Connect with us

PERISTIWA

Menlu Retno: OKI Berutang Memerdekakan Palestina

Published

on

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menegaskan bahwa Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) masih memiliki utang untuk memerdekakan bangsa Palestina. Hal tersebut ditegaskan Retno, yang mewakili Presiden Joko Widodo, saat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi OKI di ibu kota Banjul, Gambia, pada 4-5 Mei. Salah satu isu yang dibahas dalam konferensi adalah situasi di Gaza dan Palestina.

“Saya ingatkan kembali bahwa dalam Arab Peace Initiative dan berbagai keputusan OKI, disebutkan bahwa perdamaian dengan Israel hanya akan dilakukan jika Israel menghentikan pendudukannya terhadap Palestina,” ujar Retno.

“Sikap tersebut telah mengirim pesan yang sangat kuat bahwa tanpa kemerdekaan Palestina, maka tidak akan ada hubungan diplomatik dengan Israel. Dengan tegas, saya ingatkan bahwa keputusan dan pesan tersebut sudah seharusnya dipertahankan secara konsisten,” imbuhnya.

Fakta menarik dan bermanfaat

KTT OKI ke-15 di Banjul. (Foto: Courtesy)

Lebih lanjut Retno menuturkan alam tujuh bulan terakhir dunia menyaksikan kekejaman terburuk sepanjang sejarah modern manusia, yaitu sudah lebih dari 34.000 warga Palestina di Jalur Gaza dibunuh oleh pasukan Israel. Dia menyebut hal itu sebagai genosida (pembantaian etnis).

Selain itu, Israel terus menghambat masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza. Israel juga mengancam akan menginvasi Rafah, wilayah di selatan Gaza dan keanggotaan penuh Palestina di Periserikatan Bangsa-Bangsa terus diganjal. Retno menyerukan negara-negara OKI harus bersatu dalam membela keadilan dan kemanusiaan bagi bangsa Palestina.

“Caranya pertama, jangan sampai perhatian kita terbelah. Perhatian OKI harus tetap utuh, yaitu membantu Palestina. OKI harus terus memberikan bantuan kemanusiaan dan mendukung kerja UNRWA. Kedua, OKI perlu mendorong terus dilakukannya gencatan senjata permanen,” katanya.

UNRWA adalah badan PBB yang menangani pengungsi Palestina.

Menurut Retno, terwujudnya gencatan senjata di Gaza sangat penting untuk bisa menghentikan jatuhnya korban dan penderitaan warga Gaza. Gencatan senjata itu dapat menciptakan situasi kondusif bagi berlangsungnya perundingan menuju solusi dua negara.

Warga Palestina antre untuk mendapatkan makan di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 16 Februari 2024. (Foto: AP)

Warga Palestina antre untuk mendapatkan makan di Rafah, Jalur Gaza, Jumat, 16 Februari 2024. (Foto: AP)

Retno menegaskan penting bagi OKI untuk menurunkan ketegangan. Karena itu OKI harus fokus mengatasi bencana kemanusiaan di Palestina dan semua pihak harus menahan diri dari kemungkinan terjadinya konflik terbuka. OKi memiliki tanggung jawab dalam menjaga stabilitas dan perdamaian di kawasan dan dunia.

Belum Optimal

Pengamat Timur Tengah dari Universitas Indonesia Yon Machmudi menilai upaya negara-negara OKI dalam membela Palestina belum optimal. Hal tersebut, lanjutnya, disebabkan oleh perbedaan sikap di kalangan anggota OKI.

“Respons untuk dapat menghentikan peperangan tidak bisa kompak. Mereka mencoba untuk melakukan pendekatan ke negara-negara lain agar bisa memberikan tekanan kepada Israel, tapi tidak berhasil. Usulan Iran agar menggunakan sumberdaya minyak yang dimiliki anggota OKI guna menekan Israel juga tidak diakomodasi,” ujar Yon kepada VOA, Senin (6/5).

Menurut Yon, OKI harus kembali pada pertemuan terakhir yang memberi mandat kepada enam negara untuk bisa berupaya menghentikan agresi Israel ke Gaza. Dia mengatakan mandat itu harus dievaluasi dan apa langkah selanjutnya yang dilakukan oleh OKI dalam menghadapi rencana Israel menginvasi Rafah.

