PERISTIWA
Keberagaman Agama dan Etnisitas Harus Dipelihara dan Dipromosikan
Mereka juga berpendapat bahwa literasi agama perlu digalakkan, terutama karena sering terjadi politisasi agama dan etnis untuk kepentingan politik elektoral.
Dicky Sofjan, Ph.D., mengajar kajian antaragama di Konsorsium Indonesia untuk Studi Agama (Indonesian Consortium for Religious Studies/ICRS), yang merupakan kerja sama antara Universitas Gadjah (UGM), Universitas Islam Negeri Sunan Kalijogo dan Universitas Kristen Duta Wacana yang berbasis di Sekolah Pascasarjana, UGM. Guru Besar yang sering melanglang dunia dan memiliki berbagai jabatan di lembaga-lembaga internasional yang menggalakkan toleransi dan perdamaian antar umat manusia ini mengaku telah melakukan banyak penelitian tentang bidang yang diminati dan ditekuninya.
“Saya sudah agak lama belajar dan meneliti tentang agama, dan terus terang saya melihat bahwa keragaman itu bukan saja realitas sosial atau fakta sosial, tetapi memang bagian atau part in puzzle dari divine plan of Allah. Artinya bahwa semua keragaman dan pluralisme agama dan etnisitas itu merupakan bagian dari rencana suci Tuhan untuk umat manusia,” tuturnya.
Pemikiran demikian sesuai dengan misi ICRS yang ingin menjadi pusat pendidikan, penelitian dan kemitraan jenjang pascasarjana yang unggul dan disegani secara internasional, tetapi tetap mengakar pada kearifan lokal dalam kajian lintas agama, dan untuk mencapai tujuan itu telah berkolaborasi dengan beragam individu serta berbagai institusi pemerintah, lembaga pendidikan tinggi dan LSM, baik di dalam negeri maupun di manca negara.
Kerja sama luar negeri itu, menurut Dicky, benar-benar berskala internasional dan bersifat antaragama, termasuk dengan berbagai entitas di Australia, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Asia Timur, Eropa, Timur Tengah, serta Amerika Serikat. Kerja sama di Amerika dijalin dengan berbagai universitas dari ujung Pantai Barat hingga Pantai Timur, di antaranya mulai dengan Baylor University hingga Brigham Young University, dan Boston University, dengan Graduate Theological Union, hingga Goshen College, Georgetown University, dan George Washington University, dengan Hartford Seminary hingga Harvard University, dari Cornell University hingga Unity Theological Seminary, dan lain sebagainya.
Sebagai upaya memupuk dan mempererat jalinan kerja sama tersebut, ICRS secara rutin mengirim tim untuk melakukan tur ke negara Paman Sam. Lawatan tahun ini berlangsung selama tiga minggu, dari pertengahan Februari hingga minggu pertama Maret, dengan kunjungan, di antaranya ke Dallas dan Waco, Texas; Provo, Utah, Goshen, Indiana; Washington, D.C.; New York, New York; Hartford, Connecticut, dan Boston, Massachusetts.
“Jadi kami banyak sekali hubungan pertemanan antar universitas. Kami sering sekali mengirim mahasiswa kami ke beragam Universitas tersebut. Kami sering mengadakan joint conferences, joint workshops, dan juga joint research…Kami juga banyak sekali kerjasama dengan organisasi filantropi dan non-profit di Amerika ini. Misalnya yang berbasis di New York itu ada Henry Luce Foundation, ada Ford Foundation, ada Carnegie Council, dan juga sekarang kami ada kerjasama dengan (John) Templeton Foundation. Jadi terus terang kami banyak sekali hubungan pertemanan dan kemitraan dengan beragam institusi yang ada di Amerika,” kata Dicky.
Michael (“Mike”) Quinlan, Ph.D. berasal dari Baylor University di Waco, Texas, dan kini menjadi dosen tamu di ICRS. Dia mendampingi Dicky dalam kunjungan ke berbagai tempat di atas. Sebagai akademisi yang juga seorang pendeta Kristen, Mike mendukung berbagai program dan misi ICRS, yang didirikan pada tahun 2006 dan hingga kini telah melahirkan 58 doktor dari berbagai negara. Dia sependapat mengenai pentingnya pembelajaran dan pemahaman dalam hubungan antarumat beragama.
