Sejumlah sanksi-sanksi yang diterapkan negara-negara Barat terhadap Rusia mulai berdampak pada investasi bisnis sejumlah perusahaan Rusia di berbagai negara, termasuk di sektor minyak dan gas bumi di Indonesia.
Di Indonesia, setidaknya ada dua investasi Rusia yang cukup besar, yaitu pengembangan Wilayah Kerja (WK) Tuna dan pembangunan kilang Tuban.
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) membenarkan berita bahwa perusahaan plat merah Zarubezhneft berniat keluar dari proyek pengembangan Blok Tuna karena investasinya terhadang sanksi-sanksi Barat atas invasi Rusia ke Ukraina.
Namun, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan sudah ada beberapa perusahaan yang berminat mengambil alih hak partisipasi (participating interest/PI) perusahaan migas Rusia, Zarubezhneft, di Wilayah Kerja atau Blok Tuna di perairan Natuna.
“Dia (Zarubezhneft), ada willingness (keinginan.red) untuk melepas (PI) karena proyeknya tidak bisa jalan karena sanksi-sanksi. Sekarang sedang buka data untuk para peminatnya. Peminatnya ada 3-5 perusahaan,” kata Dwi saat diwawancara di sela-sela Indonesia Petroleum Association Convention, di Tangerang, Banten, Selasa (26/7).
Dwi tidak mengungkap siapa saja perusahaan yang berminat mengambil alih peran Zarubezhneft, tetapi para calon investor itu datang dari berbagai negara termasuk dari Timur Tengah dan Asia.
Lapangan Tuna di Blok Tuna dioperasikan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) Premier Oil Tuna BV dengan hak partisipasi 50 persen. Sementara 50 persen sisanya dipegang oleh Zarubezhneft.
Menurut data SKK Migas, pengembangan Blok Tuna diperkirakan akan menelan investasi sekitar dari $3,07 miliar atau sekitar Rp 45 triliun. Blok Tuna diharapkan mulai produksi gas pada 2026
Pada Desember 2022, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sudah menyetujui rencana pengembangan (plan of development/POD) pertama Blok Tuna, yang terletak di perbatasan laut Indonesia dan Vietnam.
Namun, Harbour Energy, sebagai induk Premier Tuna BV pada Maret lalu mengatakan rencana pengembangan itu terhadang oleh sanksi yang diterapkan Uni Eropa dan pemerintah Inggris. Perusahaan migas Inggris itu mengatakan saksi-sanksi itu membatasi kemampuan Harbour Energy untuk menyediakan layanan tertentu bagi mitra-mitra Rusia, termasuk di Lapangan Tuna.
Seperti yang diketahui, sejumlah negara Barat sudah menerapkan sejumlah sanksi ekonomi, seperti pelarangan impor minyak dan gas Rusia. Tujuan sanksi-sanksi itu adalah mengurangi pendapatan negara agar Rusia kehabisan dana untuk membiayai invasinya ke Ukraina.
Proyek Kilang
Sementara itu, Direktur Utama PT Kilang Pertamina Internasional Taufik Aditiyawarman mengatakan sejauh ini proyek pembangunan komplek kilang dan petrokimia Tuban bersama perusahaan Rusia, Rosneft, tetap berjalan.
“Masih tetap seperti sebelumnya. Pokoknya Oktober selesai, kemudian kuartal satu 2025 FID (final investment decision),” ujar Taufik di Banten, Kamis (27/7).
Meski demikian, menurut Taufik, pihaknya sudah menyampaikan ke Rosneft mengenai kemungkinan untuk mencari mitra baru.
“Kita sudah sampaikan ke pihak mereka apakah kita harus mengambil partner (mitra) lain apa enggak untuk mem-balance. Sudah kita komunikasikan kan kita harus kasih tau ke pihak Rosneftnya bahwa due to Ukraine conflict (karena konflik di Ukraina.red) ada implikasi, karena mereka juga aware (paham.red),” ujarnya.
Rosneft sendiri belum memberikan jawaban yang pasti terhadap penawaran Pertamina tersebut karena berdasarkan kesepakatan, perusahaan itu memiliki hak selama perusahaan patungan tetap berjalan.
Pertamina dan Rosneft membentuk perusahaan patungan untuk membangun kilang Tuban pada November 2017. Berdasarkan kesepakatan itu, Pertamina akan memiliki 55 persen saham dan sisanya 45 persen dipegang oleh Rosneft.
Kilang Tuban akan memiliki kapasitas untuk mengolah 300.000 barel per hari (bph) minyak mentah dan memproduksi 30 juta liter bahan bakar minyak (BBM) per hari. Kilang itu diharapkan dapat beroperasi pada 2025. [ft/ah/rs]
You must be logged in to post a comment Login