Dia mengakui negara-negara OKI, terutama negara Arab, terpecah dalam hal menyikapi kemerdekaan Palestina. Ketika mereka melakukan normalisasi hubungan dengan israel artinya mereka sudah tidak komitmen lagi terhadap visi dan tujuan dari pendirian OKI.

Di samping itu, salah satu asas pendirian Liga Arab adalah mencegah berdirinya negara Israel. Namun kenyatannya, banyak dari negara Arab bekerja sama dengan Israel dan kurang memberikan dukungan kepada Palestina.

Yon memandang momentum saat ini tepat untuk mengukuhkan kembali bahwa tidak akan ada pengakuan terhadap Israel sebelum Palestina merdeka. bagi negara-negara OKI yang sudah menjalin hubungan diplomatik, bisa mengancam Israel untuk mengevaluasi relasi mereka.

Jika mereka memilih mempertahankan hubungan, maka negara-negara OKI yang bersangkutan harus dibuktikan dengan mempercepat upaya terwujudnya kemerdekaan Palestina secara serius. Hal ini penting agar mereka tidak dianggap berkhianat terhadap rakyat Palestina.

Serangan Israel terhadap bangunan tempat tinggal dan masjid di Rafah, Jalur Gaza, 22 Februari 2024. (Foto: AP)

Serangan Israel terhadap bangunan tempat tinggal dan masjid di Rafah, Jalur Gaza, 22 Februari 2024. (Foto: AP)

Dia melihat Palestina bukan menjadi agenda bagi negara-negara yang membina hubungan resmi dengan Israel. Negara-negara tersebut lebih mengutamakan kepentingan nasional mereka dalam konteks kerja sama ekonomi dan pertahanan dengan Israel.

Negara-negara yang memiliki relasi resmi dengan Israel memandang Israel dengan dukungan Amerika Serikar (AS) bisa memperkuat sistem pertahanan mereka. Di samping itu, lanjut Yon, secara realistis mereka melihat kerjasama dengan Israel tidak harus diikuti dengan persyaratan negara Palestina. Karena itu, Yon menilai dukungan negara-negara Arab terhadap perjuangan bangsa Palestina sudah memudar karena kepentingan nasonal mereka.

Sedangkan Indonesia menjadi negara yang paling vokal dalam menyuarakan isu kemerdekaan Palestina. Dia menegaskan negara-negara Arab tersebut seharusnya malu kepada Indonesia, secara geografis jauh dari Palestina, tapi mendukung Palestina untuk merdeka.

Dia mengharapkan negara-negara OKI yang memiliki sumber daya minyak menggunakan sumber dayanya itu untuk melakukan tekanan secara global. Dia mencontohkan membatasi produksi minyak sebagai tekanan terhadap negara-negara pendukung Israel merupakan upaya yang efektif.

Hasbi Aswar, pengajar hubungan internasional di Universitas Islam Indonesia mengatakan OKI memang memiliki komitmen secara lisan untuk terus membela Palestina. Namun secara praktis, komitmen tersebut sulit dilaksanakan karena masing-masing anggota OKI memiliki kepentingan berbeda.

Hal itulah menyebabkan OKI bersikap lamban dan tidak efektif dalam menangani isu Palestina.

“Di OKI itu kan ada (negara anggota) yang menormalisasi (hubungan) dengan Israel, seperti negara-negara Teluk. Terus ada Turki hyang selama ini menjalin hubungan dengan Israel, kemudian Mesir, Yordania. Ada juga negara-negara OKI yang lain yang bermusuhan dengan Israel,” tuturnya.

Dia mengatakan normalisasi atau pembukaan hubungan resmi yang dilakukan negara-negara anggota OKI tidak memiliki kontribusi besar untuk menekan Israel.

Dalam kondisi saat ini, OKI harus mengambil upaya-upaya diplomatik yang lebih kuat dalam menekan Israel untuk menghentikan agresi militernya di Gaza. Dia mencontohkan negara-negara Arab bisa melarang wilayahnya digunakan untuk lalu lintas barang dan jasa sebagai salah satu upaya menekan Israel.

Menurut Hasbi, negara-negara Arab dan OKI harus satu kompak dalam menyuarakan secara lantang di berbagai forum bahwa Palestina berhak untuk merdeka. [fw/ah]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply