PERISTIWA
Kisah Diaspora Indonesia dan Impian Amerika Mereka
Ada berbagai alasan ketika orang memutuskan menjadi warga negara Amerika, di antaranya mewujudkan American dreams atau impian Amerika mereka.
Warga negara Amerika pada umumnya mengenal istilah American dream atau impian Amerika. Ini adalah keyakinan bahwa siapa pun dapat mencapai keberhasilan di tengah masyarakat terlepas dari latar belakang atau asal usul mereka. Istilah ini pertama kali dibukukan oleh sejarawan James Truslow Adams dalam buku laris terbitan tahun 1931, Epic of America. Impian ini, lanjut Adams, diyakini dapat diraih melalui pengorbanan, keberanian mengambil risiko dan bekerja keras.
Marfizal Munir adalah salah satu contoh mengenai impian Amerika yang mewujud. Ia memutuskan pindah ke Amerika setelah melihat langsung situasi Jakarta yang mengerikan pada waktu kerusuhan 1998 terjadi.
“Saya sudah mengalami beberapa kerusuhan, mulai dari Malari, kerusuhan tahun ‘78, dan yang ‘98 ini yang terburuk bagi saya karena kebetulan saya sudah punya anak waktu itu. Sekar umurnya 4 tahun. Jadi saya memutuskan untuk pergi ke luar negeri waktu itu. Kalau bisa anak saya jangan sekolah di Indonesia lagi,” kata Marfi.
Kerusuhan tersebut melengserkan penguasa saat itu, Suharto. Tempat kerjanya, salah satu perusahaan milik putra Suharto, otomatis ditutup. Tahun berikutnya, dengan dorongan temannya di Amerika, ia memutuskan datang ke negara ini dan berniat mencari kerja apa saja. Setelah ia meyakinkan diri bahwa situasi di Amerika memungkinkan keluarganya tinggal di sana, sebulan kemudian istri dan putri semata wayangnya tiba di tanah impian.
Demi anak
Apa impian Amerikanya?
Marfi mengatakan, “Sederhana sekali. Saya mau anak saya mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada saya. Saya membawa dia ke AS untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan mendapatkan kesempatan hidup yang lebih baik.”
Kota tempat tinggalnya, Fairfax, di negara bagian Virginia, kebetulan memiliki salah satu sistem pendidikan yang terbaik di AS. Untuk memudahkannya menggapai impian, ia memutuskan menjadi warga negara AS.
Menurut Marfi, impian Amerikanya kini telah terwujud melalui apa yang dicapai putrinya. Selain mendapat pendidikan yang baik, sang putri juga sudah menikah dengan suami yang baik, seiman dan seprofesi.
Bisnis jelas dan tertib
Nurma Tipton tinggal di Baltimore, Maryland. Ia pertama kali datang ke AS pada tahun 2001 dengan visa turis. Sebelum menetap di AS, perempuan asal Sumbawa ini memiliki usaha konveksi baju anak-anak untuk diekspor ke Afrika. Kesenangannya berbisnis tidak dapat dihentikan setelah ia bermukim di Amerika. Setelah menjalani berbagai pekerjaan, ia kemudian menekuni usaha restoran. Bisnis terbarunya yang ia kembangkan sejak setahun lalu adalah towing atau mobil derek.
Satu impian Amerikanya adalah tidak lagi memiliki rasa waswas ketika mengurus berbagai hal, termasuk dalam berbisnis. Menurut Nurma, menjadi warga negara AS mempermudahnya melakukan berbagai urusan bisnisnya.
Nurma mengatakan, “Saya suka berusaha. Untuk ke pemerintah federal, itu mempermudah. Kita bisa masuk ke pemerintah federal. Intinya memudahkan kita untuk masuk ke segala bidang.”
Impian Amerikanya bisa dibilang telah terwujud. Urusan bisnisnya dapat berlangsung secara tertib dan jelas. Mengacu pada pengalamannya di Jakarta, Nurma mengatakan, “Belum kita jual barang, kita sudah dipalakin duluan. Kalau di sini tidak ada istilah itu. Resmi. Jadi kalau kita memang harus bayar fee, fee-nya untuk apa, jelas begitu.”
Kerja keras
Alasan beralih kewarganegaraan seperti yang dikemukakan Nurma juga disampaikan oleh Dita Heruntoro. Pemilik Nagoya Café di kota Baton Rouge, Louisiana ini mengaku masih sangat nasionalis dan sangat mencintai Indonesia. Tetapi, lanjut Dita, “Saya memutuskan jadi warga negara sini karena saya punya bisnis, jadi lebih gampang mengurusi apa-apa.”
Dengan menjadi warga negara Amerika, Dita juga merasa lebih leluasa membantu komunitas Indonesia, termasuk membantu memberikan sponsor bagi warga negara Indonesia baru-baru ini.
Lalu apa yang ia yakini dengan impian Amerikanya?
“Menurut pribadi saya sendiri, kalau di sini mau bekerja keras, semua bisa tercapai. Semua gampang tercapai. Itu yang saya alami sendiri seperti itu,” ujarnya.
Dita datang dengan visa kerja pada tahun 2009. Lelaki berusia 39 tahun ini baru belajar memasak dan menjadi chef di Amerika. Setelah menikahi perempuan asal Indonesia juga pada tahun 2013, ia mulai membuka bisnis restoran hidangan Jepang pada tahun 2016. Ketika berbincang dengan VOA pada suatu malam akhir pekan baru-baru ini, Dita, bersama 9 karyawannya, baru saja mengakhiri kesibukan melayani pengunjung yang memenuhi restoran berkapasitas hampir 200 tamu itu. Dengan kerja kerasnya, dalam waktu ia akan membuka sebuah restoran lagi.