“Menurut saya sebagai orang Kristen dan juga sebagai pendeta, hubungan kita dengan tetangga atau saudara kita yang beragama lain itu sangat penting, dan ada banyak gereja, organisasi, universitas di Amerika yang sangat tertarik dengan isu-isu antaragama, seperti studi interreligious, juga bagaimana hubungan dengan orang lain di Indonesia, di Asia, di Timur Tengah,” ujar Mike.
Ketika kembali ke Amerika, Mike – yang pernah menimba pengalaman di Indonesia – ikut berperan menjadi pakar hubungan Muslim-Kristen dan biasanya berbagi pengalaman sebagai orang Kristen yang hidup dalam masyarakat dengan mayoritas agama lain. Menurutnya, dia berusaha membantu menanamkan pemahaman dan saling pengertian.
“Saya bisa membantu mereka (warga Amerika), bagaimana mereka bisa hidup bersama orang lain, bagaimana mereka bisa menerima migran luar negeri dengan baik, dengan cinta, dengan kasih karena menurut Alkitab itu sangat penting. Kami sebagai orang Kristen harus mengasihi pendatang, orang asing. Jadi, itu sangat penting,” tambahnya.
Mengenai keberagaman, Dicky mengatakan satu hal yang dilihatnya adalah bahwa dunia ini semakin multikultural dan global, dengan semakin banyak perjalanan dan pertemuan, serta perpindahan, baik manusia, barang, maupun jasa yang pada gilirannya membawa pengaruh pada cara pandang dan sikap para pelakunya dan masyarakat secara umum.
“Jadi sebenarnya hakikatnya bahwa dunia ini makin multikultural dan kita makin lebih banyak menemukan masyarakat-masyarakat yang makin beragam. Bahkan, saya juga sering ke Jepang misalnya, di Jepang yang tadinya kita kenal sebagai masyarakat yang homogen sekarang pun mereka banyak sekali menerima imigran dan tentu mereka juga membawa mental model yang berbeda, membawa agama yang berbeda, kultur yang berbeda, kebiasaan kebiasaan yang berbeda, dan lain sebagainya,” tukasnya.
Keberagamanan Sebagai Aset Nasional
Menurut Dicky, Indonesia sebagai sebuah negara yang sudah dipengaruhi oleh berbagai peradaban besar, seperti China, Arab, Persia, India, Barat dan sebagainya, “tentu secara genetika, di dalam DNA kita itu kita sudah terbiasa dengan yang namanya keberagaman dan itu sebagai aset.”
Walaupun demikian, dia mengakui bahwa dilihat dari konstelasi politik dan sosial saat ini memang ada pihak-pihak yang tidak menyukai keberagaman sebagai sebuah kenyataan, dan mereka masih berpikir dalam kotak-kotak tertentu secara etnis maupun agama.
“Pluralisme ini di satu sisi itu adalah satu kenyataan hidup, satu realitas sosial yang kita temukan di Indonesia, tetapi juga sebuah idealisasi, bahwa kita sangat ingin membangun masyarakat yang plural masyarakat yang paham dan bisa mengapresiasi, bahkan bisa menselebrasi keberagaman tersebut. Melalui politik elektoral dan seringkali ini terjadi secara siklikal sesuai dengan perkembangan politik di masyarakat dan negara kita, kita melihat sentimen-sentimen keagamaan yang dibawa ke dunia politik atau diskursus publik, dan ini tentu adalah satu masalah karena kita tetap ingin Indonesia ini menjadi negara yang plural, negara yang menselebrasi keragaman,” lanjutnya.
Agama Kerap Jadi Alat Politik Elektoral
Penyalahgunaan agama atau sentimen keagamaan dalam politik merupakan fenomena yang juga ditemukan di banyak negara, termasuk di Amerika, di kawasan Eropa, Timur Tengah, Afrika utara, Asia timur, dan Asia tenggara, termasuk juga di Indonesia. “Hal itu terjadi karena memang sangat mudah untuk memobilisasi orang dengan menggunakan sentimen keagamaan, dengan menggunakan simbol-simbol keagamaan yang bahasanya jauh lebih simplistik,” ujar Dicky.
“Biasanya kita bicara in terms of black and white (berkenaan dengan hitam dan putih), baik dan buruk, surga dan neraka, antara orang baik dan orang jahat,” ujar Dicky, seraya menambahkan bahwa “ini tentu mensimplifikasi logika-logika perpolitikan, tetapi logika-logika itulah yang sebenarnya paling efektif untuk dipakai untuk memobilisasi orang, khususnya orang-orang yang buta politik dan buta agama yang sebenarnya.”
Oleh karena itu dia menegaskan bahwa program literasi agama seperti yang dijalankan oleh ICRS begitu penting karena sistem pendidikan di Indonesia yang menurutnya masih mono agama. Dia mencontohkan, “yang Muslim hanya belajar Islam, yang Kristen hanya belajar Kristen, dan seterusnya.”
“Di Indonesia memang tidak ada jembatan bagi kita untuk mempelajari agama lain. Para politisi kita dan partai politik kita itu memahami hal ini dan mereka banyak mengeksploitasi fenomena ini, jadi politisi agama untuk kepentingan politik elektoral, yakni untuk menjadi alat untuk mendapatkan suara di sistem dan proses pemilu kita,” imbuhnya.
Mike Quinlan setuju mengenai perlunya literasi agama. Lulusan S3 dari ICRS ini memberikan contoh dari penelitian, khususnya tentang migrasi muslim di daerah mayoritas Kristen di Sumba dan Timor, NTT. Dalam penelitiannya, Mike mendalami tentang pengalaman mereka dan bagaimana host community, orang asli, menerima orang dari luar, dengan baik atau tidak.
“Toleransi di NTT itu sangat tinggi, mungkin hampir paling tinggi di seluruh Indonesia, tapi masih ada beberapa masalah. Ada masalah dengan literasi antar agama. Ada beberapa komunitas yang menerima migran muslim, tapi karena mereka tidak paham tentang aturan-aturan dari agama Islam, situasi bisa menjadi tensed, low intensity conflict (tegang, konflik intensitas rendah),” kata Mike.
Mike memberikan contoh sumber konflik itu misalnya dalam pesta pernikahan atau upacara kematian ketika penduduk asli mengundang tetangga baru yang beragama Islam. Mereka menghidangkan makanan berupa daging hewan yang dipotong oleh orang Kristen atau menawarkan minuman yang mungkin mengandung alkohol, yang mereka tolak karena tidak sesuai dengan syariat Islam sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
“Itu masalah pluralisme, masalah multi-kulturalisme atau metropolitanisme. Kita sebagai orang Kristen, sebagai orang muslim, sebagai orang Amerika, sebagai orang Indonesia harus berjuang bersama supaya komunitas kita bisa lebih tahu, lebih paham orang lain, agama lain, etnis lain, budaya lain.”
Menyinggung soal toleransi antar umat beragama, Mike mengatakan bahwa di Amerika agama lebih bersifat pribadi dan hal itu berbeda dengan di Indonesia.
“Kalau saya naik taksi (di Amerika) saya tidak akan bicara tentang agama saya atau agama sopir saya, tapi itu sering terjadi di Indonesia. Kalau saya naik gojek, pak gojek sering bertanya, ‘anda agama apa,’ tapi mungkin di Jogja itu masih sangat toleran, tidak ada masalah di antara agama-agama,” jelasnya.
Namun, Mike mengakui bahwa masih ada beberapa isu di antara kelompok pemeluk agama, terutama tergantung pada wilayah atau kota di mana seseorang tinggal.
“Saya sebagai minoritas, di Jogja itu tidak terasa karena hubungan tetap baik, tapi kalau saya ke NTT, mungkin suasana itu berbeda karena saya sebagai orang Kristen tidak usah takut. Kalau saya mau berkhotbah, saya tidak usah takut. Kalau saya mau melakukan pelajaran Alkitab di rumah teman saya mungkin saya tidak perlu takut. Tapi, di Jogja, saya punya berapa teman dari gereja saya, mereka berkumpul di rumah saya untuk pelajaran Alkitab, dan ada beberapa yang takut. Masih ada beberapa orang Kristen, beberapa orang dari agama minoritas lain yang masih memiliki perasaan sebagai minoritas. Pasti ada kebebasan agama, tapi level kebebasannya masih berbeda,” katanya.
Masyarakat Indonesia, tambah Dicky, berhadapan dengan realitas bahwa di satu sisi kita ini negara demokratis, yang menjamin kebebasan beragama, tapi kenyataannya di dalam kehidupan sosial dan relasi sosial ditemukan mentalitas mayoritas-minoritas terkait agama.
“Tentu saja kita tahu bahwa mayoritas masyarakat Indonesia itu muslim, tetapi kan itu hanya pada tataran nasional pada tataran banyak provinsi, misalnya kita ke Bali, muslim di sana adalah minoritas, misalnya kita ke Sulawesi Utara, muslim juga minoritas, Katolik juga minoritas. Jadi, kita perlu melihat permasalahan ini pada perspektif yang lebih besar lagi. Yang saya gunakan adalah istilah minoritisasi. Bagi saya minoritisasi itu lebih fungsional karena di situ jelas siapa yang meminoritisasi, siapa yang dijadikan korban dari minoritisasi itu dan kita bisa langsung tahu bahwa ada politisasi agama di situ.”
Mengenai masih sering terjadinya persekusi karena agama dan penanggulangannya, Dicky melihat bahwa dari tataran hukum, Indonesia menganut apa yang disebut dengan legal pluralism sehingga ada banyak hukum, mulai hukum positif nasional, hukum Islam, dan hukum adat yang Konsekuensinya bisa menimbulkan banyak fragmentasi dalam hal cara pandang terhadap sistem hukum dan norma yang diaplikasikan di masyarakat.
Ditambah lagi, Indonesia punya sistem hukum yang berjenjang. Ada hukum nasional dan ada juga hukum dan regulasi di tingkat provinsi dan di tingkat kabupaten/kota yang disebut dengan peraturan-peraturan daerah.
“Kita juga melihat variasi. Jadi bukan saja perda-perda yang bernuansa agama atau bernuansa Syariah yang jadi masalah, kita juga temukan di beberapa tempat misalkan susah sekali membuat masjid atau susah sekali membuat gereja atau membuat kelenteng karena memang undang-undangnya problematik dan ketika dia turun ke bawah pada tingkatan provinsi dan kabupaten/kota kadang-kadang interpretasinya pun lebih bermasalah lagi, sehingga terjadi variasi hukum dan regulasi pada tataran yang lokalnya dan ini yang terkadang menyulut konflik dan friksi di antara komunitas beragama.”
Oleh karena itu, Dicky menganjurkan terus dilakukannya upaya mengedukasi masyarakat, pejabat publik, aparatur negara, dan aparatur keamanan agar mereka tidak bingung ketika menghadapi isu-isu agama. Dia mengatakan, karena ketidaktahuan, selama ini banyak di antara mereka hanya memakai undang-undang yang berlaku, dan ketika mereka membuka UU No. 1/PNPS/1965, maka mereka kemudian mengaplikasikan undang-undang tentang penodaan atau penistaan agama atau penyalahgunaan agama.
Mengakhiri pembicaraan dengan VOA, Mike Quinlan menyampaikan pesan menjelang Ramadan. “Mungkin ada banyak yang kurang tahu, orang Nasrani juga puasa. Jadi, kami sebagai orang Nasrani sekarang berpuasa sebelum Paskah dalam masa pra-Paskah. Mungkin tahun ini dan tahun depan itu sangat unik karena ada tumpang tindih puasa orang Kristen-Katolik sama puasa orang muslim. Jadi, harapan saya kita bisa sebagai orang Kristen, orang Katolik, orang muslim bisa bekerja sama untuk kasih makan untuk yang lapar, kasih rumah untuk yang belum punya rumah, dan mungkin kita juga bisa buka puasa bersama supaya bisa menambah toleransi di negara-negara kita,” pungkasnya. [lt/em]
You must be logged in to post a comment Login