Editor's Pick
Mengapa harga terus meroket di Sulawesi Utara?

PANTAU24.COM – Sulawesi Utara (Sulut), sebuah provinsi yang dikenal dengan potensi pertaniannya, kini menghadapi krisis harga beras yang memukul daya beli masyarakat. Dalam sebulan terakhir, dari Mei hingga awal Juli 2025, harga beras di pasar-pasar utama melonjak drastis, jauh melampaui batas kewajaran. Di Manado dan Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel), harga beras medium dan premium dilaporkan sudang menyentuh Rp17.000 per kilogram. Bahkan, di Kotamobagu, beras premium jenis Serayu dan Superwin tembus hingga Rp1 juta per koli (60 kg), atau sekitar Rp17.000-Rp18.000 per kilogram pada 1 Juli 2025. Kondisi ini telah membuat Sulawesi Utara berada dalam status “Intervensi” sejak April 2025, dengan harga rata-rata Rp13.838/kg, 10.70% di atas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Laporan dari kumparan.com pada 30 Juni 2025 menyebutkan, saat ini harga termurah adalah Rp 15 ribu per kilogram. Lonjakan harga yang cepat dari status “Intervensi” pada April menjadi harga yang hampir mencapai Rp17.000 per kilogram pada Juli menunjukkan adanya penurunan stabilitas pasar yang melampaui ambang batas awal pemerintah. Hal ini mengindikasikan bahwa sinyal-sinyal peringatan dini mungkin tidak ditangani secara memadai, atau intervensi yang dilakukan tidak cukup untuk mencegah krisis semakin parah.
Kenaikan harga ini menimbulkan pertanyaan besar, mengingat Sulawesi Utara memiliki daerah-daerah penghasil beras utama seperti Bolaang Mongondow dan Minahasa. Mengapa di tengah klaim sebagai lumbung padi, warga justru menjerit akibat mahalnya harga komoditas pokok ini? Liputan mendalam berbasis data kali ini akan mengulas akar masalah, dampak, dan upaya yang telah dilakukan untuk menstabilkan harga beras di Bumi Nyiur Melambai.
Potret kenaikan harga: Beban berat di meja makan warga
Kenaikan harga beras secara signifikan memangkas anggaran belanja kebutuhan pokok rumah tangga. Warga terpaksa mengurangi jumlah pembelian beras, bahkan memangkas alokasi dana dari kebutuhan lain. Merlyn, warga Manado, mengaku, “Naiknya itu terlalu tinggi ditambah harga barang lain juga naik. Tapi, mau tidak mau harus tetap beli walaupun harus dikurangi. Kalau biasanya beli lima kilogram, ya sekarang paling dua atau tiga kilogram saja,” Senada, Heisye, seorang ibu rumah tangga, mengurangi pembelian dari 10 kilogram menjadi 5 kilogram per minggu. Begitu juga pekerja lepas seperti Antony juga merasa tidak punya banyak pilihan selain tetap membeli beras, meskipun penghasilannya tidak tetap. Kondisi ini menunjukkan bahwa harga beras yang mahal telah menurunkan daya beli masyarakat secara keseluruhan.
Pedagang di pasar tradisional Manado dan Kotamobagu merasakan dampak langsung dari penurunan daya beli ini. Meskipun omzet penjualan dilaporkan masih stabil karena beras adalah kebutuhan pokok yang tidak bisa ditunda, ada kekhawatiran serius bahwa jika kondisi ini berlarut-larut, daya beli masyarakat akan anjlok, mengancam keberlangsungan usaha mereka. Pedagang juga menghadapi tekanan dan keluhan dari konsumen yang frustrasi.
