PERISTIWA
Kekerasan di Myanmar dan Sengketa Laut akan Dominasi Pembicaraan ASEAN

Konflik yang berkepanjangan di Myanmar, ketegangan di Laut China Selatan yang disengketakan, dan kekhawatiran mengenai penumpukan senjata di wilayah tersebut diperkirakan akan mendominasi agenda ketika para menteri luar negeri Asia Tenggara berkumpul untuk melakukan pembicaraan pada pekan ini di Indonesia.
Invasi Rusia ke Ukraina dan persaingan Amerika Serikat (AS)-China juga akan mendapat sorotan karena Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov dan Menteri Luar Negeri China Qin Gang berpartisipasi sebagai mitra dialog menteri-menteri luar negeri ASEAN di Jakarta.
Korea Utara belum mengatakan apakah menteri luar negerinya, Choe Son Hui, akan menghadiri Forum Regional ASEAN, yang merupakan pertemuan keamanan regional tahunan tersebut.
Juga tidak jelas siapa di antara tokoh-tokoh kunci dalam konflik paling keras di dunia yang akan bertemu di sela-sela pertemuan tingkat menteri kelompok itu.
Para menteri luar negeri ASEAN, yang meliputi Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, akan bertemu pada Selasa (11/7) dan Rabu (12/7) sebelum mitra Asia dan Barat mereka bergabung dalam diskusi pada Kamis (13/7) dan Jumat (14/7).
Didirikan pada tahun 1967, negara-negara anggota ASEAN telah disatukan selama beberapa dekade oleh prinsip-prinsip dasar noncampur tangan dalam urusan domestik masing-masing dan pengambilan keputusan berdasarkan konsensus. Namun, pendekatan itu juga menghalangi blok 10 negara itu menangani dengan cepat krisis yang meluas yang melintasi perbatasan.
Prinsip-prinsip ASEAN telah diuji sejak militer Myanmar merebut kekuasaan dari pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021 dan menjerumuskan negara itu ke dalam kekacauan yang banyak menelan korban jiwa.
Lebih dari 3.750 warga sipil, termasuk aktivis prodemokrasi, telah tewas oleh pasukan keamanan dan hampir 24.000 ditangkap sejak pengambilalihan militer, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok HAM yang menghitung jumlah penangkapan dan korban tersebut.
Pemerintah militer Myanmar sebagian besar telah mengabaikan rencana lima poin yang disepakati oleh para kepala negara ASEAN yang mencakup penghentian segera kekerasan dan dialog di antara semua pihak yang bertikai. Pengabaian tersebut mendorong kelompok regional itu untuk mengambil langkah hukuman yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan melarang para pemimpin militer Myanmar dari pertemuan tingkat tinggi, termasuk pertemuan tingkat menteri, yang akan diselenggarakan oleh Indonesia.
Sejak menjabat sebagai ketua bergilir ASEAN tahun ini, Indonesia telah memulai sekitar 110 pertemuan dengan kelompok-kelompok di Myanmar dan memberikan bantuan kemanusiaan untuk membangun kepercayaan, kata Menteri Luar Negeri Indonesia Retno Marsudi. Ia menambahkan bahwa kekerasan yang berkelanjutan akan merusak upaya untuk mengembalikan bangsa ke keadaan normal di dalam ASEAN.
“ASEAN masih sangat prihatin dengan meningkatnya penggunaan kekerasan di Myanmar yang mengakibatkan jatuhnya korban sipil dan rusaknya fasilitas umum,” kata Retno dalam jumpa pers, Jumat. “Ini harus segera dihentikan.”
Dua bulan lalu, sebuah konvoi bantuan — yang didampingi perwakilan kedutaan Indonesia dan Singapura untuk misi ASEAN – dihujani tembakan oleh orang-orang tak dikenal di Negara Bagian Shan, Myanmar Timur. Sebuah tim keamanan membalas tembakan dan sebuah kendaraan keamanan rusak, tetapi tidak ada seorang pun dalam konvoi yang terluka, lapor televisi pemerintah MRTV.
