PERISTIWA
Jika Ada Bukti Kuat, Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu Bisa Kembali Diselesaikan Lewat Proses Hukum
Masih terbukanya kesempatan untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu secara yudisial diisyaratkan Presiden Joko Widodo ketika meluncurkan program pelaksanaan rekomendasi penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat masa lalu di Indonesia, di Rumah Geudong Kecamatan Glumpang Tiga Kabupaten Pidie, Aceh, Selasa (27/6).
“Langkah yudisial itu apabila bukti-buktinya kuat. Komnas HAM akan menyampaikan ke Kejaksaan Agung, kemudian juga persetujuan dari DPR, berarti bisa berjalan. Saya kira, dua-duanya bisa berjalan tetapi kita ingin yang non yudisial dulu yang bisa bergerak langsung kita selesaikan,” ungkap Jokowi.
Sementara penyelesaian non yudisial yang dilakukan oleh pemerintah saat ini difokuskan pada pemulihan hak korban, tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.
“Awal Januari yang lalu saya telah memutuskan bahwa pemerintah menempuh penyelesaian non yudisial, yang fokus pada pemulihan hak-hak korban tanpa menegasikan mekanisme yudisial. dan hari ini kita bersyukur, alhamdulilah bisa mulai direalisasikan pemulihan hak-hak korban pelanggaran HAM yang berat di 12 peristiwa yang sekaligus menandai komitmen bersama untuk melakukan upaya-upaya pencegahan agar hal serupa tidak akan pernah terulang kembali di masa yang akan datang,” ungkap Jokowi.
Program ini, kata Jokowi, merupakan langkah awal yang dimulai dari para korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh yang mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan keterampilan kerja, jaminan hak untuk kesehatan, jaminan keluarga harapan, perbaikan tempat tinggal serta pembangunan fasilitas-fasilitas umum lainnya.
Setidaknya ada tiga pelanggaran HAM berat masa lalu di Aceh yang masih menggelayuti sebagian warga Aceh, yaitu tragedi pembantaian di Rumah Geudong, Pidie, selama konflik bersenjata tahun 1989-1998, insiden penembakan berdarah di Simpang KKA-Lhokseumawe, Aceh Utara pada 3 Mei 1999; dan kasus pembantaian belasan warga sipil di Jambu Keupok, Aceh Selatan pada 17 Mei 2003.
Sebagian Keluarga Korban Menolak Penyelesaian Non Yudisial
Ibu korban Peristiwa Semanggi I, Bernardinus Realino Norma Irmawan atau yang biasa disapa Wawan, Maria Catarina Sumarsih, kepada VOA mengatakan penyelesaian non yudisial pelanggaran HAM berat masa lalu ini merendahkan martabat manusia. Ia menyayangkan bahwa pemerintah menghargai nyawa manusia dengan hanya memberikan materi kepada korban atau ahli warisnya.
Kebijakan ini, katanya, merupakan sebuah langkah kekeluargaan atau kompromi yang tidak memberikan jaminan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM berat baru di masa depan. Sumarsih menekankan sebagai proses rekonsiliasi, sedianya mereka yang melanggar HAM diadili. Dengan demikian, pelanggaran HAM berat masa lalu tidak menjadi beban politik bagi bangsa dan negara.
“Harapan saya, pernyataan Presiden soal penyelesaian non yudisial ini tanpa menegasikan upaya yudisial ini segera diwujudkan. Saya berharap agar Tragedi Semanggi I dan Semanggi II dipertanggungjawabkan di pengadilan HAM ad hoc. Saya sadar bahwa hal itu bakal sulit terwujud karena Presiden Jokowi melibatkan pelaku pelanggar HAM berat di dalam Tim PPHAM,” ungkap Sumarsih.
Ia mengatakan pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu adalah aparat negara. Alat-alat bukti, katanya sudah ada di tangan pemerintah, dan ada berbagai alat-alat bukti yang memiliki masa kadaluarsa dalam penyimpanannya. “Jadi, masalah pelanggaran HAM berat diselesaikan atau tidak diselesaikan tergantung dari kemauan dan keberanian pemerintah,” tuturnya.
Indonesia, ujar Sumarsih, sebenarnya telah membuat peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM. Lembaga yang akan menanganinya pun sudah dibentuk.
