PERISTIWA
Pro dan Kontra Terapi Online untuk Kesehatan Mental
Terapi kesehatan mental kini lebih mudah diakses dengan semakin banyaknya layanan konseling online. Namun efektifkah metoda yang satu ini mengingat komunikasi antara terapis dan pasien hanya sebatas di layar komputer? Sejumlah pro dan kontra pun mencuat seiring popularitasnya yang meningkat.
Konsepnya sederhana. Pasien biasanya membayar sesi di muka sebelum menjadwalkan janji bertemu dengan psikolog pada waktu yang paling nyaman bagi mereka. Pilihannya ada tiga: obrolan via text (chat), pembicaraan lewat sambungan telepon (audio call), atau pembicaraan lewat telelpon video (video call).
Azizatul Adni, pendiri Bale Psikolog, sebuah layanan konseling di Lombok Timur, mengatakan konseling online tentu memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri baik bagi terapis maupun klien, sama seperti kebanyakan layanan berbasis internet saat ini.
Psikolog lulusan Universitas Padjajaran Bandung, yang akrab dipanggil Adni ini mengatakan, dari sisi klien, konseling online memberi keleluasaan untuk memilih terapis atau psikolog yang sesuai untuk mendampinginya menghadapi situasi yang dihadapi.
“Dia bisa saja mengakses psikolog di luar areanya dia, yang memiliki kompetensi lebih bagus dibanding dibanding terapis-terapis yang ada di sekitarnya,” jelasnya.
Selain itu, kata Adni, klien bisa mengatur waktu secara lebih leluasa, dan memilih tempat di mana ia merasa aman. Menurut Adni, keberhasilan konseling sepenuhnya bergantung pada apakah klien mau terbuka mengenai masalahnya dan lokasi di mana klien merasa nyaman, lebih memungkinkan itu terjadi.
Bale Psikolog sendiri mengalami lonjakan jumlah pasien online sejak pandemi COVID -19 melanda hampir empat tahun lalu. Pasien online-nya saat ini meningkat tiga kali lipat dibanding masa sebelum pandemi.
Terlepas dari lonjakan jumlah pasien, Adni mengakui konseling online memiliki sisi negatif. “Kerugian yang paling dirasa adalah body language dan ekspresi tidak bisa terbaca sepenuhnya seperti pada sesi tatap muka,” sebutnya.
Padahal, katanya, untuk memberikan terapi yang tepat, seorang psikolog perlu menganalisa segala reaksi pasien yang bersifat verbal dan non-verbal.
Yunika Balsa Rhapsodia, seorang psikolog klinis di Jakarta yang aktif memberikan layanan konseling di Play9 Bintaro, membenarkan itu. Ia bahkan mengatakan, situasi lebih sulit bila layanan konseling yang dipilih pasien adalah chat atau audio call.
“Kalau audio call yang bisa kita coba pahami adalah nada bicara, sementara bahasa tubuh dan ekspresi muka kita tidak tahu. Kalau chat lebih parah lagi, karena kita hanya membaca tulisan pasien. Kalau video call, masih mending kita bisa membaca bahasa tubuh dan ekspresi wajah, tapi itu pun terbatas, karena gambar yang muncul biasanya hanya sebatas hingga pundak,” kata Yunika.
Namun privasi-lah yang memang menjadi pertimbangan Nike, bukan nama sebenarnya, saat memilih layanan online. “Aku malu, kalau sampai terapisnya tahu persis siapa aku. Aku menjadi lebih terbuka kalau pembicaraannya lewat chat atau audio call,” jelasnya.
Nike sendiri menjalani terapi online atas desakan orangtuanya, setelah beberapa kali menolak untuk menemui langsung psikolog. Sejak ditinggal nikah pacarnya, perempuan berusia 21 tahun ini mengaku sering depresi, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, dan enggan melanjutkan kuliahnya.
