Polisi telah mengajukan tuduhan penistaan agama dan ujaran kebencian terhadap kepala pondok pesantren yang kontroversial, menyusul kegemparan publik atas ajarannya, termasuk perlakuan nonortodoks terhadap perempuan dan penggunaan bahasa Ibrani.
Panji Gumilang, kepala ponpes Al-Zaytun di Jawa Barat, ditetapkan sebagai tersangka oleh polisi pada hari Selasa, kata Dirtipidum Bareskrim Polri Brigjen Djuhandhani Rahardjo kepada wartawan, Rabu (2/8), dan menghadapi hukuman maksimal 10 tahun penjara jika terbukti bersalah melakukan penistaan agama dan ujaran kebencian.
Didirikan pada tahun 1996 dan menjadi rumah bagi sekitar 5.000 siswa, ponpes ini telah menimbulkan kegemparan karena praktik-praktiknya yang kontroversial seperti mengizinkan laki-laki dan perempuan bercampur saf dalam salat berjamaah, dan perempuan menjadi khatib dalam salat Jumat – sesuatu yang tidak biasa di Indonesia.
Indonesia tidak memberlakukan hukum Islam dan memiliki tradisi pluralisme dan Islam moderat, meskipun interpretasi agama yang lebih konservatif telah berkembang sejak jatuhnya Suharto pada tahun 1998.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan beberapa praktik Al Zaytun adalah “interpretasi yang keliru dari Al-Qur’an. Pada bulan Juni, MUI mengatakan, sedang menyelidiki ponpes itu terkait “praktik-praktik keagamaan yang sesat.”
Panji, 77, membela praktik-praktik yang dilakukan di ponpes tersebut. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini dengan Metro TV, ia mengatakan bahwa perempuan dan laki-laki setara menurut interpretasinya terhadap Al-Qur’an.
Kelompok-kelompok HAM mengecam penggunaan undang-undang penodaan agama di Indonesia yang menurut mereka mengekang kebebasan beragama di negara multiagama yang secara resmi hanya mengakui enam agama.
Dalam kasus yang mengguncang fondasi pluralistik negara, mantan Gubernur Jakarta Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama pada tahun 2017 pernah dipenjara atas tuduhan penistaan agama yang dianggap mengada-ada, setelah ia memperingatkan para pemilih untuk tidak terpengaruh oleh politisi yang menggunakan Al-Qur’an dalam kampanye politik.
Andreas Harsono dari Human Rights Watch mengatakan kasus Al Zaytun adalah contoh terbaru diskriminasi terhadap pandangan minoritas.
“Jika seorang ulama Muslim dituduh melakukan penistaan terhadap Islam karena mempromosikan hak-hak perempuan, pasti ada sesuatu yang sangat keliru dengan undang-undang penistaan agama di Indonesia dan kelompok-kelompok ulama mainstream,” katanya. [ab/uh]
You must be logged in to post a comment Login