Connect with us

Editor's Pick

Jalan Panjang Menangani Risiko Keselamatan Jurnalis di Sulut (bag.1)

Pemberitaan di sejumlah media online dan percakapan di beberapa grup media sosial wartawan, beredar kabar bahwa satu jurnalis mengalami tindakan kekerasan dari aparat.

Published

on

Liputan Kolaboratif 6 media di Sulawesi Utara atas dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN) dalam Program Jaring Aman 2022

Bagian 1: Jurnalis di Sulut Kerap Alami Tindakan Kekerasan

Beberapa orang bercengkrama di halaman Sekretariat Aliansi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulut, di daerah Malalayang, Kota Manado. Malam itu, Sabtu 5 November 2022, kebetulan ada yang berhajat ulang tahun.

Di tengah kongkow-kongkow itu, tetiba Adi berseloroh: “Kak, hari Senin masyarakat Kalasey Dua mau demo. Demo untuk protes lahan yang mereka tempati akan ditertibkan oleh Pemprov Sulut,” kata jurnalis muda salah satu media online di Sulawesi Utara (Sulut) ini. “Ada LBH Manado yang akan mendampingi masyarakat dalam demo nanti,” ungkap Adi.

Yoseph Ikanubun, Ketua Majelis Etik Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Manado, yang ikut hadir dalam kongkow-kongkow tersebut langsung merespon. Osep–sapaannya–bertanya-tanya sejumlah hal terkait rencana demo tersebut.

“Sapa yang inisiasi demo ini?” tanya mantan Ketua AJI Kota Manado itu. “Ada beberapa anggota masyarakat di situ. Mereka meminta dukungan LBH Manado. Dan kebetulan sudah beberapa kali ada upaya protes berbentuk surat, dan juga demo ke Pemprov Sulut,” jawab Adi, yang juga menjadi anggota AJI Kota Manado.

Fakta menarik dan bermanfaat

“Kapan setting aksi?” tanya Osep lagi. “Kurang tau, kak. Saya hanya dapat informasi dari LBH (Manado) bahwa nanti Senin ada demo,” jawab lelaki bernama lengkap Noufriyadi Sururama ini.

“Oke, di. Karena kau sudah beberapa kali ikut aksi terkait dengan protes masyarakat Kalasey Dua itu, maka harus hati-hati. Ingat, yang namanya demo, apalagi akan berhadap-hadapan dengan aparat, pasti akan terjadi gesekan fisik. Harus bersikap jelas. Kalau boleh hindari konsentrasi massa kalau tujuannya untuk meliput,” ujar Osep memberi wejangan kepada Adi. “Dari jauh saja, karena pasti ada potensi terjadi lemparan batu dari masyarakat yang protes. Ingat, yang lebih penting adalah keselamatan diri,” timpal Asrar Yusuf, anggota senior AJI Manado yang juga hadir malam itu.

Pembicaraan malam itu soal sengketa lahan antara masyarakat Kalasey Dua dan Pemprov Sulut sudah menyentuh sejumlah aspek, mulai dari proses hukum terkait perjuangan hak masyarakat atas tanah di lahan tersebut hingga sejarah hadirnya masyarakat di lahan tersebut. 

Senin, 7 November 2022, demo memang jadi digelar di siang hari. Sebagaimana yang diprediksi, bentrok antara aparat kepolisian yang membackup Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Sulut berhadapan dengan masyarakat Kalasey Dua, LSM, mahasiswa, dan LBH Manado tidak bisa dihindari. Hingga akhirnya menjelang sore polisi mengamankan kurang lebih 40 orang pendemo dari berbagai latar belakang, termasuk Adi (jurnalis). Mereka dibawa ke Mapolresta Manado untuk dimintai keterangan.

Namun, pemberitaan di sejumlah media online dan percakapan di beberapa grup media sosial wartawan, beredar kabar bahwa satu jurnalis mengalami tindakan kekerasan dari aparat. Informasi tersebut diikuti dengan sejumlah foto kondisi jurnalis (Adi) yang mengenakan kaos hitam, sobek di bagian bahu kiri.