ASEAN berada di bawah tekanan internasional untuk mengatasi krisis di Myanmar secara efektif. Namun, para anggota ASEAN tampak terpecah tentang bagaimana melaksanakannya. Beberapa merekomendasikan untuk meringankan tindakan hukuman yang bertujuan mengisolasi para jenderal Myanmar dan mengundang diplomat dan pejabat tinggi kembali ke pertemuan tingkat tinggi.
Retno menekankan, kelompok tersebut akan terus fokus untuk menegakkan rencana lima poin para pemimpin ASEAN.
Sebuah draf komunike pascapertemuan yang akan dikeluarkan oleh para menteri luar negeri ASEAN tetap kosong tentang Myanmar, yang mencerminkan sulitnya mencapai kesepakatan tentang masalah tersebut. Kekhawatiran mereka atas isu-isu kontroversial lainnya, seperti sengketa Laut China Selatan, dimasukkan ke draf tersebut, yang salinannya diperoleh Associated Press.
Dewi Fortuna Anwar, direktur lembaga kajian Habibie Center yang berbasis di Jakarta, mengatakan situasi di Myanmar bisa menjadi masalah jangka panjang seperti halnya sengketa Laut China Selatan mengingat kapasitas ASEAN yang terbatas untuk menyelesaikannya. Namun, blok tersebut harus mencoba meyakinkan pemerintah militer Myanmar bahwa mereka memiliki pilihan yang lebih baik, katanya.
“Militer Myanmar keras kepala. Tekad mereka untuk mempertahankan kekuasaan tidak akan bertahan lama karena hanya akan menyulut konflik,” kata Dewi Fortuna kepada AP.
Tahun depan, Myanmar dijadwalkan mengambil peran mengoordinasikan keterlibatan ASEAN dengan Uni Eropa. Tetapi Uni Eropa, yang telah memberlakukan sanksi terhadap pemerintah militer, menentang peran seperti itu untuk Myanmar, kata dua diplomat Asia Tenggara kepada AP dengan syarat anonim karena mereka tidak memiliki wewenang untuk membahas masalah ini secara terbuka.
Mengenai konflik Laut China Selatan, para menteri luar negeri ASEAN diperkirakan akan memperbarui seruan untuk menahan diri “dalam melakukan kegiatan yang akan memperumit atau meningkatkan perselisihan dan memengaruhi perdamaian dan stabilitas,” menurut draf komunike tersebut, mengulangi bahasa yang digunakan di masa lalu yang tidak menyebutkan nama China.
Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam telah lama terlibat dalam konflik teritorial dengan China dan Taiwan selama beberapa dekade. ASEAN dan China telah menegosiasikan pakta nonagresi yang bertujuan untuk mencegah eskalasi perselisihan, tetapi pembicaraan tersebut menghadapi penundaan selama bertahun-tahun.
Perairan yang disengketakan itu telah menjadi masalah sensitif dalam persaingan antara China dan Amerika Serikat.
Washington telah menantang klaim teritorial Beijing yang luas dan secara teratur mengerahkan kapal-kapal perang dan jet-jet tempur dalam apa yang disebutnya kebebasan navigasi dan patroli penerbangan yang telah membuat marah China.
Negara-negara Barat dan Eropa lainnya telah mengerahkan kapal angkatan laut untuk sesekali berpatroli di jalur air yang sibuk itu, tempat sebagian besar transit perdagangan dunia, dengan seruan serupa untuk perdagangan dan mobilitas tanpa hambatan.
Tindakan China yang semakin agresif telah mendorong negara-negara lain untuk meningkatkan pertahanan teritorialnya.
“Kami menyatakan keprihatinan tentang meningkatnya perlombaan senjata dan proyeksi kekuatan angkatan laut di kawasan, yang dapat menyebabkan salah perhitungan, meningkatnya ketegangan, dan dapat merusak perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan,” kata para menteri luar negeri ASEAN tanpa merinci dalam draf komunike mereka, yang kata-katanya masih dapat dinegosiasikan dan dapat berubah.
Dewi Fortuna Anwar mengatakan tidak ada solusi yang terlihat untuk sengketa Laut China Selatan dan ASEAN hanya dapat mengambil langkah-langkah yang membantu mencegah terjadinya konflik besar-besaran.
“Kami berharap China akan melepaskan klaim ini, tetapi Anda jangan berharap terlalu banyak,” katanya. [ab/uh]

You must be logged in to post a comment Login