Sulce Giroth, pedagang di Pasar Karombasan, dikutip dari menyatakan, “Memang jumlah kilogram yang dibeli warga berkurang, tapi tetap ada yang beli setiap hari. Jadi omzet tidak terlalu jatuh. Tapi kami juga tidak enak, karena banyak yang marah-marah ke kami, padahal kami cuma jual sesuai harga yang kami beli dari gudang”. Kenaikan harga ini tidak hanya memberatkan konsumen, tetapi juga menunjukkan adanya ketidakseimbangan dalam rantai distribusi pangan. Doni Mokoginta, seorang pedagang beras di Pasar Tradisional 23 Maret Kotamobagu, mengeluhkan daya beli masyarakat yang merosot akibat kenaikan harga yang terus terjadi.
Di tengah keluhan masif dari masyarakat dan pedagang, Kepala Seksi Pengawasan Tertib Niaga dan Distribusi Kotamobagu, Mahmud Solaeman, sempat menyatakan bahwa harga beras masih normal dan bisa dijangkau masyarakat. Pernyataan ini menimbulkan pertanyaan tentang pemahaman pemerintah daerah terhadap realitas di lapangan. Kontras yang mencolok antara pernyataan resmi dan keluhan konsumen serta pedagang menyoroti adanya kesenjangan kredibilitas. Perbedaan ini dapat mengikis kepercayaan publik terhadap respons pemerintah dan berpotensi memicu kepanikan atau keresahan sosial jika warga merasa kekhawatiran mereka diabaikan.

Menelusuri penyebab lonjakan harga beras
Lonjakan harga beras di Sulawesi Utara bukanlah fenomena tunggal, melainkan hasil interaksi kompleks dari beberapa faktor, mulai dari dinamika produksi lokal, pergeseran pola tanam, tantangan alam dan ekonomi, hingga efisiensi rantai pasok.
Dinamika produksi padi lokal Sulawesi Utara
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Sulawesi Utara menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tahun 2024 merupakan tahun yang baik untuk produksi padi. Dikutip dari publikasi BPS Sulut, Ringkasan Eksekutif Luas Panen dan Produksi Padi Provinsi Sulawesi Utara 2024, luas panen padi di Sulut mencapai 59,12 ribu hektare, meningkat 8,36% dari 2023 yang sebesar 54,56 ribu hektare. Produksi padi (Gabah Kering Giling/GKG) juga naik 14,67% menjadi 273,13 ribu ton GKG di 2024 (dari 238,19 ribu ton di 2023). Konversi menjadi beras untuk konsumsi pangan penduduk di 2024 mencapai 153,48 ribu ton, naik 14,67% dari 2023.

Meskipun angka produksi tahunan 2024 menunjukkan peningkatan, hal ini bisa menimbulkan kesan ketersediaan yang melimpah, namun kenyataannya tidak demikian. Jika membaca publikasi dari BPS Sulut dalam ringkasan eksekutiftersebut, masalah utama terletak pada waktu dan analisis sub-periode. Penurunan produksi pada subround Mei-Agustus 2024 sebesar 6,29% dibandingkan periode yang sama pada 2023, serta proyeksi penurunan signifikan potensi produksi untuk Januari-April 2025, merupakan penyebab langsung kenaikan harga saat ini.
Penurunan potensi produksi beras pada Subround Januari-April 2025 yang diperkirakan hanya 51 ribu ton, mengalami penurunan sebesar 8,79% dibandingkan periode yang sama di 2024 (55,92 ribu ton). Penurunan ini sangat relevan karena panen di awal tahun biasanya menjadi pasokan utama untuk bulan-bulan berikutnya. Ini menunjukkan bahwa kekurangan pasokan yang terjadi baru-baru ini dan dalam waktu dekat, bukan rata-rata tahunan, bisa menjadi pendorong utama krisis saat ini.
Bolaang Mongondow, Minahasa, dan Bolaang Mongondow Utara adalah tiga kabupaten/kota dengan produksi padi (GKG) tertinggi di 2024. Bolaang Mongondow sendiri menyumbang 163,51 ribu ton GKG di 2024, naik 21,42% dari 2023. Namun, potensi penurunan produksi padi yang cukup besar pada Subround Januari-April 2025 dibandingkan periode yang sama pada 2024 terjadi di Bolaang Mongondow (-16.07%), Minahasa Selatan (-44.58%), dan Bolaang Mongondow Selatan (-59.44%). Penurunan ini, bahkan terjadi di daerah-daerah yang dikenal sebagai lumbung padi, memperlihatkan bahwa status “lumbung padi” sedang menghadapi tantangan serius akibat penurunan produksi musiman dan lokalisasi.
