PERISTIWA
Prabowo Subianto Harus Bertanggung Jawab Atas Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu
Puluhan mantan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) yang tergabung dalam Forum Rakyat Demokratik (FRD) untuk Keadilan Korban Penghilangan Paksa terus berjuang mengungkap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Menurut mereka, Prabowo Subianto termasuk salah satu yang harus dimintai pertanggungjawabannya.
Raut wajah kecewa tidak bisa disembunyikan para mantan aktivis PRD, ketika mengetahui mantan ketua umum PRD sekaligus aktivis 97/87 Budiman Sujatmiko bertemu dengan Prabowo Subianto beberapa waktu lalu.
Bahkan, setelah bertemu dengan Prabowo, Budiman Sujatmiko sempat menyerukan untuk melupakan pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan oleh Prabowo. Mantan sekjen Partai Rakyat Demokratik (PRD) Petrus Hari Hariyanto mengatakan betapa langkah Budiman sangat menyakitinya, apalagi Budiman dan dirinya pernah dipenjara bersama selama lebih dari lima tahun.
Meski begitu, Petrus menyerukan bahwa ia dan beberapa aktivis lain tetap berjuang menuntut penuntasan kasus penghilangan paksa dan pelanggaran HAM berat masa lalu yang bertepatan dengan peristiwa 27 Juli 1996 atau yang dikenal sebutan peristiwa “Kuda Tuli”.
Pada peristiwa 27 Juli 1996, para aktivis PRD, termasuk anggota dari organisasi-organisasi di bawahnya menjadi buronan politik. Beberapa aktivis dipenjara dan sebagian lainnya hilang pada 1997-1998. Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang (IKOHI), ada 13 orang yang belum kembali hingga hari ini. Empat di antaranya adalah para aktivis PRD yakni Wiji Tukul, Bima Petrus, Herman Hendrawan dan Suyat. Seorang aktivis lainnya yang dikenal dengan nama Gilang ditemukan meninggal dunia di sebuah hutan di Magetan pada 23 Mei 1998.
“Kawan-kawan tetap berjuang, tetap mengusahakan, tetap menginginkan bahwa kasus penculikan tidak dikubur, tetap harus diungkap, tetap harus empat kawan kami ditemukan, keluarga mereka menanti dengan kesedihan, dengan air mata. itu yang harus diingat oleh kawan kami Budiman,” ungkap Petrus dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (27/7).
Dengan lantang Petrus menyatakan bahwa sosok Prabowo Subianto-lah yang harus bertanggung jawab atas kasus penculikan tersebut. Prabowo yang kala itu berpangkat Letnan Jenderal Pangkostrad dikeluarkan oleh institusi ABRI karena bertanggung jawab pada kasus penculikan bersama Tim Mawar, sebuah tim kecil yang dibentuk Komando Pasukan Khusus (Kopassus). Menurut Petrus, sampai saat ini Prabowo belum pernah diadili walaupun dinyatakan bersalah.
“Budiman mengatakan di beberapa media, ingin mewakafkan diri untuk persatuan kaum nasionalis dan Prabowo adalah tokoh yang (dianggap) mampu menyatukan kaum nasionalis. Kami ingin mengatakan kepada Budiman, kami juga ingin mewakafkan diri, tetap berjuang untuk mengungkapkan kasus penculikan (dan) yang harus bertanggung jawab adalah Prabowo!,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, mantan aktivis Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi (SMID), Lilik Hastuti, mengungkapkan bahwa keliru jika banyak yang menganggap bahwa para aktivis hanya memunculkan isu pelanggaran HAM ini setiap lima tahun sekali. Menurutnya, ia dan teman-teman sesama aktivis selalu berjuang untuk mengungkap kasus penghilangan paksa tersebut, termasuk mencari empat rekannya yang sampai detik ini belum diketahui nasibnya.
“Saya cuma ingin bilang bahwa suara kami tidak pernah berubah, kami melawan penjahat HAM Prabowo, tentu saja sebagai orang pertama, karena dia adalah komandan Kopassus, orang yang paling bertanggung jawab atas peristiwa itu, yang tidak pernah diadili, dinyatakan bersalah tapi tidak pernah diadili. Tentu sebenarnya bukan hanya Prabowo, tapi juga seluruh penjahat HAM yang lain, itu adalah bagian dari musuh kami,” ungkap Lilik.
Mmenurutnya isu pelanggaran HAM di masa lalu tersebut harus terus digaungkan agar generasi muda Indonesia mengetahui peristiwa kelam sejarah Indonesia, yang seakan ingin dikubur oleh para elit politik.
