PERISTIWA
Dari Bagi Duit Hingga Sarung Pertamina, DPR sedang Melepas Topengnya
Entah sengaja atau keceplosan, komentar sejumlah anggota DPR beberapa waktu terakhir benar-benar mengejutkan. Mulai soal makan uang haram, bagi-bagi duit, hingga sarung Pertamina. Rakyat seolah sedang diperlihatkan wajah asli para wakilnya.
Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI P), Bambang Wuryanto, membuat publik tersenyum kecut, ketika menjawab permintaan Menkopolhukam Mahfud MD, dalam rapat 29 Maret 2023. Mahfud ketika itu menyebut, Indonesia harus mengesahkan dua Rancangan Undang-Undang untuk menekan tindak korupsi dan pencucian uang. Keduanya adalah RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Uang Kartal.
Senyum kecut muncul ketika Bambang menjawab soal pengesahan RUU Pembatasan Uang Kartal, yang dikhawatirkan menyulitkan anggota DPR membagi uang. “Kalau Pembatasan Uang Kartal, pasti DPR nangis semua. Mengapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet, cuma 20 juta lagi. Nggak bisa, Pak. Nanti mereka enggak jadi lagi,” ujarnya.
Anggota DPR Fraksi Gerindra, Ramson Siagian lebih parah lagi. Dalam rapat dengan Direktur Utama Pertamina 4 April 2023 lalu, dia menyebut insiden yang sering terjadi pada depo atau kilang, dipicu kurangnya derma dari Pertamina saat ini. Dulu, Ramson pernah menerima kiriman sarung untuk pemilihnya di Jawa Tengah. Tapi saat ini, ujar dia, tak ada lagi kiriman serupa.
“Kalau periode kemarin, pas Dapil saya butuh sarung, saya WA Bu Dirut langsung dikirim dua ribu sarung. Sekarang satu sarung pun sudah enggak bisa. Katanya harus ke Pak Erick semua,” ujarnya di tengah rapat.
Sebelumnya, politisi Partai Golkar Melchias Markus Mekeng juga membuat kontroversi, ketika mengatakan bahwa makan uang haram asal sedikit masih bisa dipahami.
“Kalau kita makan uang haram kebanyakan, akan dibuka oleh Tuhan dengan cara demikian. Kebanyakan dia makan uang haramnya itu. Kalau makan uang haram kecil-kecil, ya okelah,” katanya dalam rapat bersama Menteri Keuangan, 27 Maret 2023.
Mekeng menyampaikan itu, sebagai tanggapan atas kasus yang menimpa pegawai Ditjen Pajak, Rafael Alun Trisambodo.
Momentum Tentukan Pilihan
Komentar menggelitik disampaikan Ketua Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus ketika ditanya VOA soal ini.
“Saya kira, ini mungkin cara alam memberitahukan kepada khalayak, soal pentingnya untuk memilih anggota DPR yang punya kapasitas, punya integritas, di pemilu 2024,” kata Lucius.
Dia melanjutkan, “Sambil kemudian mencatat betul, anggota DPR sekarang kalau masih mau mencalonkan diri lagi, soal ketidaklayakan mereka, untuk dipilih kembali.”
Pernyataan-pernyataan anggota DPR itu, tidak muncul dari ruang kosong. Lucius menilai, pernyataan Bambang mengonfirmasi kecurigaan publik selama ini, bahwa Pemilu di Indonesia penuh permainan uang alias politik transaksional. Di sisi lain, pemilihnya juga sangat pragmatis, sehingga politik uang mendapatkan tempat. Soal bagi-bagi duit, merefleksikan bahwa mereka menang dan duduk di Senayan, bukan karena dipercaya tetapi karena membeli suara.
Keluhan soal sarung yang tak lagi datang dari Pertamina, juga membuktikan bahwa perusahaan plat merah rawan menjadi sapi perah politisi. “Saya kira ini juga praktik biasa. Pernah juga menghebohkan Indonesia, dulu di periode 2009-2014 juga gaduh oleh permintaan THR dari anggota Komisi Tujuh, waktu itu juga kepada Kementerian BUMN,” tambah Lucius.
Di satu sisi, pemerintah berupaya memperbaiki keadaan, di sisi lain anggota DPR berusaha mempertahankan praktik yang selama ini sudah terjadi. Dalam kasus sarung misalnya, Menteri BUMN Erick Thohir berupaya menghentikan praktik itu, sementara anggota DPR kesal dan menjadikannya bahan kritikan dalam rapat.
Begitupun, ketika pemerintah berupaya menekan angka tindak pidana pencucian uang dengan sebuah RUU baru, DPR justru tidak menjadikannya prioritas karena akan berdampak pada praktik buruk pengumpulan dukungan suara.
Fraksi dan partai, kata Lucius, punya peran memperbaiki situasi ini. “Mendisiplinkan, minimal memberikan kesadaran kepada anggota-anggotanya. Penting bagi fraksi untuk menertibkan anggota-anggotanya, agar mengatakan sesuatu yang bisa dipertanggungjawabkan di ruang sidang,” ujar Lucius lagi.
Lucius menekankan, jika partai dan fraksi tidak mengambil tindakan, maka rakyat sebagai pemilih yang harus bereaksi. Kurang dari satu tahun lagi, Pemilu akan diselenggarakan pada 14 Februari 2024. Apa yang dilakukan anggota DPR itu bisa menjadi dasar untuk menentukan, apakah akan memilih kembali atau tidak nama-nama tertentu di surat suara.
Di mata Lucius, anggota DPR saat ini sedang menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya. “Pernyataan-pernyataan yang nampak seperti guyonan itu, justru mengungkapkan apa yang sesungguhnya terjadi,” ujarnya.
Kekang dengan Hukum
Komentar-komentar para anggota DPR itu menjadi gambaran situasi politik Indonesia itu sendiri. Ketika diminta memberi perbandingan, Indonesianis dari Universitas New South Wales (UNSW), Sydney, Australia, Prof David Reeve mengatakan bahwa, untuk menekan penyimpangan perilaku, politisi harus dibatasi oleh hukum yang ketat.
“Harus ada banyak larangan, dalam hukum yang cukup spesifik dan terinci, tentang pelanggaran-pelanggaran dan bahwa kalau orang terbukti ketahuan, mereka harus keluar dari DPR,” jawab David ketika ditanya.
Praktik buruk apapun dalam politik, akan ditinggalkan hanya ketika hukuman yang mengancamnya cukup berat. Selain itu, para politisi juga harus dibuat percaya, bahwa jika mereka melanggar maka konsekuensinya akan besar. David juga mengingatkan, sistem pengawasan dengan sanksi hukum tegas lebih mempan dibanding soal baik buruknya sifat seorang politisi.
“Kalau politikus di Australia boleh berbuat begitu, pasti mereka akan melakukannya. Itu cuma sistemnya yang lebih ketat. Bukannya politikus di Australia lebih baik dari politikus disini, saya kira tidak. Itu karena struktur sistemnya, memaksa dengan menghukum,” tegasnya.
Tidak ada politisi yang berpolitik untuk mengabdi kepada negara, kata David. Mereka bertanding karena ingin menang dan berkuasa. Karena itulah, mereka akan memakai cara-cara yang membuat mereka bisa terus menang dan berkuasa.
David adalah penulis buku “Golkar : Sejarah yang Hilang, Akar Pemikiran dan Dinamika”, yang secara lengkap memotret partai itu sejak lahir hingga saat ini. Di masa Orde Baru, Golkar adalah pemain tunggal dalam praktik politik, yang kini umum dijalankan seluruh partai di Indonesia. Jika berbicara tentang legislasi, pengumpulan dana dari kementerian dan sejenisnya, maka hanya Golkar yang bisa melakukan di masa lalu.
Sekarang, semua partai melakukan itu. “Sekarang mereka punya kemampuan. Jadi mereka melakukannya,” tambahnya.
David mengingatkan, dominasi Golkar di masa Orde Baru tidak lepas dari kemampuan organisasi dan keuangannya. “Dulu Golkar kuat, karena punya mesin efektif melalui militer dan birokrasi. Jadi secara de facto, organisasi Golkar melalui departemen-departemen pemerintah dan militer, memang hadir dalam politik di segala lapisan, dari pusat sampai ke desa,” tegasnya.
Kini, kemampuan itu dimiliki politisi dari semua partai. “Jadi, mungkin sekarang jadi banyak yang menjadi lebih mirip dengan Golkar di masa lalu,” papar David yang juga seorang sejarawan.
Dia juga setuju, bahwa kondisi relatif masih sama. Praktik-praktik terkait uang dan politik, berkeliaran di lingkaran politisi dan partai itu sendiri. “Sepertinya belum berubah. Belum ada usaha kolektif untuk memberantasnya karena kebanyakan partai, menerima untung dari praktik itu. Jadi, entah kapan atau siapa yang akan memimpin usaha untuk mengubah keadaannya,” ujar David. [ns/ab]
You must be logged in to post a comment Login