PERISTIWA
Jokowi Optimistis Bandara Kertajati akan Jadi Bandara Masa Depan
Presiden Joko Widodo menargetkan BIJB Kertajati akan mulai beroperasi penuh pada Oktober mendatang. Menurutnya aktivitas di bandara tersebut sudah lebih baik karena telah digunakan untuk melayani embarkasi haji Provinsi Jawa Barat.
Selain itu, katanya, BIJB Kertajati juga sudah melayani penerbangan umroh sebanyak empat kali dalam seminggu dan melayani penerbangan internasional dengan rute Kuala Lumpur-Kertajati sebanyak dua kali per minggu.
Menurutnya, perlahan tetapi pasti, lalu lintas dan aktivitas di BIJB Kertajati akan semakin meningkat. Pasalnya semua penerbangan dari Bandara Husein Sastranegara, Bandung akan dialihkan ke Kertajati secara bertahap dalam kurun waktu satu tahun.
Pada kesempatan ini, Jokowi juga menyebut ada investor dari beberapa negara yang berminat untuk menanamkan modalnya di BIJB Kertajati ini.
“Saya tidak bisa menyebutkan dari negara mana, dan investornya siapa karena ini masih dalam proses. Tapi ada beberapa negara, tidak hanya satu. Dan kita harapkan nanti sebelum Oktober sudah selesai. Harapan akhir adalah traffic-nya semakin padat,” ungkap Jokowi usai meninjau BIJB Kertajati, Majalengka, Jawa Barat, Selasa (11/7).
Presiden menjelaskan, salah satu penyebab “mati suri” bandara ini karena molornya penyelesaian jalan tol Cileunyi-Sumedang-Dawuan, yang menjadi pendukung bandara itu, terkait masalah pembebasan lahan.
“Kita harapkan dengan upaya-upaya yang kita lakukan ini plus dengan telah selesainya dan diresmikannya tol Cisundawu, sehingga jarak tempuh antara Bandara Kertajati dan Bandung hanya kurang lebih satu jam, ini juga akan mempercepat perkembangan Bandara Kertajati,” jelasnya.
Berorientasi Prestasi Politik
Pengamat penerbangan Alvin Lie menilai salah satu alasan mengapa banyak bandara yang “mati suri” pada era Presiden Jokowi adalah karena proyek tersebut dibangun tidak berorientasi kepada kebutuhan pasar dan konsumen.
“Bandara itu hanya sebuah gerbang masuk dan keluar. Yang penting bukan bandaranya tapi, what is beyond the airport? Setelah Bandara Kertajati terus mau kemana? Ada daya tarik apa di sekitar Kertajati? Apakah ada industri? Ada pusat perdagangan? Atau pusat pertanian? Atau pariwisata? Pemerintah sendiri tidak pernah mempromosikan, yang dipromosikan hanya bandaranya saja. Tapi kawasan di sekitar Kertajati ada apa?,” ungkap Alvin.
Lebih jauh, Alvin mengatakan membangun sebuah bandara tidak bisa hanya sekadar membangun fisiknya. Namun juga bagaimana membangun sebuah ekosistem di sekitar kawasan bandara itu sendiri. Ia mencontohkan, Bandara Soekarno Hatta di Cengkareng yang sudah terbentuk ekosistemnya sehingga fasilitas pendukung yang ada bisa dinikmati oleh konsumen, seperti adanya hotel, perumahan untuk pekerja bandara, pusat perbelanjaan dan sebagainya.
Ia membeberkan, banyak bandara di berbagai daerah yang bernasib sama dengan BIJB Kertajati, seperti halnya Bandara Ngloram di Kecamatan Cepu dan Bandara Jenderal Soedirman di Purbalingga. Banyak maskapai penerbangan komersil “dipaksa” terbang untuk melayani rute tersebut, tetapi akhirnya berhenti karena tidak kuat menanggung kerugian yang ada dengan sepinya penumpang.
Maka dari itu, ia menyarankan kepada pemerintah jangan membangun sebuah bandara hanya karena faktor politis semata.
“Sekali lagi, ini gagal karena tidak berorientasi pada konsumen. Konsumen maunya apa? Ada kebutuhan tidak di sana? Saya melihat bandara-bandara ini dibangun lebih untuk prestasi politik,” kata Alvin.
Terkait BIJB Kertajati sendiri ia melihat upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk menyelematkan bandara ini masih realistis. Ia pun mengingatkan pemerintah untuk tidak tergesa-gesa menginginkan lalu lintas bandara naik secara cepat. Proses operasional dari sebuah bandara, katanya, tidak bisa instan.
Senada dengan Alvin, pengamat penerbangan Chappy Hakim menilai bahwa faktor politis adalah salah satu penyebab utama industri penerbangan di Tanah Air tidak bisa berkembang dengan baik. Padahal, katanya, industri penerbangan ini membutuhkan peta jalan dan cetak biru yang jelas, agar realisasi di lapangan bisa berjalan dengan konsisten, berkesinambungan dan berkelanjutan.
“Stakeholders di bidang penerbangan harus duduk bersama menyusun ulang blue print, menyusun ulang master plan, menyusun rencana jangka panjang,” ujarnya.
“Masalahnya elite kita terjebak dengan kontrak lima tahunan, jadi proyek yang ada orientasinya lima tahunan, tidak ada yang lebih dari itu visi berpikirnya. Tersandera dengan pola berpikir pilkada dan pilpres. Itu sebabnya mau buru-buru saja, begitu bikin tidak terpakai, kan banyak contohnya hal-hal seperti itu. Padahal bidang penerbangan atau bidang high tech yang sifatnya memerlukan investasi jutaan dolar itu tidak bisa lima tahunan, harus long term. Paling tidak 25 tahun perencanaan itu,” imbuh Chappy. [gi/ab]
You must be logged in to post a comment Login