PERISTIWA
Jawa Tengah: “Kandang Banteng” yang Terbelah
Data terbaru Real Count Komisi Pemilihan Umum (KPU) per Selasa (26/2) pagi untuk Jawa Tengah menunjukkan sudah ada suara masuk dari 104.242 TPS atau 88,87 persen. Prabowo Subianto masih mendominasi perolehan suara di provinsi tersebut dengan 53,03 persen, disusul Ganjar Pranowo 34,29 persen dan Anies Baswedan 12,68 persen.
Anies yang berada di posisi buntut bisa dipahami, tetapi Ganjar yang kalah jauh dari Prabowo nampaknya mengundang tanda tanya. Apalagi, Ganjar adalah gubernur Jawa Tengah dua periode dan baru menyelesaikan masa jabatannya pada tahun lalu.
Sementara untuk perolehan suara partai politik di Jawa Tengah, PDIP masih kokoh di posisi pertama dengan sekitar 27 persen, diikuti PKB 13 persen, Golkar 12 persen dan Gerindra 10 persen.
Pakar psikologi politik Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Mohammad Abdul Hakim, menilai perbedaan pilihan warga Jawa Tengah dalam pilpres dan pileg menarik untuk ditelusuri. Doktor lulusan Massey University, Selandia Baru itu melihat hal tersebut sebagai fenomena bahwa kesetiaan terhadap partai belum tentu sejalan dengan pilihan terhadap figur tertentu.
“Pilihan politik itu mencerminkan karakteristik masyarakat. Jawa Tengah, termasuk Solo. Secara umum karakteristik, politiknya itu politik abangan, sosialis nasionalis. Ikatan historis antara warga dengan parpol beraliran Marhaenis atau ajaran Soekarno masih kental, dan kuat. Tidak gampang berubah”, ujar Hakim saat dihubungi, Senin (26/2).
Dari sisi sejarah dan karakter psikologi masyarakat Jawa Tengah, secara personal mereka sangat nasionalis, tetapi tidak begitu religius.
Dari sudut pandang inilah, ada faktor Presiden Joko Widodo di tengah pusaran pilpres dan pileg pada tahun ini. Hakim mengatakan, meski Ganjar diusung PDIP, elektabilitasnya tidak cukup tinggi di tengah warga yang menganut ajaran Soekarno ini. Artinya, kata dia, pemilih cocok dengan ideologi PDIP, tapi tidak cocok dengan personal atau figur yang diusung PDIP pada pilpres.
Hakim menekankan, sosok atau figur tokoh politik dan ideologi partai memang sangat berpengaruh. Namun menyangkut pilihan, jatuhnya mungkin berbeda. Kasus inilah yang bisa menjelaskan, bagaimana pengaruh sosok Jokowi yang berseberangan dengan capres pilihan PDIP di Jawa Tengah saat Pemilu 2024.
“Pribadi kedekatan Presiden Jokowi di Jawa Tengah, untuk diarahkan ke partai politik tertentu dalam koalisinya, ternyata tidak berhasil. Tapi, dalam pilpres, itu murni terkait kedekatan Jokowi dan berimbas pada pasangan Prabowo-Gibran,” kata Hakim.
Artinya, di Jawa Tengah Jokowi mampu mempengaruhi pemilih di kertas suara pilpres, tetapi tidak mampu mengalihkan pilihan pada kertas suara DPR maupun DPRD.
Hasil kalkulasi dari 29 kabupaten dan enam kota di Jawa Tengah, Ganjar-Mahfud hanya menang di dua kabupaten yaitu Boyolali dan Wonogiri. Di Boyolali, Ganjar-Mahfud meraih hampir 336 ribu suara atau 49,5 persen sedangkan di Wonogiri Ganjar-Mahfud meraup 263 ribu suara atau 46,9 persen.
Meski tetap perkasa di Jawa Tengah, ada prediksi perolehan suara PDIP di wilayah ini mengalami sedikit penurunan, baik di DPR, DPRD propinsi, maupun DPRD kabupaten/ kota, yang berdampak menyusutnya kursi legislatif.
Jumlah pemilih di Jawa Tengah dalam Pemilu 2024 sebanyak 28,2 juta.
Wilayah yang Dinamis
Apa yang terjadi di Jawa Tengah ini membuktikan wilayah tersebut dinamis dalam politik, baik itu tokoh maupun pemilihnya. Situasi ini menimbulkan banyak keraguan, bahkan bagi Ganjar Pranowo sendiri sebagai capres yang dicalonkan PDIP. Secara nasional, dia pernah mengatakan ketidakpercayaanya terkait perolehan suaranya sendiri, dengan membalikkan pertanyaan di depan jurnalis; apakah mereka percaya Ganjar hanya memperoleh suara sebesar itu.
Sementara cawapres Prabowo, Gibran Rakabuming Raka yang juga wali kota Solo, berkomentar hati-hati terkait perolehan suara ini. Dia bahkan mengakui Solo masih menjadi basis pendukung PDIP.