“Mekanisme penyelesaiannya jelas, yaitu Komnas HAM melakukan penyelidikan, Kejaksaan Agung menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM ke tingkat penyidikan. Bila hasil penyidikan yang dilakukan oleh Jaksa Agung terbukti terjadi pelanggaran HAM berat maka DPR RI membuat rekomendasi agar Presiden menerbitkan Keppres pembentukan pengadilan HAM ad hoc,” jelasnya.
“Oleh karena itu saya menolak penyelesaian non-yudisial, dengan pertimbangan diantaranya, penyelesaian non-yudisial akan melanggengkan impunitas,” pungkasnya.
KontraS : Program Pemerintah Jauhkan Penyelesaian Hukum
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai bahwa program yang diluncurkan oleh pemerintah tersebut semakin menjauhkan penyelesaian yudisial yang menjadi harapan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM berat masa lalu.
Dalam siaran persnya, Wakil Koordinator Bidang Advokasi KontraS Tioria Pretty mengatakan sejak awal pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM), KontraS bersama jaringan korban, keluarga korban/penyintas memiliki sejumlah catatan dan kritik pada tim PPHAM.
Mulai dari dasar hukum, tupoksi, komposisi tim yang berisi setidaknya dua sosok bermasalah, tidak munculnya kewajiban menuntut pertanggungjawaban para pelaku, hingga pertanyaan seputar efektivitas dan mekanisme kerja menurutnya patut dipertanyakan karena hanya berlangsung dalam hitungan bulan.
“Dalam waktu yang sangat terbatas oleh Keppres, upaya untuk menuntaskan pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam rentang waktu setidaknya 40 tahun di Indonesia terasa semakin dangkal,” ungkap Pretty.
Ia menjelaskan, sejak Tim PPHAM mengeluarkan rekomendasi dan pidato pengakuan Presiden, Komnas HAM dan Kejaksaan Agung masih juga tidak meningkatkan koordinasi untuk memastikan dimulainya penyelidikan kasus pelanggaran HAM berat.
“Seolah kedua lembaga tersebut larut dalam euforia PPHAM dan pidato Presiden sebagaimana terjadi pada beberapa lembaga Negara lain tanpa menyadari bahwa sesungguhnya setengah tahun telah berlalu tanpa satupun hak korban telah dipenuhi oleh rekomendasi PPHAM, baik hak atas penuntutan, pengungkapan kebenaran, reformasi institusi tangan kanan penguasa otoriter Soeharto, juga pemulihan yang selama ini menjadi promosi besar-besaran Tim PPHAM,” katanya.
Menurutnya, bentuk pemulihan harus disertai dengan pengungkapan kebenaran karena pemulihan yang dijalankan dapat menghilangkan prinsip dasarnya yakni pengakuan terhadap adanya pelanggaran berat HAM yang sebelumnya tidak diakui, dan pengakuan atas harkat korban dan keluarganya. Hal ini berpotensi melanggengkan impunitas bagi pelaku pelanggaran HAM berat.
“Terlebih, pemberian pemulihan yang tidak menyeluruh seperti ini akan menjadi bahaya laten terhadap berbagai penuntasan kasus apapun di masa depan tanpa dibarengi pengungkapan kebenaran,” tambahnya.
Untuk itu KontraS mendesak Presiden Jokowi untuk mendorong penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu melalui mekanisme yudisial dengan menggunakan UU No. 26 Tahun 2000. Presiden, tambahnya, dapat memerintahkan Jaksa Agung untuk segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM.
Kedua, Pemerintah diminta menghentikan intimidasi dan teror dari sejumlah pihak utamanya aparat negara terhadap korban, keluarga korban dan penyintas selama implementasi rekomendasi Tim PPHAM.
“Ketiga, pemerintah melakukan penuntasan pelanggaran HAM berat secara menyeluruh lewat proses hukum, pengungkapan kebenaran, pemulihan para penyintas dan keluarga korban serta menjamin ketidak berulangan pelanggaran HAM berat berikutnya di masa depan dengan reformasi sektor keamanan menyeluruh,” pungkasnya. [gi/em]
You must be logged in to post a comment Login