Bekerja standar cukupi hidup
Sinta Wati dan suaminya datang ke Amerika pada tahun 2000-an dengan membawa impian dapat bekerja dan memenuhi kebutuhan hidup pada usia mereka yang di atas 40. Di tanah leluhur, bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup tidak mudah bagi mereka yang berusia lanjut, bahkan kerap dibatasi usia tertentu.
Ia menjelaskan, “Ya kita coba, cari di mana yang kira-kiranya kita bisa masih bekerja untuk mempertahankan kehidupan kita. Sampai [pilihan] kita akhirnya jatuhnya ke Amerika. Di sini semua tentu sudah tahu. Bahwa di sini, kalau untuk bekerja yang standar saja, tidak usah yang hebat-hebat, yang standar kita sajalah umumnya, itu kan lebih gampang kalau cuma untuk kehidupan saja, cuma buat makan.“
Di Amerika, sang suami dapat kembali bekerja di hotel seperti pekerjaan lamanya di Indonesia. Sinta sendiri sempat bekerja antara lain di panti wreda sebelum dikenal berkat masakan pempeknya. Mengawali usaha pempeknya di Maryland, warga Florida ini mengaku masih mendapat pesanan dari berbagai penjuru Amerika.
Seperti Nurma dan Dita, ia menganggap beralih kewarganegaraan memudahkannya dalam menjalani kehidupan di Amerika. Namun ia mengakui bahwa keinginan beralih itu muncul setelah menghadapi kesulitan dan kekecewaan saat mengurus surat dan dokumen, terutama perpanjangan paspor Indonesia, di Amerika.
“Hal-hal untuk mengurus surat-surat Indonesia itu kok kayaknya nggak semudah yang dibayangkan. Akhirnya kita memutuskan, seperti yang anak saya bilang, ya sudahlah kalau begini, mendingan jadi US citizen saja,” jelasnya.
Hari Kemerdekaan dan perayaannya
Setelah memandang dengan kacamata warga negara Amerika, para diaspora Indonesia ini umumnya berpendapat tidak ada yang berubah di Amerika sejak mereka menetap dan menjadi warga negaranya.
“Yang penting kita respek pada orang lain. Intinya, kita respek pada orang lain, maka semua akan respek ke kita. Kemudian, kalau kita bekerja keras, pasti akan memetik hasilnya,” kata Dita.
Dita menganggap penting perayaan Hari Kemerdekaan AS setiap 4 Juli karena ia benar-benar merasakan kebebasan dan kemerdekaan di Amerika. Untuk merayakannya, ia biasa menutup restorannya selama 4-5 hari untuk berlibur bersama keluarga dan karyawannya. Tahun ini, mereka berlibur bersama ke Florida.
Sebagai pengusaha, Nurma merasakan ada penurunan sedikit pada ekonomi Amerika belakangan ini. Meskipun tidak terlalu signifikan, ia merasa kelesuan ekonomi sedikit banyak berdampak ke daya beli konsumen. Karena itu ia menginginkan Amerika yang lebih maju dan kuat ekonominya. Bagaimanapun, Amerika tetaplah negara di mana banyak sekali peluang kerja dan peluang usaha tersedia, yang terus menjanjikan harapan bagi rakyatnya yang masih memiliki impian Amerika mereka.
Kata Nurma, “Dulu kita istilahnya sudah bekerja setengah mati belum tentu bisa membeli mobil mewah. Di sini, kita masih kuli saja, istilahnya, sudah mampu membeli mobil mewah. Bagaimana tidak menjanjikan?”
Situasi selama beberapa tahun ini tidak menyurutkan kegembiraannya merayakan Hari Kemerdekaan Amerika bersama dengan komunitas Indonesia di Baltimore. Kumpul bersama, memasak daging panggang, juga makan-makan masakan Indonesia – selera yang tak tergantikan oleh menu Barat, hingga menonton kembang api, merupakan tradisi komunitasnya.
Sementara itu Marfi dan Sinta menganggap karena telah menjadi warga negara AS, mereka respek dan ikut berpartisipasi merayakan Hari Kemerdekaan negara baru mereka. Namun Marfi menegaskan bahwa baginya acara ini hanya suatu selebrasi. Seperti orang Amerika pada umumnya dan setelah putrinya hidup mandiri, ia biasa berkumpul dengan teman-temannya untuk menonton pesta kembang api dan memasak daging panggang.
Soal apakah masih memungkinkan bagi orang-orang untuk memiliki impian di Amerika, Marfi yang pekerjaan terakhirnya adalah pengajar bahasa Indonesia untuk para diplomat AS yang akan ditugaskan di Indonesia, mengatakan, “Masih. Hanya satu syaratnya, harus bekerja keras, dan berkomitmen. Punya komitmen.”
Selaras dengan keinginannya bagi Amerika mendatang yang lebih baik, Marfi memastikan diri untuk mengikuti setiap pemilu. Ia berharap wakil rakyat pilihannya akan melakukan kerja terbaik untuk menangani masalah-masalah sulit yang masih terus dihadapi Amerika, termasuk di antaranya pengawasan kepemilikan senjata api dan tuna wisma.
Sementara itu Sinta dan suaminya merasa faktor usia membuat mereka tidak se-excited sewaktu mereka berusia lebih muda dalam menyambut acara 4 Juli. Meski begitu, untuk tahun ini, Sinta terus menyelipkan harapan, “Amerika tetap baik, Amerika dalam keadaan baik, Amerika semakin diberkati.” [uh/ab]
You must be logged in to post a comment Login