Tabel: Luas panen dan produksi padi/beras Sulawesi Utara (2023, 2024, Potensi Jan-Apr 2025)
Kategori | Periode | Luas Panen (ribu ha) | Produksi Padi (ribu ton GKG) | Produksi Beras (ribu ton) |
---|---|---|---|---|
Total Tahunan | 2023 | 54,56 | 238,19 | 133,85 |
2024 | 59,12 (+8,36%) | 273,13 (+14,67%) | 153,48 (+14,67%) | |
Subround | ||||
Januari-April 2023 | 16,69 | 68,57 | 55,92 | |
Januari-April 2024 | 20,55 (+23,18%) | 99,51 (+45,12%) | 55,92 | |
Mei-Agustus 2023 | 18,76 | 81,31 | 42,82 | |
Mei-Agustus 2024 | 17,42 (-7,15%) | 76,19 (-6,29%) | 42,82 | |
September-Desember 2023 | 19,11 | 88,31 | 54,75 | |
September-Desember 2024 | 21,15 (+10,64%) | 97,43 (+10,32%) | 54,75 | |
Potensi | Januari-April 2025 | 21,09 (+2,62%) | 90,76 (-8,79%) | 51,00 (-8,79%) |
Data produksi padi dan beras di Sulawesi Utara dari tahun 2018 hingga 2024.
Total Produksi Padi dan Beras Sulawesi Utara (2018-2024)
5 Daerah dengan Produksi Tertinggi (2018-2024)

Pergeseran pola tanam petani dengan kehadiran nilam
Salah satu faktor struktural yang memengaruhi produksi padi adalah pergeseran pola tanam petani ke komoditas nilam. Minyak nilam (patchouli oil) memiliki nilai ekonomi tinggi sebagai bahan utama industri kosmetik, farmasi, dan aromaterapi, dengan permintaan global yang terus meningkat. Harga minyak nilam yang dapat mencapai di kisaran Rp1 juta per kilogram, membuat petani lokal ramai-ramain beralih menanam nilam.
Daya tarik ekonomi yang tinggi telah mendorong banyak petani di Kotamobagu dan daerah lain untuk meninggalkan pertanian padi dan beralih ke budidaya nilam. Hal ini didorong oleh mahalnya biaya pupuk dan pengolahan sawah yang membutuhkan tenaga kerja ekstra, sementara perawatan nilam relatif lebih mudah dan murah. Latip Zakaria, seorang petani di Kotamobagu, adalah contoh dari transisi ini. Ia berhasil menghasilkan 6 kg minyak nilam senilai Rp6 juta dari panen awal, kemudian memperluas tanam nilam hingga 1 hektare dengan 13.000 pohon.
Gubernur Sulawesi Utara, Yulius Selvanus, secara eksplisit berpendapat peralihan pola tanam ini memengaruhi produksi padi dan ketersediaan beras. Ia mengajak petani untuk fokus menanam padi. Pedagang beras di Manado juga menduga minimnya pasokan lokal berkaitan dengan petani yang beralih menanam nilam.
Insentif ekonomi untuk budidaya nilam, seperti harga tinggi, biaya rendah, perawatan mudah, dan potensi ekspor, menciptakan disinsentif struktural bagi pertanian padi. Ini bukan hanya pergeseran sementara, melainkan ancaman jangka panjang terhadap swasembada beras di daerah-daerah penghasil padi tradisional, yang pada akhirnya menciptakan ketergantungan pada pasokan eksternal. Untuk mengatasi hal ini, perlu ada penyesuaian kebijakan ekonomi yang mendorong kembali budidaya padi.
