Kelompok teroris memiliki beragam cara untuk mencari dana bagi kegiatan operasional mereka. Narasi “beramal di dunia untuk mendapatkan keuntungan berlipat di dunia dan akhirat” tampaknya menjadi strategi yang memuluskan kelompok teroris mendapatkan derma dengan beragam sumbangan. Bukan hanya itu, mereka juga memanfaatkan karakteristik masyarakat Indonesia yang dikenal pemurah.
Hal tersebut diungkapkan pakar terorisme sekaligus pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian, Noor Huda Ismail, saat meluncurkan bukunya “Narasi Mematikan Pendanaan Terorisme di Indonesia,” yang berlangsung di Universitas Paramadina, Jakarta.
Secara terang-terangan Noor Huda menyebut adanya beberapa yayasan yang legal di Indonesia, yang digunakan kelompok teroris untuk menggalang dana. Ia tidak merinci nama yayasan yang dimaksudnya, tetapi menilai kurangnya koordinasi antar-kementerian dan lembaga terkait membuat upaya penggalangan dana ini berjalan mulus.
Urgensi Desentralisasi Penanganan Isu Pendanaan Teroris
Noor Huda mendorong desentralisasi penanganan isu pendanaan teroris mengingat selama ini yang memahami isu tersebut hanya mereka yang berada di pusat.
“Tetapi di daerah, misalnya di daerah Lampung, paling banyak terdapat kotak amal. Itu mereka nggak mengerti (pendanaan terorisme) seperti apa. Belum lagi ketika organisasi teror itu menggunakan sekolah, penitipan anak, atau lambang-lambang yang dekat dengan agama. Misalnya, Rumah Qur’an,” kata Noor Huda.
Sementara di Solo, Jawa Tengah, tambahnya, baru-baru ini kelompok pro-kekerasan yang berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah dan Jamaah Ansharud Daulah (JAD) memiliki tren membeli mobil bodong yang kemudian diubah menjadi mobil ambulans. Mengingat etika lalu lintas dan alasan kemanusiaan, polisi tidak pernah menyetop ambulans, yang di bagian badan mobil dilengkapi dengan nama “Rumah Qur’an” atau “Rumah Tahfiz” dan nomor rekening.
Pemanfaatan Teknologi
Pada kesempatan itu, mantan narapidana terorisme, Munir Kartono menceritakan pengalamannya sebagai pencari dana untuk kegiatan terorisme. Menurtunya pendanaan bagi terorisme berasal dari infak di media sosial atau kotak-kotak infak di masjid-masjid dan juga cara lain.
“Ada loh kelompok teror nyari dananya sudah memanfaatkan teknologi, sudah bisa melakukan aksi-aksi (penggalangan dana) di dunia maya. Kita melihat sekarang bagaimana potensi monetize tentang hal-hal yang bisa dilakukan di Internet, ternyata sampai game,” tutur Munir.
Mudahnya memperoleh sumbangan dana untuk kegiatan teror dari media sosial juga diungkapkan oleh Hendro, seorang mantan narapidana terorisme lainnya. Ketika ditangkap pada 2016 dan mendekam di tahanan Markas Komando Brimob, dirinya masih dapat berkomunikasi dengan Bahrumsyah, yang memberinya instruksi untuk mendirikan pesantren khusus bagi anak-anak teroris MIT yang tewas di Poso.
Hanya dalam dua bulan Hendro berhasil mendapatkan dana Rp300 juta yang dibutuhkan untuk membuat pesantren itu, hanya lewat media sosial. Selama berkutat dalam kegiatan terorisme, Hendro dipercaya oleh Bahrumsyah, pemimpin ISIS Indonesia yang ada di Suriah.
Ketua Program Studi Falsafah dan Agama Universitas Paramadina Subhi Ibrahim menjelaskan buku ditulis Noor Huda Ismail tentang pendanaan terorisme merupakan fakta bukan mitos.
“(Buku ditulis Noor Huda Ismail) membuktikan asumsi kita benar ternyata ada satu industri teror atau korporasi teror. Jadi kelompok-kelompok teror itu seperti korporasi. Ketika mereka memproduksi (teror), bukan sekadar memproduksi tetapi juga menciptakan narasi sekaligus pendananya,” ujar Subhi.
Dia menambahkan mungkin sebagian besar masyarakat belum terbuka dan menyadari hal itu. Perlu adanya langkah mitigasi yang terstruktur dan efektif dengan melibatkan seluruh pihak pemangku kepentingan terkait serta masyarakat, khususnya dalam menangkal narasi aksi terorisme dan pendanaan terorisme di Indonesia. [fw/em]
You must be logged in to post a comment Login