Berbagai kecaman dari sesama jurnalis dan aktivis pun berseliweran di media sosial. Pesan berantai terkait kecaman tersebut bersahut-sahutan. Termasuk dari media tempat Adi bekerja. Melalui group WhatsApp internal AJI Manado, pimpinan media tempat Adi bekerja meminta AJI Manado harus mengambil sikap memprotes kasus ini.

Namun pengurus AJI Manado belum langsung merespon permintaan tersebut. Pengurus AJI Manado menugaskan Divisi Advokasi untuk mendampingi Adi yang sore itu masih berada di Mapolresta Manado. Penugasan itu sekaligus mencari tahu duduk permasalahan sehingga Adi bisa mengalami tindakan kekerasan dari aparat, dan ikut diamankan oleh polisi.

Setelah melalui pembahasan internal pengurus, dua hari kemudian akhirnya AJI Manado memutuskan mengundang Adi untuk dimintai klarifikasi secara langsung. Pertemuan dipimpin Ketua AJI Manado Fransiskus Talokon bersama sejumlah pengurus, termasuk Divisi Advokasi. Pertemuan dihadiri juga oleh pimpinan media tempat Adi bekerja, serta Yoseph Ikanubun sebagai Majelis Etik AJI Manado.

Dari paparan Divisi Advokasi, Leriando Kambey dan Ronny Sepang terungkap fakta bahwa sejak lama keberadaan Adi di kasus Kalasey Dua itu sudah masuk dalam pantauan aparat. Mereka bahkan menunjukkan foto-foto Adi ketika berada di tengah masyarakat yang berdemo sebelumnya. Termasuk pula foto Adi yang berada di tengah massa pendemo saat aksi di Senin siang tersebut, sebelum terjadinya chaos hingga akhirnya polisi mengamankan 40 orang pendemo.

“Kita sulit berkeras ke polisi bahwa Adi adalah korban kekerasan aparat terhadap jurnalis. Masalahnya Adi ada di tengah-tengah massa,” ujar Leriando. “Memang Adi menggantung kartu pers saat itu, tapi dia ada di tengah massa,” tambah Ronny. “Menurut polisi, mereka mengamankan saja para pendemo tanpa melihat latar belakang. Dibawa ke kantor dan dimintai keterangan,” jelas Ronny lagi.

Ketika dimintai tanggapannya, Adi tidak banyak bicara. Secara jujur dia mengaku saat demo berlangsung memang dirinya berada di tengah massa pendemo, namun ada kartu pers yang digantung di leher dan terlihat jelas.

“Saat itu saya sudah mengaku sebagai wartawan dan menunjukkan kartu identitas pers. Namun menurut polisi harus tetap ke kantor untuk dimintai keterangan karena dianggap merupakan bagian dari massa,” katanya. Soal bajunya yang sobek, Adi menjelaskan bahwa memang saat itu terjadi chaos, dan aparat secara acak melakukan pengamanan terhadap para pendemo hingga bajunya ikut tertarik dan sobek.

Menanggapi kejadian tersebut, Yoseph mengatakan bahwa sebelum kejadian, tepatnya Sabtu (5/11/2022) malam, dia sudah memperingatkan Adi untuk berhati-hati. Sebab, dia sudah tahu posisi Adi yang dekat dengan LBH Manado dan seringkali turun ke Kalasey Dua hingga beberapa kali turun demo bersama masyarakat.

“Buktinya Adi ‘sudah ditandai’ oleh polisi. Foto-foto yang ditunjukkan oleh Leriando dan Ronny sebagai buktinya. Ini harus jadi pembelajaran bagi kita semua bahwa kekerasan kepada kita sebagai jurnalis itu bisa dihindari bila kita tahu menempatkan diri,” ujar Yoseph. “Harusnya Adi perjelas statusnya. Kalau jadi bagian dari pendemo, ya harus dilepas kartu persnya. Kalau jadi jurnalis yang akan meliput, harus pilih posisi yang aman. Kalau bisa berada di belakang barisan aparat,” tambah Yoseph.

Jurnalis di Sulut kerap alami tindakan kekerasan

Aspek keselamatan jurnalis saat meliput sangat erat kaitannya dengan kemampuan pengetahuan pertahanan diri. Jurnalis senior Arifin Labenjang, yang menjadi wartawan sebuah stasiun TV nasional biro Sulut, dapat menjadi contoh terkait risiko keselamatan jurnalis.

Arifin yang sudah menggeluti profesi ini sejak era 90-an, pernah menjadi korban lemparan batu saat demo penertiban lahan di Maasing, Manado. Kejadiannya pada 2004. Penertiban lahan milik salah satu keluarga itu dilakukan oleh Pol PP Kota Manado yang sudah berlangsung berhari-hari.

Di suatu hari penertiban, aparat menurunkan alat berat jenis ekskavator karena masih ada warga -yang menduduki lahan di lokasi yang dinamakan Kampung Bobo- yang tidak mau digusur. Bentrok pun terjadi.

Bentrok yang terjadi siang hingga menjelang sore itu makin kacau karena lemparan batu dari warga makin sporadis. Arifin yang tak ingin melewatkan momen tersebut, mengambil gambar video terlalu dekat dengan areal sasaran lemparan batu: barisan Pol PP. Tiba-tiba satu batu mendarat di kepala Arifin. Sambil memegang kepala bagian atas, dia langsung menghindar. Darah mengucur dari bagian atas kepala yang dipegangnya.

Jurnalis di Bolaang Mongondow Raya (BMR) turun ke jalan mengecam aksi kekerasan terhadap jurnalis di Ambon, Maluku. (Foto: Marshal Datundugon)

Cerita Peggy Sampouw lain lagi. Mantan jurnalis koran Manado Post ini pernah mengalami kekerasan fisik akibat pemberitaan.

Jurnalis senior yang kini telah bekerja di media siber ini bercerita, pada pertengahan 2003 lalu, dia yang pos liputan di Pemkot Manado mendapat penugasan membuat berita tentang proyek taman kota yang diduga ditangani oleh TP PKK Kota Manado. Waktu itu Ketuanya adalah Arianne Frederik-Nangoy, istri Wali Kota Manado Wempie Frederik.

Menurut Peggy, pemberitaan sebelumnya belum mendapat konfirmasi langsung dari istri Wali Kota. Namun pemberitaan terus berjalan dengan mengangkat statement warga serta pengamat pemerintahan dan masyarakat. Mereka berpendapat TP PKK tidak selayaknya menangani sebuah proyek.

Beberapa hari kemudian, Peggy dipanggil oleh Satpol PP, yang biasa mengawal istri Wali Kota, namanya Samadi. Karena mengira ada pesan dari istri Wali Kota yang ingin disampaikan, Peggy dengan percaya diri masuk arah bagian belakang Kantor Wali Kota Manado.

Tanpa ia sadar, Samadi melayangkan tamparan ke arah wajahnya. Peggy terkejut menerima tindakan kekerasan itu. Pipi kirinya terasa perih. Belum juga menyadari apa yang ia alami, tiba-tiba Samadi menampar lagi di pipi kanannya. Tak puas, ditampar lagi di pipi kiri.

“Begitu saya merasakan tamparan yang ketiga kalinya, dalam hati saya berkata: ‘Perkara ngana!’(Ini akan jadi perkara),” cerita Peggy. “Usai menampar  itu, dia malah menghardik saya: ‘Kaluar ngana dari sini. Jang datang-datang lagi ngana di sini!’(Keluar kau dari sini. Jangan pernah datang lagi ke sini!),” ungkap Peggy lagi.

Setelah kejadian itu, sejumlah rekan jurnalisnya, membawa Peggy melapor ke Polresta Manado. Perkara diproses, namun si pelaku tidak langsung ditangkap polisi. Peggy mengaku dia lupa persisnya kapan pelaku akhirnya ditahan polisi.

Dalam proses hukum di pengadilan, pelaku mengakui perbuatannya, dan mengakui melakukan hal itu atas inisiatifnya sendiri, bukan atas suruhan pimpinan atau siapapun.

Oleh Jaksa Penuntut Umum Kejari Manado, pelaku dituntut dengan hukuman 6 bulan penjara. Tapi oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Manado, Samadi divonis hukuman 8 bulan penjara.

Kekerasan terhadap pekerja media bukan saja dilakukan oleh pihak luar. Kekerasan kerap juga dialami dari pihak perusahaan media tempat mereka bekerja. Seperti yang diceritakan oleh Anto –nama samaran atas permintaan yang bersangkutan-, jurnalis salah satu media cetak di Sulut.

Pada suatu masa, di tahun-tahun 2010an, berbagai perusahaan media di Sulut memberlakukan kebijakan target pendapatan terhadap jurnalis mereka, selain tugas utamanya mencari berita. Seluruh pos liputan, terutama pos liputan di Pemda, diberi target kerjasama publikasi program dan kegiatan. Target bulanannya pun bukan angka kecil, berpuluh-puluh juta rupiah.

Anto yang dianggap pimpinan perusahaan media ini memiliki fighting spirit yang tinggi, mendapat target yang cukup besar. Saking besarnya, katanya, hingga berdampak pada kondisi kesehatan fisik dan psikisnya.

Di tengah menjalani tugas sebagai pencari berita sekaligus memenuhi target pendapatan untuk kantor, dia jatuh sakit. Meski demikian kondisi sakitnya itu tidak dia diceritakan ke teman-teman maupun pimpinannya. Hingga di suatu waktu dia harus harus menjalani operasi.

“Waktu itu saya hanya minta izin untuk belum meliput. Tapi oleh kantor, cari uang tidak bisa berhenti, karena menurut mereka komunikasi penagihan masih bisa dilakukan melalui telepon,” ungkapnya.

Mirisnya, menurut Anto, tidak lama setelah dia sembuh dari sakit, beban kerja tetap sama, dan malah target pendapatannya dinaikkan dari angka sebelumnya.

“Sampai beberapa kali saya naik meja operasi, namun perlakuan manajemen tidak berubah. Semua karyawan redaksi mendapat perlakuan yang sama, harus menjalani kerja sebagai jurnalis dan menjadi pencari uang untuk perusahaan. Kami diperas bukan di tugas utama,” tukasnya.

Bahkan, ungkap Anto, sebelum nasib itu menimpa dirinya, salah satu teman sekantornya juga diperlakukan hampir sama.

“Bayangkan, sementara selang infus terpasang namun telepon dari pimpinan di kantor bukan menanyakan kondisi kesehatan tapi setoran target,” bebernya. “Sampai beberapa hari kemudian teman ini meninggal. Kantor berduka hanya beberapa hari saja. Kalau kita yang mengalami nasib tersebut, paling juga yang didapatkan hanya ucapan duka saja. Miris,” ujar pria yang kini berhenti jadi jurnalis dan memilih menjadi pengusaha kecil itu.

Tak hanya di Manado

Tindakan kekerasan yang dialami beberapa jurnalis ini tidak hanya terjadi di Manado, sebagai ibukota Provinsi Sulawesi Utara yang bisa dikatakan sebagai pusat aktivitas politik, ekonomi dan berbagai kegiatan besar.

Kekerasan jurnalis itu juga terpantau di berbagai daerah di Sulut yang jauh dari Kota Manado. Sebut saja apa yang dialami oleh Basir Ilyas, jurnalis yang sehari-hari meliput di Kabupaten Bolaang Mongondow Utara (Bolmut).

Dalam sebuah wawancara, Basir menceritakan bagaimana dirinya sering dihubungi berbagai pihak terkait berita yang dimuat di medianya. Permintaan penghapusan berita yang sudah tayang sering ia terima. Permintaan penghapusan berita tersebut jelas memberi tekanan terhadap Basir.

Saat salah satu reporter Zonautara.com meliput pengamanan aparat kepolisian terhadap demonstrasi di Manado. (Foto: Ronny Adolof Buol)

Tindakan represi juga dialami oleh Julius Laatung yang sehari-hari menjalani profesi jurnalis di Kota Tomohon. Pada Oktober 2022, Julius dijemput oleh aparat polisi dari Polres Tomohon, tepat di hadapain istri dan anaknya. Tindakan aparat polisi itu dipicu oleh pemberitaan soal maraknya judi yang terjadi wilayah hukum Polres Tomohon. Julius menulis soal itu.

AJI Kota Manado merespon kejadian itu dengan melayangkan kecaman terhadap tindakan aparat kepolisian yang dinilai melakukan langkah non prosedural dalam menangani keberatan terhadap sebuah pemberitaan.

Di Kota Kotamobagu, seorang jurnalis perempuan yang bekerja di salah satu media siber di kota itu, pernah menjadi korban tindakan kekerasan. Dirinya (nama sengaja tidak sebut), mengalami memar di bagian kepala dan wajah. Bagian tangannya juga mengalami luka sobek dan terdapat luka kecil juga di bagian leher.

Meski pelakunya diproses hingga ke pengadilan dan dijatuhi hukuman pidana penjara, namun kejadian itu meninggalkan trauma yang mendalam bagi korban.

Perlakuan yang tidak sepantasnya dari orang tidak dikenal juga pernah dialami oleh Roni Bonde, wartawan yang ada di Kabupaten Bolaang Mongondow (Bolmong). Pada Maret 2020, Roni mendapat tindakan represif dari orang yang diduga merupakan preman yang membackup aktivitas tambang liar di Desa Tanoyan. Kejadian itu sempat diproses hingga ke Polres Kotamobagu, namun pada mediasi kedua pihak sepakat berdamai.

Berbagai kejadian tindakan kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Sulut sebenarnya cukup banyak. Sayangnya belum ada satu lembaga di Sulut yang secara rutin dan mendokumentasikan serta mempublikasikan kejadian-kejadian tersebut.

Risiko soal keselamatan dan keamanan bagi jurnalis di Sulut juga kerap terjadi pada jurnalis yang meliput di wilayah-wilayah yang berisiko seperti, saat liputan bencana, liputan mendalam dan investigasi pada isu sensitif atau saat liputan kerusuhan.

Risiko seperti ini juga dialami oleh jurnalis yang bekerja di daerah-daerah kepuluan seperti di Kabupaten Kepulauan Sitaro, Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud. Masih minimnya infrastruktur di daerah kepulauan serta risiko wilayah kepulauan yang sebagian besar transportasinya bergantung pada moda transportasi laut, meningkatkan risiko keselamatan bagi jurnalis yang bekerja di sana.

Hasil survei yang dilakukan oleh enam media yang berkolaborasi pada liputan soal isu keselamatan dan keamanan jurnalis di Sulut memerikan kondisi jurnalis di Sulut saat ini. Survei yang menjangkau 110 responden yang tersebar di 12 dari 15 kabupaten/kota di Sulut itu digelar pada Novenver 2022.

Pada bagian 2 dari laporan mendalam tentang Jalan Panjang Menangani Kekerasan Jurnalis di Sulut ini, akan dipaparkan hasil survei tersebut.

Bersambung…


Tim Kerja: Ronny A. Buol (Zonautara.com); Bahtin Razak (GoSulut.com); Marshal Datundugon (Pantau24.com); Fandri Mamonto (Torangpeberita.com); David Sumilat (Bfox.co.id); Anggi Mamonto (Kilastotabuan.com)