“(Karena tahu ‘kandang banteng’?) Ya makanya nggak ada target, nggak usah. Dari kami, dari relawan, tidak ada euforia gimana-gimana. Pemilu bisa berjalan dengan aman dan lancar. Kalau kami lebih ke masalah keamanan wilayah, itu yang jadi concern utama,” ujar putra sulung presiden Jokowi itu.
Gibran nampaknya tidak ingin fenomena beda pilihan, antara suara partai dan suara capres PDIP ini meruncing.
Sementara ketika ditanya di sebuah kesempatan di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto menegaskan partainya akan tetap mengawal penghitungan suara Pemilu 2024 hingga selesai.
“Terus kami lakukan pencermatan, meskipun sistem perhitungan dari KPU banyak yang meragukan dan dipakai dengan berbagai alat tertentu, tetapi kami kawal suara rakyat suara Tuhan,” ujar Hasto saat ditemui di rumah duka ibu mertuanya di Baki, Sukoharjo, Jawa Tengah, Selasa, (20/2).
Jokowi Turun Gunung
Ada peran besar presiden Jokowi terhadap apa terjadi saat ini. Sepanjang akhir Januari hingga awal Februari, hanya beberapa hari sebelum pemilu, Jokowi aktif berkeliling ke Jawa Tengah. Dia memanfaatkan posisinya sebagai presiden, dengan menggelar berbagai kunjungan kerja, baik terkait isu pangan, pertanahan, air minum, infrastruktur jalan, hingga peresmian kampus, bangunan atau bahkan bermain sepakbola bersama anak-anak kampung.
Safari kerja Jokowi tersebut membuat gerah kalangan PDIP. Sebagai contoh, ketika PDIP menggelar Hajatan Rakyat di Kulonprogo, DI Yogyakarta pada Minggu (28/1), sehari sebelumnya Jokowi bersantai dengan main sepak bola bersama anak-anak di wilayah Sleman. Jarak kedua acara ini hanya kurang dari 30 kilometer.
Seniman Yogyakarta, Butet Kartaredjasa menyindir apa yang dilakukan Jokowi itu ketika dia berbicara di atas panggung, dalam kampanye pasangan Ganjar-Mahfud.
“Setiap Mas Ganjar datang selalu ada yang ngintili. Hari ini Mas Ganjar akan datang menemui kita, kemarin sudah ada yang ngintili,” kata Butet di tengah acara yang disiarkan langsung secara daring ini.
Ngintili adalah kata dalam bahasa Jawa yang kurang lebih bermakna membuntuti.
Jokowi beralasan, acara main sepak bola dengan anak-anak di lokasi dan pada hari yang berdekatan dengan kampanye akbar PDIP itu tidak memiliki maksud politik.
“Ya, ini pertama, untuk menyambut masuknya timnas kita ke 16 besar Piala Asia, dan kita ingin memberikan semangat kepada rakyat untuk memberikan dukungan penuh besok bertandingnya antara Indonesia dan Australia. Kita harapkan kita mendapatkan poin dari sana sehingga bisa melaju ke babak berikutnya. Saya kira, yang kedua, kita ingin dengan masyarakat bergembira semuanya, juga untuk sekali lagi memberikan dukungan kepada timnas kita,” ujar dia dalam laman resmi kepresidenan.
Di Magelang, Jawa Tengah, sehari setelah kampanye PDIP, Jokowi bahkan menggelar acara bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang maju sebagai capres bersama anaknya, Gibran Rakabuming Raka.
Seusai meresmikan gedung Graha Utama di kompleks Akademi Militer, Jokowi dan Prabono menikmati bakso di salah satu warung kecil, di kota itu.
Jokowi juga tidak mau menyinggung soal politik dalam acara itu.
“Mengobrolkan bakso, mengobrolkan kelapa muda, mengobrolkan tahu goreng, enak enggak, begitu,” kata dia ketika ditanya apa yang dibicarakan bersama Prabowo.
Jawa Tengah nampaknya setia pada Jokowi dalam soal pemilihan presiden, meski belum bisa ke lain hati jika terkait partai politik.
Pada Pemilu 2019, Jawa Tengah adalah lumbung suara Jokowi-Maruf. Di tingkat provinsi, pasangan ini meraup 77,26 persen suara, menyisakan 22,74 persen saja untuk Prabowo. Di sejumlah kabupaten, Jokowi bahkan sama sekali tidak bisa dilawan saat itu. Di Kabupaten Boyolali, Jokowi meraup 86,03 persen suara, di Pati 85,7 persen sementara di Grobogan dia mengumpulkan 85,42 persen.
Dukungan besar itu nampaknya berhasil dia alihkan ke Prabowo-Gibran kali ini.
Gerilya Jokowi di Jawa Tengah kali ini, diakui atau tidak, memberi dampak para perolehan suara Prabowo-Gibran yang memporak-porandakan kandang banteng. [ys/ns]
You must be logged in to post a comment Login