lokasi salah satu ledakan penyeranta, “tetapi hari ini kondisinya sudah pulih.”
WNI yang Memilih Bertahan Teken “Surat Pertanggungjawaban Mutlak”
Lebih jauh Yosi Aprizal mengatakan sangat memahami pertimbangan-pertimbangan yang membuat 147 WNI, termasuk 40an mahasiswa tingkat akhir di berbagai kampus di Beirut, memutuskan bertahan. Meskipun demikian ia tetap berharap mereka berkenan kembali ke tanah air dulu jika situasi semakin memburuk, terutama menjelang tanggal 7 Oktober, yang menandai satu tahun serangan kelompok militan Hamas ke selatan Israel yang memicu serangan balasan Israel ke Gaza, dan beberapa wilayah lain.
“Kewajiban kita tentu memberi perlindungan warga. Kita sudah memberikan opsi karena tidak bisa memaksa. Kita sudah menyerukan agar bersedia dievakuasi, tetapi banyak yang bertahan dan akhirnya menandatangani ‘Surat Pertanggungjawaban Mutlak’ tidak bersedia dievakuasi sehingga keselamatan mereka pun menjadi tanggungjawab pribadi. Tetapi tentu saja kami tetap melakukan pendekatan dan mendorong agar mereka bersedia dipulangkan ke tanah air.”
Ilham Akbar mengatakan tidak semua berita tentang situasi di Lebanon yang dilaporkan media di tanah air benar. Itu sebabnya ia berulangkali menjelaskan kepada orang tuanya di Aceh, yang kerap menanyakan kondisinya di tengah situasi yang tidak menentu ini. “Saya selalu bilang kepada orang tua saya untuk percaya pada saya, dan mendoakan saya. Insyaallah, semua akan baik-baik saja.”
Selain WNI & Staf KBRI, Ada 1.232 Personel TNI di UNIFIL Lebanon
Hingga laporan ini disampaikan, selain 147 WNI yang bertahan, masih ada pula 13 staf KBRI – di luar duta besar dan tiga perangkat – yang terus bertugas di kantor Baabda, Beirut.
Ada pula 1.232 personil TNI yang bergabung dalam Misi Penjaga Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), yang mencakup 1.113 orang di selatan Lebanon dan 119 orang di KRI Diponegoro. [em/ab]
You must be logged in to post a comment Login