Cuaca buruk dan biaya produksi
Kondisi cuaca tidak menentu menjadi hambatan signifikan bagi produksi dan distribusi beras. Pedagang di Kotamobagu menyebut hujan terus-menerus dan angin kencang sebagai faktor yang mempersulit pengangkutan dan distribusi padi, sehingga turut mendorong kenaikan harga. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) beberapa kali mengeluarkan peringatan dini cuaca ekstrem di Sulawesi Utara pada Januari dan Maret 2025, dengan potensi banjir dan tanah longsor di daerah-daerah termasuk sentra produksi seperti Bolaang Mongondow dan Minahasa.
Badan Pusat Statistik (BPS) juga mewaspadai cuaca ekstrem yang bisa mengancam produktivitas dan hasil pertanian di Juni-Juli 2025. Peristiwa cuaca ekstrem ini tidak hanya memengaruhi hasil panen, tetapi juga mengganggu logistik dan rantai pasok, menciptakan kelangkaan bahkan jika tanaman padi tidak sepenuhnya rusak.
Selain faktor alam, biaya produksi pertanian yang terus meningkat juga membebani petani. Seaktu Joko Widodo masih menjabat Presiden, ia mengakui bahwa biaya agroinput, biaya petani, sewa lahan, dan tenaga kerja semuanya naik, yang pada akhirnya menyulitkan harga eceran tertinggi beras untuk turun. Indeks Nilai Tukar Petani (NTP) di Sulawesi Utara pada Februari dan April 2025 menunjukkan penurunan, mencerminkan memburuknya daya tukar produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi atau biaya produksi bagi petani.
Ketika dampak cuaca ekstrem digabungkan dengan kenaikan biaya produksi dan penurunan profitabilitas petani, hal ini menciptakan tekanan ganda yang membuat budidaya padi menjadi kurang tangguh. Kondisi ini dapat mendorong lebih banyak petani beralih ke tanaman komersial seperti nilam, yang pada akhirnya memperburuk masalah pasokan beras.

Rantai pasok dan ketergantungan pasokan luar
Kenaikan harga beras juga tidak lepas dari dinamika rantai pasok. Pedagang beras di Manado melaporkan bahwa stok dari daerah penghasil utama lokal seperti Bolaang Mongondow dan Kotamobagu berkurang. Selain itu, pasokan dari luar provinsi seperti Poso dan Palu (Sulawesi Tengah) juga ikut berkurang. Kepala BPS Sulut, Aidil Adha, juga mengonfirmasi bahwa kenaikan harga beras di Sulut disebabkan oleh berkurangnya pasokan dari luar daerah dan penurunan hasil panen di wilayah Sulut.
Untuk menanggulangi kekurangan, Bulog Sulawesi Utara dan Gorontalo (SulutGo) pada Oktober 2024 telah mengimpor 15.000 ton beras dari Myanmar. Per Juli 2025, stok beras Bulog SulutGo disebut sebanyak 27.000 ton, cukup untuk tujuh bulan ke depan, tersebar di gudang-gudang di Bitung, Kotamobagu, wilayah kepulauan Sulut, dan Gorontalo. Beras dari Bolaang Mongondow, khususnya dari daerah seperti Dumoga Utara, dipasok ke pasar-pasar di Kota Manado seperti Pasar Karombasan dan Pasar Bersehati.
Pengurangan pasokan lokal dan eksternal secara bersamaan menciptakan kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi stabilitas harga. Meskipun Bulog memiliki stok yang cukup besar dan telah melakukan impor, harga yang terus melonjak menunjukkan bahwa volume intervensi mungkin tidak cukup untuk memenuhi defisit pasar yang sebenarnya, atau adanya hambatan distribusi yang mencegah stok mencapai konsumen secara efisien, atau praktik spekulasi/penimbunan oleh pelaku pasar lainnya yang mengganggu upaya stabilisasi. Hal ini menunjukkan perlunya analisis yang lebih rinci tentang efisiensi rantai pasok dan potensi titik-titik manipulasi.