Balsa dari Play9 Bintaro mengakui beberapa kliennya mengambil pilihan “menyembunyikan wajah” karena alasan privasi. Namun, ia sangat menganjurkan agar pasien menghindari opsi konsultasi sebatas pembicaraan teks, yang biasa disebut chat, jika menginginkan hasil yang maksimal.
“Kalau lewat chat, proses mengetik biasanya lambat dan memakan waktu. Kalau lewat bicara (audio call), konten yang disampaikan bisa lebih banyak. Selain itu ada kemungkinan, pasien kesulitan mengungkapkan permasalahannya lewat tulisan,” jelasnya.
Meski Adni dan Balsa sama-sama setuju bahwa konseling online bermanfaat, mereka mengingatkan ada hal-hal tertentu yang hanya dapat dilakukan melalui sesi tatap muka.
Mereka mengatakan, pasien mungkin saja memiliki beberapa pemicu yang perlu ditangani secara langsung melalui pertemuan tatap muka. Selain itu, masalah internet mungkin terjadi selama sesi berlangsung, sehingga dapat menghambat tujuan terapi.
Maria Jane Simanjuntak, psikolog klinis yang aktif memberikan layanan konseling online sejak 2018, juga mengakui permasalahan dengan konseling online terletak pada kenyataan bahwa seorang psikolog tidak dapat sepenuhnya mengamati keadaan klien selama terapi berlangsung. Namun ia mengakui tidak kesulitan membangun hubungan emosional dengan klien.
Perempuan yang akrab dipanggil Jane ini selain menawarkan layanan konseling online secara pribadi juga tercatat sebagai terapis di mindpeers.co, penyedia jasa telekonsultasi kesehatan mental yang berbasis di India; dan siffi.com, layanam konseling internasional yang berbasis di Estonia.
Jane mengatakan, ia sering kali memperhatikan bahwa kliennya diganggu oleh masalah privasi selama sesi mereka. Jika hal ini terjadi, pasien tidak dapat berkonsultasi secara leluasa, sehingga berpotensi membuat keseluruhan sesi menjadi tidak efektif.
Beberapa klien mengakui kepada Jane bahwa alternatif online sangat membantu mereka dalam hal aksesibilitas. Daripada harus berkendara ke kota-kota besar hanya untuk mendapatkan perawatan psikologis, mereka cukup menerima bantuan di rumah.
“Beberapa klien Indonesia saya yang tinggal di luar negeri juga mendapat manfaat dari terapi online karena dalam beberapa kasus, klien merasa lebih nyaman dan dipahami oleh psikolog yang berasal dari latar belakang budaya yang sama,” jelasnya.
Jane, Adni dan Balsa sama-sama berpendapat tidak semua masalah psikologis dapat diselesaikan lewat konseling online. Layanan yang satu ini lebih sesuai untuk gangguan ringan seperti insomnia dan stress.
Jane merekomendasikan pasien dengan gangguan berat seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (ADHD), skizofrenia, dan gangguan-gangguan lain yang memerlukan tes klinis, untuk menjadwalkan pertemuan tatap muka dengan terapis mereka bila memungkinkan.
“Solusi yang paling ideal bagi gangguan jiwa berat adalah pertemuan tatap muka secara reguler,” jelasnya.
Banyak pakar kesehatan mengatakan, kesehatan jiwa di Indonesia masih menjadi salah satu isu yang belum mendapatkan perhatian yang optimal padahal jumlah penderitanya terus meningkat dari tahun ke tahun.
Penelitian di Indonesia yang dilakukan bersama oleh University of Queensland-Australia dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health-Amerika Serikat, pada tahun 2022 menunjukkan, 1 dari 20 remaja di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental. Ini artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Gangguan kecemasan (anxiety disorder) diketahui menjadi yang paling umum di antara remaja berusia 10 hingga 17 tahun di Indonesia (sekitar 3,7 persen), disusul oleh gangguan depresi mayor (1,0 persen), gangguan perilaku (0,9 persen), gangguan stres pascatrauma (PTSD) (0,5 persen), dan ADHD (0,5 persen). [ab/uh]
You must be logged in to post a comment Login