Connect with us

PERISTIWA

RUU Kesehatan Tidak Mungkin Penuhi Keinginan Semua Pihak

Published

on

Wakil Presiden Ma’ruf Amin mengatakan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (omnibus law) belum final atau masih berbentuk rancangan. Oleh karena itu pembahasan RUU Kesehatan ini masih akan melibatkan para pemangku kepentingan terkait. Hal ini disampaikan Ma’ruf merespon kritik dan ancaman mogok para dokter karena tidak setuju dengan RUU Kesehatan.

“Ini masih rancangan yang harus dibahas melibatkan semua pihak terkait,” ujar Ma’ruf Amin di Jakarta, Selasa (21/6).

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menguatkan pernyataan Ma’ruf Amin. Menurutnya, RUU Kesehatan merupakan inisiatif DPR dan telah melibatkan organisasi profesi, serta dokter dalam pembahasan. Selain itu, kata dia, pelibatan tersebut juga dilakukan pemerintah dengan melibatkan para pemangku kepentingan terkait. Namun, Budi Gunadi Sadikin menyampaikan bahwa pemerintah tidak mungkin memenuhi keinginan semua pihak dalam pembuatan UU ini.

“Dari puluhan ribu yang ikut dan memberi masukan, ada yang diterima, ada yang tidak diterima di UU. Ada juga dimasukkan di aturan di bawahnya. Saya rasa dalam demokrasi itu wajar,” ujar Budi Gunadi Sadikin.

Fakta menarik dan bermanfaat

Budi Gunadi Sadikin menyebut fokus pembuatan UU ini untuk kepentingan masyarakat. Ia juga mengingatkan ke para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan tentang amanah mereka untuk melayani masyarakat. Karena itu, ia berharap para dokter dan tenaga kesehatan dapat memberikan layanan terbaik jika UU ini disahkan.

Koalisi Masyarakat Sipil Serukan Penangguhan Pengesahan RUU Kesehatan

Sebelumnya, lebih dari 40 organisasi masyarakat sipil, yang tidak terkait langsung dengan dokter atau tenaga kesehatan mendesak DPR dan pemerintah untuk menunda pengesahan RUU Kesehatan. Puluhan organisasi ini tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Akses Kesehatan.

Perwakilan koalisi, Bivitri Susanti mengatakan metode pembuatan undang-undang dengan omnibus law telah ditinggalkan di sejumlah negara. Antara lain Selandia Baru, Jerman, Inggris, Kanada dan Amerika Serikat. Alasannya metode omnibus law menggunakan cara yang instan dalam mengubah UU. Akibatnya, banyak poin penting yang dibahas dalam omnibus law RUU Kesehatan luput dari perhatian para pemangku kepentingan terkait.

“Segala sesuatu yang instan seperti mie instan, dia cenderung tidak sehat dan berkelanjutan. Jadi begitu pula dengan perubahan instan melalui metode omnibus law,” ujar Bivitri Susanti secara daring pada Selasa pekan lalu (13/6).

Bivitri juga mengkritisi politik hukum yang digunakan dalam RUU Kesehatan, yang menempatkan kesehatan sebagai industri. Menurutnya, kesehatan merupakan bagian hak asasi dari manusia yang harus dilindungi. Kesehatan juga harus dapat diakses seluruh warga negara baik yang miskin atau mampu. Namun, kata Bivitri, kesehatan sebagai hak asasi manusia ini tidak tergambar dalam RUU Kesehatan.

Desakan yang sama juga disampaikan oleh Forum Dokter Peduli Ketahanan Kesehatan Bangsa (FDPKKB). Forum ini terdiri dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI), Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI), Ikatan Bidan Indonesia (IBI), dan Ikatan Apoteker Indonesia (IAI). Sejumlah poin yang ditolak FDPKKB di antaranya yaitu poin tentang penghapusan organisasi profesi dan kelembagaan sistem kesehatan. [sm/em]

Sumber: VOA

Click to comment

You must be logged in to post a comment Login

Leave a Reply