Intervensi Pemerintah: Upaya stabilisasi harga dan ketahanan pangan
Pemerintah, baik di tingkat daerah maupun pusat, telah melakukan berbagai upaya untuk menstabilkan harga beras dan menjaga ketahanan pangan. Pemerintah Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) misalnya, telah mengambil langkah cepat dengan mempersiapkan anggaran dari APBD untuk mengantisipasi kenaikan harga bahan pokok, khususnya beras.
Bupati Bolsel, Iskandar Kamaru, menegaskan komitmen mereka untuk menjaga daya beli masyarakat melalui intervensi subsidi pangan. Kepala Dinas Ketahanan Pangan Bolsel, Kasman Djauhari, mengonfirmasi bahwa pihaknya telah menggelar Gerakan Pangan Murah Bersubsidi di 81 desa se-Bolsel, menyiapkan 10.125 paket pangan yang berisi beras 5 kg, minyak goreng 1 liter, dan gula pasir 1 kg, yang dijual hanya seharga Rp58.500 setelah mendapat subsidi Rp50.000 dari pemerintah daerah. Pemkab Bolsel juga menyiapkan 29 ton beras dan bantuan pemerintah pusat untuk 5.751 Kepala Keluarga.

Selain Bolsel, Perum Bulog Sulawesi Utara Gorontalo (Sulutgo) juga melakukan operasi pasar (OP) komoditas pangan untuk menjangkau masyarakat hingga ke pelosok daerah di Provinsi Sulawesi Utara. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Kadisperindag) Sulut, Daniel Mewengkang, menyatakan dukungan penuh terhadap upaya Bulog ini, dengan harapan harga kebutuhan pokok akan semakin stabil dan masyarakat lebih mudah mendapatkan pangan murah berkualitas baik.
Perum Bulog memang memiliki peran strategis dalam menjamin ketersediaan dan stabilisasi harga pangan, khususnya beras. Bulog bertugas mengendalikan harga dan mengelola persediaan beras baik secara langsung maupun tidak langsung, serta melaksanakan tugas pemerintah di bidang manajemen logistik pengadaan, pengelolaan persediaan, dan distribusi beras.
Dalam menghadapi lonjakan harga, Badan Pangan Nasional (Bapanas) memastikan pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) kembali digulirkan pada akhir Juni 2025. Operasi pasar ini bertujuan menekan harga beras di tingkat konsumen yang kini melonjak melewati harga eceran tertinggi (HET). Bulog menargetkan penyaluran bantuan pangan beras 20 kilogram untuk 18,3 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) dimulai akhir Juni hingga Juli 2025, dengan prioritas daerah Tertinggal, Terdepan, Terluar, dan Perbatasan (3TP).
Direktur Supply Chain dan Pelayanan Publik (SCPP) Perum Bulog, Mokhamad Suyamto, menegaskan bahwa Bulog akan terus melakukan manuver positif terhadap harga beras yang masih fluktuatif dengan memastikan ketersediaan beras di berbagai outlet penyalur tercukupi. Meskipun upaya Bulog signifikan, harga yang tetap tinggi menunjukkan bahwa intervensi ini menghadapi tantangan dalam mencapai stabilitas harga, yang mungkin memerlukan koordinasi yang lebih baik atau peningkatan skala intervensi.

Kebijakan Pemerintah Pusat
Jika diperhatikan Pemerintah Pusat telah mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kenaikan harga beras secara nasional sejak tahun lalu. Kebijakan relaksasi HET beras premium sebesar Rp1.000 per kg diberlakukan sejak 10 Maret 2024 dan beberapa kali diperpanjang hingga 31 Mei 2024, disesuaikan dengan kondisi aktual saat ini.
Pemerintah mempertimbangkan dua hal utama dalam kebijakan harga beras: kesejahteraan petani padi dan kemampuan masyarakat sebagai konsumen. Mencari keseimbangan antara memastikan petani mendapatkan keuntungan yang layak dan menjaga harga agar tidak terlalu tinggi bagi konsumen adalah tantangan yang tidak mudah.
Kementerian Pertanian telah mengalokasikan Rp23,61 triliun dari anggaran 2025 untuk swasembada beras. Namun selain kebijakan jangka pendek seperti impor beras, menjaga cadangan Bulog, operasi pasar, dan bantuan pangan, pemerintah juga perlu membuat kebijakan jangka panjang untuk meningkatkan produksi dan distribusi beras. Hal ini mencakup peningkatan produksi beras dan distribusinya, serta memastikan kebijakan yang diterapkan dapat mengatasi masalah beras yang terjadi setiap tahunnya. Pendekatan ini memerlukan strategi komprehensif yang mengatasi dinamika pasokan dan permintaan, serta masalah struktural di sektor pertanian.

Apa yang perlu dilakukan kedepan?
Kenaikan harga beras yang signifikan di Sulawesi Utara dari Mei hingga awal Juli 2025 merupakan cerminan dari berbagai faktor yang saling berkaitan. Meskipun produksi padi secara keseluruhan di Sulawesi Utara pada tahun 2024 menunjukkan peningkatan, penurunan potensi produksi pada sub-periode tertentu, terutama Januari-April 2025, telah menciptakan tekanan pasokan yang langsung terasa di pasar.
Pergeseran pola tanam petani ke komoditas nilam, yang menawarkan keuntungan ekonomi lebih tinggi, secara struktural mengurangi lahan dan tenaga kerja untuk padi, serta mengancam swasembada beras jangka panjang. Selain itu, tantangan dari cuaca ekstrem yang memengaruhi baik hasil panen maupun kelancaran distribusi, serta kenaikan biaya produksi pertanian yang membebani petani, semakin memperparah situasi.
Keterbatasan pasokan dari sumber lokal maupun eksternal, meskipun Bulog telah melakukan intervensi dengan impor dan penyaluran bantuan, menunjukkan adanya inefisiensi dalam rantai pasok atau volume intervensi yang belum memadai untuk mengatasi defisit pasar. Kontradiksi antara pernyataan resmi dan realitas di lapangan juga dapat mengikis kepercayaan publik.

Untuk mengatasi krisis harga beras yang berulang dan memastikan ketahanan pangan di Sulawesi Utara, langkah strategis pertama adalah penguatan produksi padi lokal melalui intensifikasi pertanian di daerah sentra seperti Bolaang Mongondow dan Minahasa. Ini dilakukan dengan penggunaan varietas unggul, praktik budidaya yang efisien, pemberian insentif seperti subsidi pupuk dan asuransi gagal panen, serta edukasi kepada petani tentang diversifikasi tanaman yang berkelanjutan. Selain itu, riset pengembangan varietas tahan iklim juga perlu diperkuat guna menghadapi tantangan perubahan iklim dan serangan hama.
Kedua, manajemen rantai pasok perlu dioptimalkan untuk menjamin efisiensi distribusi dan kestabilan harga. Upaya ini mencakup peningkatan efisiensi distribusi dari petani ke konsumen, pengawasan pasar yang ketat untuk mencegah penimbunan, serta optimalisasi peran Bulog dalam menyerap gabah saat panen dan mendistribusikan beras sepanjang tahun. Transparansi data pasokan dan harga juga penting untuk menghindari spekulasi dan meningkatkan kepercayaan pasar.
Ketiga, intervensi pasar yang tepat sasaran dan kebijakan jangka panjang terintegrasi harus menjadi bagian penting dari strategi. Operasi pasar dan Gerakan Pangan Murah (GPM) perlu dilakukan secara masif dan berkelanjutan di wilayah paling terdampak. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur pertanian serta sinergi kebijakan antara pemerintah pusat dan daerah akan memperkuat fondasi ketahanan pangan secara berkelanjutan. Investasi dalam riset pertanian adaptif juga menjadi kunci dalam menghadapi tantangan jangka panjang.

You must be logged in to post a comment Login