Kotamobagu
Bocah badut di lampu merah Kotamobagu


PANTAU24.COM – Uyo’ bukan nama aslinya. Bocah kelas 4 SD ini sudah hafal ritme lampu merah di perempatan Mogolaing, Kotamobagu. Bersama teman-temannya, Dudung dan Endi yang juga bukan nama sebenarnya, ia menyusuri jalanan kota, menyapa pengendara dengan kostum badut yang kebesaran di tubuh kecil mereka.
“Balon, balon, mau balon?” ujarnya polos di pertengahan Mei 2025 lalu, sembari menengadahkan ember bekas cat yang dimodifikasi warna-warni berharap recehan.
Uyo’ mengaku ia dan teman-teman menyewa kostum dari orang dewasa yang menyediakan perlengkapan itu. Dari hasil ‘ngamen’ sehari, bisa dapat Rp200 ribu, tapi separuhnya harus disetor kepada si pemilik kostum. Sisanya baru bisa mereka bawa pulang.
“Dibagi dua, Rp100 ribu untuk yang punya kostum, sisanya buat saya,” ceritanya polos.
Temannya, Dudung–anak kelas 1 SMP–pun bercerita hal serupa. Ia bahkan harus menyetor Rp40 ribu dari Rp60 ribu yang ia dapat.
“Yang penting bisa bantu-bantu ibu. Ayah sudah lama pisah sama ibu,” katanya, matanya menunduk.
Lain lagi cerita Endi. Dulu ia juga menyewa kostum, tapi perlahan menabung agar bisa beli sendiri. Semua demi membantu ibunya yang dulunya juga seorang badut jalanan.
Tiga anak ini hanyalah sebagian kecil potret anak-anak Kotamobagu yang terpaksa mengais uang di jalanan, menyamar di balik kostum badut, demi bertahan hidup. Cerita mereka adalah cermin lemahnya sistem perlindungan anak.

Keterbatasan regulasi, ketidaktegasan penanganan
Upaya penertiban sebenarnya sudah dilakukan. Pada 23 April 2024 lalu, Satpol PP mengamankan 11 anak badut di Mogolaing. Sebagian besar masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka tak beraksi sendiri, diduga ada orang dewasa di balik bisnis sewa kostum ini.
“Kami sudah tiga kali memberi arahan kepada pihak-pihak terkait. Namun karena belum ada Perda khusus, tindakan tegas belum bisa dilakukan,” kata Sarida Mokoginta, Kepala DP3A Kotamobagu.

Saat ini, penertiban hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang jelas melarang eksploitasi anak. Tetapi, tanpa peraturan daerah secara khusus, semua itu seperti macan ompong di tingkat lokal.
“Perda-nya masih dalam proses pembahasan di DPRD. Kalau sudah ada, baru kami bisa melakukan tindakan lebih tegas,” tambah Sarida.
Di sisi lain Kepala Dinas Soail Noval Manoppo mengaku intervensi mereka masih terbatas.
“Kami cek keluarga mereka apakah penerima PKH atau bantuan sosial lainnya. Ternyata tidak. Intervensi kami terbatas. Selebihnya menjadi tanggung jawab DP3A dan Dinas Ketenagakerjaan jika menyoal pendapatan keluarga anak-anak itu,” jelasnya.
Lurah Mogolaing Masran Dugian, mengungkap fakta lain. Menuruttnya sebagian orang tua dari anak-anak ini dulunya juga badut jalanan.

“Sudah beberapa kali diimbau, mediasi, tapi belum ada solusi. Ini soal perut, soal bertahan hidup. Harus ada kejelasan tindakan dari Pemkot dan dinas terkait,” keluh Masran.
Di sekolah, kekhawatiran serupa disuarakan. Nihirita Mantang, Kepala SDN 1 Mogolaing, bahkan sampai menyamar ke jalan untuk memantau siswanya.
“Imbauan sekolah belum cukup. Ini soal ekonomi keluarga,” katanya getir.
Kolaborasi jalan keluar yang harus ditempuh bersama
Menanggapi hal tersebut, Wali Kota Kotamobagu, Wenny Gaib, menyatakan pihaknya akan mengambil langkah hati-hati dan persuasif. Ia mengaku belum ingin bertindak keras tanpa landasan hukum yang jelas.
“Kita harus melihat dalam satu skala yang lebih luas, bahwa ini adalah anak-anak kita juga, sehingga perlu pendekatan khusus. Harus punya payung hukumnya untuk dapat mengambil satu tindakan,” jelas Wenny.
Sebelum bertindak, ia ingin ada pendataan menyeluruh.
“Kita cari pertama anak ini asli dari mana, kita cari keluarganya. Proses ini sementara jalan, kita melakukan pendekatan persuasif, mencari solusi yang soft dulu,” katanya.

Wenny pun mencurigai ada kemungkinan pihak tak bertanggung jawab yang mengkoordinir anak-anak ini.
“Saya khawatir jangan-jangan anak-anak ini ada yang mengendalikan, sebab mereka tidak setiap saat ada,” tambahnya.
Pegiat Literasi Anak di Kotamobagu, Ika Martika, mengingatkan bahwa ini bukan sekadar soal ketertiban umum.
“Ini beririsan erat dengan kondisi ekonomi keluarga, minimnya edukasi orang tua, dan lemahnya regulasi lokal. Ini bisa jatuh ke ranah eksploitasi anak, dan sangat memprihatinkan,” ujar Ika.
Ia menekankan pentingnya edukasi dan regulasi berjalan seiring.
“Bayangkan bagaimana anak usia dini yang harusnya mendapatkan hak-hak mereka, apakah itu soal pendidikan, pengasuhan di rumah, justru harus turun ke jalan,” tambahnya.
Menurut Ika, risiko besar mengintai anak-anak ini, mulai dari kecelakaan lalu lintas hingga kekerasan seksual.
“Sudah seharusnya semua harus turut terlibat, mulai dari sekolah, orang tua dan pemerintah dari tingkat kota hingga kelurahan/desa,” tegas Ika.
Semua pihak harus bersepakat, Perda harus segera disahkan, edukasi orang tua digencarkan, dan program pemberdayaan ekonomi keluarga diperkuat. Agar kelak, tak ada lagi Supermen, Batman, atau Hulk kecil yang harus bersembunyi di balik topeng badut di Kotamobagu demi menyambung hidup.

You must be logged in to post a comment Login