“Masa depan seperti apa bisa kita bayangkan, jika menyelesaikan persoalan masa lalu saja kita enggan? Bahkan diantara kita sendiri mengatakan lupakan masa lalu, Jelas kita punya hutang sejarah pada generasi muda. Jika masa lalu tidak pernah kita ungkap, jika dosa-dosa Prabowo dan seluruh penjahat HAM yang lain tidak penah kita ungkap, anak-anak yang lahir setelah 1998, tidak akan tahu bagaimana represinya orde baru, tidak akan tahu sedurjana apa milterisme saat itu, dan seandainya persoalan HAM tidak pernah diungkap, kita hanya akan memelihara api dalam sekam, kita hanya memelihara semak belukar impunitas, kelanggengan dan kekerasan akan terus menerus hari ini sampai masa depan,” tutur Lilik.
Mantan aktivis Pusat Perjuangan Buruh Indonesia (PPBI), Wilson, menyerukan dan berharap masyarakat peka terhadap isu pelanggaran HAM ini menjelang pemilihan presiden pada tahun 2024 mendatang. Ia berharap masyarakat tidak akan memilih calon presiden yang mempunyai rekam jejak pelanggaran HAM.
“Harapan kami dari forum rakyat demokratik untuk HAM adalah, agar para politisi yang terlibat pelangaran HAM di masa lalu tidak duduk di DPR atau memimpin negeri ini. Kenapa begitu?Karena harapan kita untuk menyelesaikan kasus HAM masa lalu akan sulit menjadi kenyataan kalau pelanggar HAM yang memimpin negara ini. Dia pasti akan melakukan impunitas, akan membuat amnesia sejarah supaya kejahatan HAM di masa lalu tidak diangkat atau dipertanggungjawabkan,” ungkap Wilson.
Ia juga berharap, di masa kepemimpinnya yang akan segera berakhir, Presiden Jokowi dapat menjalankan empat rekomendasi DPR RI tahun 2009 yang terkait kasus penghilangan paksa. Rekomendasi itu adalah, pertama, membentuk pengadilan HAM bagi pelaku penculikan aktivis 97-98; kedua, membentuk tim pencarian orang hilang untuk aktivis yang masih belum ditemukan; ketiga, mereparasi dan merehabilitasi nama keluarga dan aktivis yang diculik; dan keempat, meratifikasi konvensi orang hilang PBB.
Pengamat Politik Pangi Syarwi Chaniago menilai isu-isu seperti pelanggaran HAM di masa lalu seringkali tidak menjadi preferensi masyarakat dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Para pemilih muda seperti kalangan milenial dan gen Z yang dianggap selalu lebih kritis dalam menanggapi sebuah isu, justru seakan tidak terlalu peduli.
“Kalangan Gen Z atau milenial itu, yang 58 persen yang usianya 25-40 tahun itu memang mereka generasi yang cukup kritis, rasional, cukup punya banyak referensi politik yang memadai untuk menopang cara berpikir mereka. Namun mereka tidak merasakan peristiwa itu, dan tidak menjadi penting bagi mereka. Generasi muda itu tidak merasakan kondisi seperti itu, kondisi bagaimana dulu aktivis diculik, sehingga belum tentu itu jadi perhatian mereka. Jadi itu bukan pertimbangan mereka untuk memilih atau tidak memilih,” ungkap Pangi.
Hal tersebut, kata Pangi, terlihat dari elektabilitas Prabowo sebagai calon presiden yang justru semakin naik setiap isu pelanggaran HAM masa lalu dihembuskan.
“Kalau memang itu menjadi ganjalan, harusnya elektabilitas Prabowo gak terlalu bagus. Tapi, apakah betul-betul efektif atau tidak isu pelanggaran HAM ini, lagi dicoba oleh lawan-lawan politik beliau. Apakah ini cukup menjadi perhatian kaum milenial. Kalau nanti elektabilitas Pak Prabowo tetap tren -ya tidak ada penurunan setelah isu ini diingatkan kembali, maka testing the water-nya selesai, terutama bagi generasi muda,” jelasnya.
“Pemilih muda itu generasi yang cukup rasional, mereka melihat tentang kontribusi, perisitiwa, kinerja, prestasi hari ini. Rekam jejak peristiwa masa lalu itu tidak menjadi kunci perhatian mereka, seperti mudah melupakan sejarah,”pungkasnya. [uh/ab]
You must be logged in to post a comment Login