Connect with us

SULUT

Warga Laingpatehi menilai relokasi ke Bolsel terlalu cepat diputuskan

Published

on

SITARO, PANTAU24.COM – Pulau Ruang di Kecamatan Tagulandang diguncang oleh erupsi yang memaksa warganya untuk meninggalkan rumah mereka dengan terburu-buru.

Leksi Yansar Pontoh (55) seorang penduduk desa yang mengalaminya secara langsung, mengenang saat-saat mencekam itu.

Leksi mengatakan, letusan pertama terjadi pada Selasa, 16 April 2024. Kemudian disusul letusan kedua pada Selasa, 30 April 2024.

Leksi Yansar Pontoh (55), warga Desa Laingpatehi, (Foto: PANTAU24.COM/Yegar Sahaduta).

Peristiwa tersebut meluluhlantakkan seluruh bagian Pulau Ruang, termasuk dua desa di dalamnya, yaitu Desa Pumpente dan Desa Laingpatehi.

Fakta menarik dan bermanfaat
Leski Yansar Pontoh (55) warga Desa Laingpatehi merasa keputusan pemerintah untuk relokasi ke Bolsel terlalu cepat, (Foto: PANTAU24.COM/ Yegar Sahduta).

Leski Yansar Pontoh (55) warga Desa Laingpatehi merasa keputusan pemerintah untuk relokasi ke Bolsel terlalu cepat, (Foto: PANTAU24.COM/ Yegar Sahduta).

Beruntung tak ada korban jiwa. Tapi, seluruh warga dua desa tersebut yang terdiri dari 301 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal termasuk harta benda.

Terlalu cepat

Kondisi desa yang sudah tidak bisa dihuni membuat pemerintah memutuskan akan merelokasi warga di dua desa ke Kabupaten Bolaang Mongondw Selatan (Bolsel). Keputusan tersebut dinilai terlalu cepat oleh warga, termasuk Leksi.

Menurut Leksi, seandainya warga diberi pilihan, maka mereka akan memilih pindah ke Toli Toli, Jiko Belanga, atau di daratan Tagulandang lainnya.

”Di sana, di Toli Toli, ada sebuah Kampung Amotuban, Kem Satu, Kem Dua, dan Asahan, yang telah lama menjadi rumah kedua bagi banyak warga Laingpatehi, penyintas erupsi Gunungapi Ruang tahun 2002,” kata Leksi, Jumat, 24 Mei 2024.

Tak hanya di Toli Toli, pada erupsi tahun 2002 Leksi mengatakan bahwa banyak warga juga yang eksodus ke Jiko Belanga, Kecamatan Nuangan, Boltim.

“Secara komunitas, di sana memang sudah ada warga Laingpatehi,” ujarnya.

Hal ini membuat warga merasa lebih nyaman dan aman jika bisa bergabung dengan kerabat mereka yang sudah lebih dulu menetap di sana.

“Kami sudah berembuk dan warga di sana sudah siap jika kami akan pindah ke sana,” lanjut Leksi.

Hanya saja, Leksi menyayangkan keputusan pemerintah untuk merelokasi mereka ke Bolsel yang datang dengan cepat, terlalu cepat menurutnya.

Kondisi desa di Pulau Ruang usai erupsi, (Foto: PANTAU24.COM/Marshal Datundugon).

Tak diberi pilihan

Pemerintah tampaknya memiliki rencana yang berbeda. Mereka melihat Bolsel sebagai tempat yang lebih aman dan terorganisir untuk merelokasi para pengungsi.

Namun, Leksi dan banyak warga lainnya merasa keputusan ini dibuat tanpa mempertimbangkan keinginan mereka.

Hal serupa juga dikatakan warga Desa Laingpatehi lainnya, Defni Tatemba (52). Ibu 3 orang anak ini mengaku terkejut ketika mendengar tujuan relokasi yang diputuskan pemerintah.

“Ibaratnya, kami ini baru bernapas, masih syok. Tapi kami langsung diperhadapkan dengan keputusan pemerintah,” katanya.

Defni Tatemba, warga Desa Laingpatehi Pulau Ruang, Kecamatan Tagulandang, (Foto: PANTAU24.COM/Neno Karlina).

Menurutnya, keputusan pemerintah untuk merelokasi ke Bolsel terasa seperti dipaksakan bagi banyak warga. Mereka merasa tidak diberi cukup waktu untuk mempersiapkan diri atau untuk mempertimbangkan pilihan mereka dengan baik.

Bagi Defni, maupun Leksi, ini adalah salah satu keputusan yang membuat mereka merasa diabaikan.

“Kalau kami diberi pilihan, mungkin cerita akan berbeda,” tambah Leksi dengan nada yang sedikit getir.

Relokasi ke Bolsel, meskipun dimaksudkan untuk kebaikan, tidak sepenuhnya diterima oleh warga Laingpatehi. Banyak dari mereka yang masih berupaya mengamankan barang-barang mereka yang tertinggal di Tagulandang.

Mereka merasa terputus dari akar dan komunitas mereka, sebuah perasaan yang sulit dihilangkan meskipun mereka berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kehidupan baru di Bolsel.

Meskipun begitu, Leksi, Defni dan banyak warga lainnya tetap mengikuti keputusan pemerintah. Mereka memahami bahwa dalam situasi darurat seperti ini, keputusan harus diambil dengan cepat.

“Kami ikut pemerintah, tapi hati kami masih di sini,” katanya sambil memandang jauh.

Saat ini Leksi dan warga lainnya masih menunggu sekitar 6 bulan sampai pemerintah selesai mempersiapkan lahan dan rumah di Bolsel untuk siap ditempati.


Artikel ini merupakan republikasi dari: zonautara.com

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply